"Bodoh."
Hari ini panas. Bukan panas menyengat, nyaris lupa musim dingin. Tapi sinar matahari mengganggu otak, salju akibat kotor mantel yang baru keluar dari lemari.
Celetukkan Suga sedikit menohok Jimin yang baru melangkah masuk kedalam cafe. Sialan, baru juga datang.
"Kenapa?" Jimin tanya tapi Suga beralih mendekat, tepuk-tepuk mantelnya bersihkan dari salju bagian pundak. Jimin pilih diam deh, lumayan Suga jadi jarak cuma sepuluh senti.
"Harusnya langsung pulang habis pemotretan."
"Maunya sih gitu,"
"Ya terus ngapain disini."
"Ketemu birukulah, retorik sekali."
Suga mendengus, "Beneran bodoh,"
Jimin beralih mengedikkan bahu sambil senyum sedikit, "Bodoh bermanfaat, ngomong-ngomong.."
Suga beralih tatap, tunggu Jimin lanjutin omongan. Dan Jimin malah menggantung ucapan, sambil sedikit gigitin bibir bawahnya sendiri jadi kebiasaan.
"Jaraknya lumayan ya. Dihitung sepuluh senti,"
Suga reflek menapak kebelakang menjauh, Jimin terkekeh sekilas. "Jangan ketawa."
Suga galak, Jimin beralih mencebik sambil mengibaskan poni hitam legamnya kebelakang.
"Enam puluh lima persen, jadi sepuluh senti. Gak sabar untuk sembilan puluh sembilan persen."
"Persetan. Berkurang jadi lima puluh lima."
"Yah, padahal akunya tambah jadi dua puluh lima."
Mendecih, Suga beralih balik badan dan melenggang pergi masuk kedalam dapur, Jimin lanjut tertawa kecil, mengambil mug putih yang tersedia rapi disamping meja kasir lalu lanjut jalan menuju kursi seperti biasa.
Mocha hangat jadi pesanan setiap hari, katanya sih berkurang sepuluh persen.
;
"Galeri?"
"Januari nanti,"
Suga sedikit bergumam jadi jawaban, Jimin meletakkan mug putih diatas meja, ada buku sketsa diatas meja dan sebuah pensil warna biru.
"Jimin,"
"Hm?"
Gak menatap tapi mata terfokus pada buku sketsa didepan, tangan bergerak menggoreskan sesuatu entah apa. Suga juga gak niat melihat, perhatian teralih pada Jimin yang biasa berubah serius disetiap keadaan.
"Dasar populer,"
"Populer? Gak kok, freelance Park Jimin gak banyak yang tau."
"Sarah tau kamu,"
"Teman lama,"
"Dia artis, Jimin. Standar internasional. Ajang bergengsi dimana-mana. Bercanda?"
"Wah, tau banyak."
Jimin tanggapannya santai sekali, mata masih menatap kearah buku gambar dan senyumnya gak hilang. Suga berubah hela nafas jengah, dan senderan punggung di sofa cafenya sendiri.
Sebenarnya bangku pojokkan mereka berupa sofa sih. Pantas betah.
"Semalam, ada Sarah muncul di channel Amerika. Serius teman lama?"
"Serius kok. Teman lama dulu sekolah disana."
"Lulusan amerika? Jimin?"
"Percaya aku bilang iya?"
"Gak percaya,"
"Yasudah, berarti bukan."
Suga mengernyit kesal, Jimin balas terkekeh sambil menghembuskan asap rokoknya santai sekali. Tangan meletakkan pensil, ada gambar berupa line art seseorang dengan rambut biru diwarna full bagian rambut.
"Penasaran sekali ya, soal Jimin."
Suga meniup sekilas poni birunya keatas, "Sayang lima puluh lima persen bikin repot."
"Kemarin enam puluh lima, Suga."
"Aku bilang berkurang,"
"Janganlah,"
Jimin pasang wajah merajuk, tapi Suga geleng kepalanya sedikit. "Berkurang, Jimin bodoh."
"Besok awas delapan puluh lima,"
"Cerita dulu soal Sarah,"
"Malas,"
Bergumam panjang yang malas sekali sambil hela nafasnya, Jimin bahkan melemaskan diri meletakkan kepala dimeja. Suga berdecak, jemarinya main dipucuk kepala Jimin yang ada dihadapan.
Gak tau, reflek. Jimin rasanya jantung lompat, tapi lucu mulai dibiasakan. Jari Suga mainan dipucuk kepalanya dia iseng sekali.
"Jimin, cerita."
"Apa? Soal Sarah?"
"Soal kamu juga,"
"Sarah teman lama. Dulu jadi model pertama kali di majalah tempat kerja. Sekarang banting setir jadi artis karena akting,"
"Gak yakin sekedar teman lama."
"Anak barunya Ibu."
Hening seketika, Suga diam, tangan berhenti main di pucuk kepala Jimin. Empunya juga diam, mata memandang orang-orang lalu lalang dari kaca cafe.
"Dahsyat,"
Tanggapan pertama, Jimin reflek ketawa. Bangun dari posisinya dan tatap Suga dengan tumpu dagu diatas meja. "Apanya dahsyat?"
"Seakrab itu samaㅡadik baru."
"Dia gak tau, Ibu gak cerita ada aku disini."
"Bercanda?"
"Gak, serius nih. Bercanda terus gak enak,"
Jimin berdecak sambil mematikan puntung rokok di dalam asbak. "Udah? Riwayat singkat Park Jimin."
"Belum lengkap,"
"Nanti aja. Pacaran masih lama. Jauh lebih baik kamu kesini, duduk disamping."
"Gak mau, pacaran masih lama kan."
"Biru sialan,"
Mengumpat tapi lantas diam begitu Suga pindah posisi disamping, merentangkan tangan dan pelukan halus dipojok cafe yang terjadi pertama kali.
Niatnya tenangin Jimin, tapi Jimin kelewat senang.
Cerita riwayat hidup itu, jackpot.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Siang-siang pelukan sama Suga. Berasa jadi Jimin.
Terus buka mata ternyata mimpi.