Chapter 3

643K 37.4K 2K
                                    

Di hadapan Dera, berdirilah sebuah pintu besar yang entah mengapa terlihat begitu raksasa di matanya. Besar sekali. Pak Fedri, laki laki berumur 40 tahun tadi yang memanggil Dera, dia menyuruhnya mengetuk pintu ini dan tunggu sampai orang yang di dalam mengijinkannya masuk.

Tapi beberapa lama berdiam di sana Dera tidak kunjung mengetuk pintu, perempuan itu sebaliknya terdiam mati kutu di hadapan pintu besar yang terasa mengintimidasi nya.

Haruskan ku ketuk? Ada siapa di dalam sana? Apakah orang yang bernama Gerald itu? Apakah Tuan Gerald orangnya menakutkan? Apa yang harus kulakukan!?

Tenanglah sedikit, Dera. Kau akan baik baik saja.

Akhirnya Dera memberanikan diri. Diketuknya pintu itu pelan.

Tok tok

Tidak ada jawaban

Dia mengetuknya sekali lagi, dan sebuah suara berat menyahutnya. "Masuklah."

Suara itu semakin menciutkan kepercayaan diri Dera. Perempuan itu membuka pintu yang ternyata terasa jauh lebih berat dari yang ia sangka dengan tangan gemetar.

Di dalam ada sebuah meja kerja besar dengan sebuah kursi kerja yang tidak kalah besarnya dengan meja itu. Sebuah komputer di atas meja, dan banyak sekali kertas kertas yang bececeran menutupi permukaan meja. Dan di ruangan itu, berdirilah seorang laki laki muda, berambut hitam, dan berbadan kekar, mengenakan kemeja putih dengan jasnya digeletakkan begitu saja di atas sofa di samping meja kerjanya.

Laki laki itu memandang keluar, melihat ke arah langit sore yang terlihat sangat mencolok, mewarnai petang hari ini dengan keindahannya. Dera bergeming di tempat menunggu suara dari laki laki itu yang belum berbicara sepatah kata pun semenjak dia memasuki ruangan itu. Canggung.

"Kau sudah sadar?" tanyanya. Kalau di dengar lebih dekat lagi, suaranya semakin membuat tubuh Dera merasa menggigil.

"S-sudah," jawab Dera gugup. Bahkan kata terimakasih tidak bisa lolos dari sela sela bibirnya.

"Baguslah," katanya masih menghadap ke arah jendela. "Kau sudah membaik, bukan? Akan kuantarkan kau pulang ke rumahmu."

"Tidak!" seru Dera spontan. Perempuan itu kaget dengan ucapannya sendiri. "M-maksudku... Aku tidak ingin kembali ke rumahku... masalahnya rumit."

Sebuah senyuman muncul di wajah laki laki itu. "Kau tidak perlu menyembunyikannya dariku," ucapnya kali ini memutuskan untuk membalik ke arah Dera.

Dera mematung saat matanya melihat wajah laki laki itu. Rambut hitam dengan mata kelabu pekat, tinggi, dan memiliki wajah tampan, mungkin melebihi semua model dan artis artis yang pernah Dera lihat. Sangat tampan.

"Aku sudah mencari tahu tentangmu. Dera Destia, anak sulung dari keluarga berisikan 4 orang, memiliki seorang ibu dan ayah, serta seorang adik perempuan. Ayahmu seorang pengusaha kain, dan ibumu adalah seorang ibu rumah tangga. Bukankah begitu?"

Dera mengangguk, merasa sedikit kaget karena laki laki itu mengenalinya. Apa yang bisa dipertanyakan, dia adalah orang kaya yang memiliki sumber informasi dimana mana.

"Aku sudah tahu semuanya tentang mu, dan terrmasuk prilaku buruk keluargamu terhadap dirimu juga," katanya.

Deg!

Dera memantung di tempat. Tidak pernah sekalipun dia membocorkan tentang ini ke siapa pun, dan tidak pernah juga dia berniat memberi tahu ini kepada orang lain. Lalu, darimana kah laki laki itu mengetahuinya?

"Tidak perlu begitu terkejut, Nona. Apakah dengan diriku mengetahui rahasiamu ini sebegitu mengagetkan bagimu?" tanyanya. Dera menelan ludah kecut, lidahnya kaku dan rasanya sangat sulit untuk mengeluarkan suara sekalipun. "Tenang saja, aku tidak memberitahu tentang ini kepada siapa pun. Hanya aku dan tangan kananku yang tahu tentang ini, selebihnya tidak ada," ucapnya.

Dera menghela nafasnya lega. Kelar sudah hidupnya kalau ada yang mengetahui tentang ini, berhubung ibunya mengancam akan membunuhnya kalau Dera membocorkan apapun tentang prilaku mereka. Dan Dera rasa membunuh bukan sekedar kata untuk ibunya mengingat prilakunya selama ini.

"Jadi kau ingin tetap tinggal disini?" tanyanya.

"Bolehkah?"

"Tentu saja. Aku tidak sekejam itu membiarkanmu lepas tanpa rumah sama sekali, aku masih manusia memiliki hati."

"Kau sangat baik! Terimakasih."

Tiba tiba lelaki itu tertawa kencang. "Apakah kau benar benar berpikir bahwa aku akan membiarkanmu menginap, memberimu makan, dan menyiapkan seluruh kebutuhanmu tanpa bayaran apapun? Jangan bermimpi."

"Jadi... Apa yang bisa aku lakukan untukmu?"

"Mudah saja."

"Menikahlah denganku."

.

Aku baru sadar waktu dulu aku buat chapter ini pendek banget ya wkwkkw

Yes, Mr Billionaire [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang