Langit bagiku adalah candu ketika jenuh datang melanda, hamparan warna biru nya selalu memberi ketenangan seakan memahamiku bahkan ketika dunia menatapku berbeda.
Ketika mataku menatap luas langit yang menerjang bebas, aku seakan merasakan bahwa aku terbang bersama udara yang menguap ke langit, terasa ringan tanpa beban.
Aku disini masih dengan buku yang sama, menceritakan hal yang selalu membuatku hanyut dalam setiap lembarnya, bahkan aku bisa menghabiskan waktu ku hanya untuk mendalami dunia fiksi.
Fiksi bagiku sebuah ambisius imajinasi yang paling setia, dia rela mendampingiku sepanjang waktu dimanapun aku berada. Aku menyukai nya.
Tentang rasa dan langit terkadang kita tak tau bagaimana cara merubahnya menjadi kata per kata. Tapi langit berbeda, aku hanya perlu memandanginya tanpa berkata.Bukan hanya langit yang aku sukai tapi juga dia, yang sekarang sedang sibuk dengan semua lembar-lembar tugasnya.
Kantung matanya yang menebal rambutnya yang terlihat acak-acakan, rasanya aku ingin menarik nya untuk menghentikan segala aktifitasnya. Dia terlalu memaksakan, dia selalu mengatakan
"ini deadline, Ve".
Ini lembar terakhir yang aku baca pada buku fiksiku, sesekali mataku melirik dia yang masih tetap pada posisinya. Bahkan kini aku tak bisa menarik perhatiannya, dia memang sedang fokus pada masa depannya.
"Salah satu hal yang paling menyedihkan dalam hidup, adalah hal yang teringat."
Aku menutup buku ku, cerita dari seorang Agatha cristy memang selalu membuatku berfikir, setiap katanya mengandung rahasia yang membuat pembacanya penasaran.
Kini mataku benar-benar memfokuskan pada sosok nya yang sedang meregangkan otot-otonya, rupanya dia sudah merasa lelah.
Aku duduk di depannya, posisiku dan dia terhalang oleh meja kecil yang menjadi tempat laptop dan lembar-lembar tugasnya.
"Bosen ya?"
Dia menatapku, di wajahnya terlihat guratan-guratan rasa lelah.Aku menggeleng, menopang daguku tersenyum menatapnya.
"Trus?"
Lagi, dia bertanya, kali ini dengan satu alis yang dia naik kan, saat aku ingin menjawabnya suaranya terdengar menyerobot dialogku."Oh aku tau, udah mulai kangen ya?" Jarinya menunjuk kepadaku dengan senyum memperlihat kan gingsul nya dia terlihat sedang menggodaku.
Aku sedikit menghembuskan nafasku, menatapnya jengah, seakan kata-katanya itu hanya kepercayaan dirinya yang terlalu berlebihan.
Padahal kenyataanya, aku bahkan tidak pernah tau kapan aku mengakhiri rasa rindu terhadapnya, jadi aku juga tidak pernah tau kapan aku mulai merindukannya, karna tidak pernah sedikitpun aku mengakhirnya.Rasa rindu terhadapnya mengalir begitu saja tanpa bisa aku kendalikan, aku tidak pernah tau kapan rindu itu memulai, kapan rindu itu berakhir, yang aku tau rindu itu sudah ada saat dia menjadi bagian dari hidup ku.
"Udah selesai nih tugasnya, yuk kangen-kangenan"
"Hehe"
Senyuman bodoh nya dia perlihatkan padaku, matanya yang terlihat lelah menatapku begitu intens.
Aku yang di tatap hanya diam, masih dengan posisi yang sama, dia mengerutkan dahinya menatapku dengan rasa bingung.
"Kenapa sih? Gak sakit kan?"
Punggung tangan nya menyentuh keningku, memastikan kalau aku baik-baik saja.Aku menggeleng, dan tersenyum menurunkan tanganya dari keningku.
"Laper?"
Lagi dan lagi aku hanya menggeleng. Dia terlihat menghembuskan nafasnya, dan kini dia mengikuti apa yang aku lakukan, menopang dagunya, meneliti setiap wajahku.
"Nay"
"Hm?"
"Percaya takdir?"
"Heem, kenapa?"
"Kamu percaya kalau sekarang langit terang karna sudah takdir dari Tuhan?"
"Heem, trus?"
"Percaya kalau kita ktmu karna takdir?"
"Iya, trus?"
"Kalau suatu saat takdir gak memihak sama kamu, Apa kamu masih percaya takdir?"
"Tergantung"
"Kok Tergantung?"
"Maksud kamu, kamu mau bilang kalau suatu saat takdir mengatakan kamu bukan buat aku gitu?" Jawabnya yang mengerti apa yang aku maksud, dengan ragu aku menganggukan kepalaku.
"Simple aja, kita rubah takdir itu bareng-bareng, Ve"
#TeamVeNalID
Narasi sebagian dari caption ig Ve.
