Badan Dera terdiam kaku.
Pistol keras yang dingin, semakin lama semakin kuat ditekan di sisi kepalanya. Terasa membara menusuk kulit kulit kepalanya, badannya tidak bisa bergerak seakan selangkah pun bisa mengirim dirinya kepada mimpi terburuknya.
Ellena.
"Berjalanlah, Kak," kata Ellena pelan, nadanya terdengar begitu senang. "Rasanya aku ingin sekali menjelajahi seisi rumah ini. Kau terlalu beruntung untuk tinggal di tempat sebesar ini.
"Terlalu beruntung rasanya aku ingin merengut semuanya beserta dengan dirimu juga hingga ke dunia lain." Kata kata Ellena membuat tubuh Dera semakin mendingin.
Tangan kiri Ellena memegang pundaknya, begitu lembut namun rasanya seperti sejuta jarum menusuk kulitnya sampai lapisan yang terdalam. Kakinya tidak terasa namun dengan sendirinya dia berjalan, mengikuti arahan Ellena.
Kakinya berjalan menaikin setiap anak tangga, berjalan di sisi koridor dengan senyum Ellena di samping wajahnya.
"Adakah yang janggal di rumah ini?" tanya Ellena berbisik. "Sesuatu yang mengganjal."
Otak Dera tidak bisa digunakannya, bahkan suara Ellena terasa samar hampir tidak terdengar. Jantungnya berdegup sangat kuat.
"Kau tidak berniat menjawab, hmm?" tanya Ellena. "Kalau begitu, dimana orang orang lain? Kurasa kau tidak tinggal dengan Suami mu berdua saja, bukan?"
Pikiran Dera terbanting mengingat semua orang yang menghilang sedari tadi dia kembali.
Hujan terdengar merintik deras dan jantung Dera berdegup semakin kencang.
"Apa yang kau lakukan pada mereka?" tanya Dera serak.
"Tidak, aku hanya membiarkan mereka pingsan di kamar mereka masing masing. Aku tidak menyentuh mereka, tapi tidak tahu jika kau berbuat ulah," kata Ellena. "Berjalanlah, tunjukan kepadaku dimana balkon di rumah ini."
Mata Dera terasa panas.
Entah mengapa diantara semua balkon di rumah itu, balkon kamarnya dan Gerald lah yang ia tuju. Entah karena tempat itu adalah tempat terakrab bagi Dera di sana, entah mungkin karena kalau dia tersisa hanya raga saja, dia ingin Gerald lah yang pertama menemukannya dan memeluk tubuhnya yang semakin lama semakin dingin, meninggalkan dunianya. Dera tidah tahu.
Tangan Dera menggenggam tuas pintu menuju balkon, dan dalam hitungan detik angin menerpa wajahnya. Mata Dera berubah kabur, mungkin karena tangis, mungkin karena ketakutan, tapi ini terasa begitu menyiksa. Tangannya meremas bajunya dengan kuat sampai buku buku jarinya berubah memutih.
"Pemandangan yang bagus dari sini," kata Ellena lembut dengan sejuta perih dibaliknya. Dera berterimakasih dalam hatinya karena langit langit balkon ini ditutupi oleh atap diatas sana, dia tidak perlu menghadapi dinginnya rintik hujan. "Bagaimana jika aku mewarnai sore ini merah darah dengan tubuhmu yang akan jatuh dari tempat ini?"
Nafas Dera tercekat.
"Waktu itu, aku menyangka kau akan tinggal di depan teras rumah keesokan harinya, penuh luka dan dengan sisa tenagamu kau akan meminta maaf sambil menunduk meminta untuk tetap dibiarkan tinggal di rumah. Namun kau tidak ada dimana mana, aku sangka kau telah pergi, Kak, pergi untuk selamanya. Bisakah kau bayangkan sebagaimana bahagianya aku saat membayangkannya?" tanya Ellena. Dera menelan ludahnya susah payah.
"Tapi coba pikirkan lagi, bagaimna diriku saat melihat wajahmu sedang berpelukan dengan orang terkaya di benua ini tercetak dengan begitu jelas diliputi oleh sebuah perusahaan majalah. Rasanya aku ingin membakar buku itu, sekalian denganmu juga," kata Ellena tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Mr Billionaire [COMPLETED]
Romance"Mulai sekarang kau milikku, mengerti?" "Y-yes, Mr. Billionaire" --- Dera Destia, seorang perempuan berumur 18 tahun yang selalu bermimpi menginginkan sebuah keluarga yang bahagia. Mimpinya tidak pernah terkabulkan. Hidupnya sangat berantakan karena...