"Selamat pagi, Nyonya," sapa Bi Sati. Tiba tiba, pagi buta Anandya menelepon telepon rumah Gerald, mengatakan bahwa dia akan datang mengunjungi laki laki itu. Bi Sati langsung berisap siap untuk menyambutnya. "Tuan Gerald ada di dalam."
Anandya mengangguk lalu mulai berjalan masuk ke dalam rumah putranya. Sekarang jam sudah menunjukan pukul 8 pagi, dan biasanya, tidak, dulu Gerald sudah akan bangun jam segini.
"Gerald masih tertidur?" tanya Anandya pelan.
"Maaf, saya tidak tahu, Nyonya. Tuan Gerald biasanya tidak akan keluar kamarnya seharian penuh. Saya tidak yakin apaka Tuan Gerald sudah bangun atau belum," kata Bi Sati.
Anandya hanya bisa mengangguk lemah menahan sesak didadanya mendengar keadaan putranya yang begitu hancur setelah kepergian istrinya.
"Saya yang akan membangunkannya," kata Anandya berbisik parau.
"Bagaimana dengan makannya? Apakah dia masih dengan rutin memakan makanan setiap hari?" tanya Anandya.
"Tuan Gerald sudah tidak pernah turun untuk makan di meja makan, Nyonya. Saya sering meletakkan makanannya di depan kamarnya, terkadang ada beberapa yang dimakannya walaupun sekedar makanan penutup kecil, terkadang dimakannya setengah, dan terkadang tidak disentuh sama sekali," katanya pelan.
"Suruhlah siapapun untuk menghangatkan makananya, lalu bawakanlah ke kamarnya," perintah Anandya tegas. Bi Stai mengangguk patuh.
Mereka berdua menaiki tangga lalu berjalan menuju kamar Gerald. Sekali, dua kali Bi Sati mengetuk pintu kamar Gerald, namun keduanya tidak mendapatkan balasan apapun. Anandya menghela nafasnya pelan. Kali ini, dirinya sendiri berjalan maju lalu mengetuk ruang kamar putranya itu.
"Gerald! Buka pintunya sekarang juga, ini mamah, Nak," katanya.
Tidak ada jawaban dari dalam, dan saatitu Anandya baru sadar bahwa kamarnya tidak dikunci. Tanpa berkata apapun, Anandya membuka kamar itu dan sinar matahari langsung menyambut matanya menyilaukan.
Terduduklah Gerald di atas sofa kamar dengan secangkir kopi di atas tangannya, melihat ke arah jendela dengan tatapan kosong. Anandya mati matian menahan tangis yang mengancam keluar dari pelupuk matanya menatap keadaan putranya.
Gerald sudah tidak pernah merawat penampilannya lagi. Bulu bulu tipis sudah mulai tumbuh dari dagunya, rambutnya sudah mulai memanjang, dan sebuah kantung mata terletak jelas di bawah mata lelaki itu.
Lelaki itu sudah meninggalkan pekerjaannya, melimpahkannya kepada orang kepercayaannya selama dirinya merasa rusak dan tidak berdaya. Dikerahkan semua uangnya demi mencari Dera, namun di sebelah perempuan itu ada seorang ahli IT yang mengganggu pekerjaannya.
Lelaki itu semakin mengurus, badannya masih terlihat tegas, masih diktator seperti dahulu, masih saja kokoh tegak terlihat seperti seorang penguasa. Namun sebaliknya dengan tatapannya.
Bahkan siapapun bisa melihat bagaimana mata lelaki itu terlihat lebih sayu, sedih, dan kosong.
Anandya berjalan pelan menghampiri Gerald lalu duduk di sampingnya, menggenggam tangan Gerald erat.
"Lihatlah dirimu, begitu hancur, begitu tidak terawat. Dimanakah putraku yang gagah perkasa itu? Dimanakah putraku yang dengan masalah sebesar apapun akan dengan percaya diri melaluinya?" tanya Anandya dengan sebuah tangis berhasil keluar dari pelupuk matanya. "Dimanakah putraku? Dimanakah Gerald kesayanganku, Nak?"
Mata lelaki itu manatap ibunya sayu. Rasanya sudah lama dia tidak berbicara dengan perempuan ini mengingat betapa dirinya marah kepada Gerald saat mengetahui apa yang telah dilakukannya 5 bulan yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Mr Billionaire [COMPLETED]
Romance"Mulai sekarang kau milikku, mengerti?" "Y-yes, Mr. Billionaire" --- Dera Destia, seorang perempuan berumur 18 tahun yang selalu bermimpi menginginkan sebuah keluarga yang bahagia. Mimpinya tidak pernah terkabulkan. Hidupnya sangat berantakan karena...