Aldrich Ed Stanford billionaire muda Amerika yang dianugerahi paras tampan bak Dewa Yunani. Dia selalu menjadi perbincangan hangat publik dengan segala kesempurnaan hidupnya.
Diusianya yang 28 tahun, pria asal New York itu satu satunya pewaris tunggal Stanford Group, perusahaan perhotelan terbesar di Amerika yang membangun hotel hotel standar Internasional bintang 5.
Stanford Group setidaknya memiliki 10 hotel terbesar di 3 kota diantaranya, Stanford Hotels Empire, Hotel Ed Stanford, Adams Hotels Internasional yang telah lama berdiri di New York, belum lagi hotel hotel yang ada di kota lainnya. Rencananya tahun ini Stanford Group akan memperbanyak hotel hotelnya diberbagai negara lain.
Banyak yang memuji semua pencapaiannya selama ini, termasuk semua patner bisnisnya. Tidak sedikit dari mereka mencoba peruntungan untuk menjodohkan para putri putrinya dengan Aldrich, tentu saja putra dari pasangan Adams dan Maria itu tidak segan segan menolak dan mengutarakan ketidaksukaannya karena telah mencampur urusan bisnis dengan urusan pribadi.
Para media selalu penasaran memburu informasi tentang kisah hidup dan asmara sang billionaire. Pasalnya, mereka tidak pernah sekalipun menangkap pria tampan itu berjalan bersama dengan seorang wanita. Kehidupan Aldrich benar benar tertutup rapat.
Media mengetahui sang billionaire hidup sebatang kara karena peristiwa tragis yang terjadi sekitar 20 tahun lalu. Peristiwa itu merenggut seluruh nyawa keluarganya, hanya sebatas itu informasi yang didapat. Dan mengenai penyebab peristiwa naas itu terjadi masih menjadi tanda tanya besar, tidak ada satupun dari media yang tahu, seolah memang ada pihak yang sengaja menutup semua informasi agar tidak menjadi santapan publik. Begitulah publik mengenal Aldrich Ed Stanford sang billionaire muda Amerika.
Aldrich berjalan tegap bersama William dan Mark disampingnya menuju lantai 47, gedung tertinggi dimana singgasananya sebagai CEO Stanford Group berada.
Semua karyawan yang melihat kedatangannya, menghentikan aktifitas dan berbaris rapi memberi hormat.
Hening
Tidak ada pergerakkan, sampai pria bertubuh atletis itu menghentikan langkahnya dan berbalik. Suasana menjadi tegang seketika, semua karyawan menahan napas melihat aura dingin penuh ancaman terpancar jelas disana.
Apa ada yang salah?
Apa mereka melakukan kesalahan?
Pertanyaan terus berputar dikepala mereka sampai keringat dingin keluar dengan sendirinya.
Aldrich menatap tajam wanita berambut merah disana, ia mengerti tatapan macam apa yang wanita itu tunjukkan padanya.
Kesalahan
"Pikirkan kesalahanmu atau... " desis Aldrich menggantung kalimatnya, menikmati perubahan raut wajah wanita itu "...berikan surat pengunduran dirimu padaku!" Suara tegas dan dingin Aldrich membuat wanita berambut merah yang saat ini menjadi pusat perhatian tersentak.
"Ba...baik, sir ." Dengan suara bergetar, ia pergi setelah sebelumnya memberi hormat dan meninggalkan semua orang yang menatapnya bingung.
Aldrich melanjutkan langkahnya menuju lift pribadi, ia tak perlu repot repot membuang waktunya untuk menjawab kebingungan mereka semua.
Tatapan menjijikan, pakaian yang tak pantas menjadi kesalahan wanita berambut merah tadi. Blouse putih tipis yang ketat memperlihatkan semua lekuk tubuhnya dengan jelas membuat Aldrich muak. Semua itu mengingatkannya akan masalalu yang masih tersimpan dimemorinya hingga saat ini, membuat napas sesak bila harus mengingatnya kembali.
Wanita cantik dengan dress tipis dan ketat, berjalan melewati seorang pria dan dua anak laki laki yang tengah asyik bermain diruang keluarga. Pria bermanik abu gelap itu melihatnya dengan tatapan tak suka.
"Kau akan kemana dengan pakaian itu Maria??" Suara tegas dan dingin menghentikan langkah wanita itu.
"Aku akan bertemu temanku, Adams." Jawabnya santai, tanpa melihat pria yang menjadi lawan bicaranya.
"Mereka lebih membutuhkanmu daripada temanmu itu, Maria. Kau tak pernah memberi sedikit saja perhatianmu pada mereka!!" Desis Adams dengan rahang mengeras dan tangan mengepal, mencoba menahan amarah yang siap meledak.
"Kau tenang saja, aku pulang cepat." Jawab Maria dengan suara tak kalah dingin, mengabaikan ucapan Adams sebelumnya.
Adams menghembuskan napas kasar setelah kepergian istrinya, ia menutup mata menormalkan emosi tiap kali menghadapi wanita itu. Semua tak luput dari pandangan anak laki laki bermanik abu gelap yang mewarisi mata ayahnya.
"Apa daddy marah pada mom?" Suara kecil itu membuat Adams membuka matanya kembali.
Adams melihat putra sulungnya tengah menunggu jawaban darinya dengan manik biru yang membulat besar.
"Yes son! Dad tak suka mommy memakai pakaian seperti itu, wanita harus menjaga kehormatannya. Jika kau sudah besar, kau akan mengerti dan melakukan hal yang sama seperti dad lakukan." Jelas Adams memberi pengertian, dengan suara lembut namun penuh ketegasan.
"Dad benar, bukankah mommy akan tak nyaman dengan pakaian seperti itu? Mom juga akan sakit, Aarich tidak suka mom sakit." Ucap Aarich dengan bibir mungil mengerucut lucu.
Adams gemas melihat putra sulungnya, ia hendak menjawab ucapan Aarich jika telinganya tak menangkap gunaman lirih dan kecil itu.
"Aldrich benci mom..." gunamnya lirih, manik abu gelap itu berkaca kaca dan kepalanya tertunduk lemas tak lagi tertarik dengan mainan robot robotan miliknya.
Napas Adams tercekat dan rahangnya terkatup rapat melihat kesedihan putra bungsunya yang membenci ibunya sendiri.
Aldrich duduk dikursi kebesarannya saat William masuk membawa beberapa berkas yang perlu ditanda tangan.
"Kemana Thomas?" Aldrich menanyakan sekertaris pribadinya.
"Dia mungkin dalam perjalanan, tuan." Jawab William yang masih berdiri tegap ditengah ruangan.
Aldrich menaikan sebelah alisnya melihat William masih disini dan tak kembali keruang kerjanya.
"Kenapa?" Tanya Aldrich singkat.
William menatap tepat dimanik abu gelap itu,"apa yang tuan inginkan untuk sarapan pagi ini?" Tanyanya.
"Tidak ada." Aldrich menyibukkan kembali pada berkas berkas dimejanya.
"Tuan?" Panggil William.
" .... " Tidak ada jawaban.
"Tuan?" Panggilnya kembali.
" .... " Masih tidak ada tanda tanda Aldrich akan menjawab apa yang William ingin dengar saat ini.
William menarik napas panjang, sudah habis kesabarannya menghadapi sikap Aldrich yang seperti itu.
"ALDRICH!!" Suara tinggi dan tegas itu membuat Aldrich mengangkat kepalanya.
Hening
Aldrich menatap William dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Panggil namaku... sudah lama tak ada yang memanggil namaku," lirihnya pelan.
"Sandwich tuna. Pesankan itu untukku." Lanjut Aldrich dengan suara kembali datar.
William tersenyum tipis,"baik." Jawabnya santai. Tak ada lagi sikap formal saat ia mengerti sorot mata abu gelap itu.
"Kudengar Haines Crop akan membuka cabang baru lagi. Kau tahu dimana?" Aldrich kembali membuka suara.
"New York."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aldrich Ed Stanford (Tersedia di Gramedia)
RomanceALDRICH ED STANFORD, sosok pria dengan kepribadian introvert (tertutup), pengalaman masa lalu menjadikan emosinya bagai buku yang tertutup rapat. Suatu ketika Aldrich bertemu dengan Ashley, seorang gadis berjiwa bebas yang mencintai hidup dengan mem...