Aldrich Ed Stanford | Chapter 27

112K 6.3K 81
                                    

Langkah kecil anak laki-laki itu semakin dekat dengan kenyataan yang akan membawanya pada bagian pahit hidupnya. Kaki kecil itu terus berjalan tertatih-tatih membelah lautan darah yang menggenang di bawah lantai. Tidak peduli dengan apa yang di ijaknya karena tatapannya hanya terkunci pada satu titik di depan sana.

Tubuh wanita itulah yang satu satunya masih bergerak. Manik biru yang sama dengan kakaknya itu dapat memandangnya walau berat dan tidak fokus. Dan tangan itu berusaha berkali-kali untuk menggapainya walau beberapa kali gagal. Hingga akhirnya anak kecil bermanik abu gelap itu dengan lemas mendekat kearah wanita yang tengah berbaring tak berdaya itu bersamaan dengan beberapa tubuh yang sudah terbujur kaku di sekitarnya.

Wanita yang sedang meregang nyawa itu tak lain ibunya sendiri. Ibu yang selama ini selalu melontarkan caci dan makian kepadanya tanpa alasan yang dirinya mengerti. Namun tak urung ia membalas remasan jemari yang bertengger kuat di lengannya untuk menyakinkan bahwa itu memang dirinya, Aldrich.

"Katakan apa yang ingin kau sampaikan.. " ucap Aldrich dengan suara yang setengah menghilang. Anak kecil itu seakan tahu bahwa ibunya tidak akan lama lagi mungkin akan menyusul ayah dan kakaknya.

Maria menatap manik abu gelap yang selama ini tak pernah berani ia tatap. "Apa yang kau tahu tentang diriku, Ed.. A-aku wanita seperti apa menurutmu?" lirihnya bersamaan dengan tarikan napas dalam seakan menahan sesuatu yang menyakitkan.

"Kau ibu terburuk di dunia ini.. " jawabnya memalingkan wajahnya dari tatapan sendu ibunya. "Kenapa kau tidak menyukaiku? Lihatlah.." mata Aldrich bergulir memandang pemandangan mengerikan sekitarnya sebelum kembali melanjutkan, "semua karena dirimu." Maria memejamkan matanya seraya mengangguk setuju.

"Tuhan selalu mengabulkan doa seorang ibu dan sekarang doamu terkabul, selamat nyonya. Anak sialan ini akan kesepian dan sendirian seumur hidupnya sesuai dengan kutukanmu, bukan?" kristal bening miliknya sudah berjatuhan membasahi kedua pipinya.

Batin anak kecil itu menjerit, mengapa Tuhan tidak adil padanya? Kini apa lagi yang tersisa untuknya? Kejadian ini sungguh tidak memberinya waktu untuk sekedar menghela napas dan memahami apa yang terjadi.

"Aku berharap setelah ini aku tidak lagi melihat wajahmu, wanita jahat. Tidak akan kubiarkan kau masuk ke dalam hidupku meski hanya dalam mimpi!" Aldrich kecil mengucapkan kata-kata yang mana mungkin suatu saat akan di sesalinya.

Maria mengangguk pelan, tangannya membawa telinga kecil itu untuk mendekatkan kearah bibirnya. "Y-ya itulah diriku.. Kau sudah benar. Bencilah aku seumur hidupmu, Ed. Ingatlah semua kenang buruk tentangku karena itu satu-satunya kenangan yang akan membawamu untuk selalu mengingatku." bisiknya, sebelum manik biru yang selalu ia kagumi itu menutup sempurna.

Bencilah aku..

Ingatlah kenangan buruk tentangku untuk selalu mengingatku..

Selalu mengingatku..

Selalu mengingatku..

Napas Aldrich terengah-engah tapi matanya tetap terpejam erat seakan masih berada di dalam alam bawah sadarnya.

Ashley terus mengguncangkan tubuh besar Aldrich. Ia begitu khawatir dengan kondisi Aldrich yang semakin memburuk. Baru saja ia terlelap, dirinya kembali terbangun kala merasakan guncangan hebat dari sisi ranjangnya serta racauan yang tidak terdengar jelas.

"Aldrich.. Hey, bangun! Bangun, Ed. Kumohon bangun.." ia terus mengucapkan kalimat itu berharap pria itu mau terbangun dari mimpinya. Perlahan namun pasti, manik abu gelap itu mengerjapkan matanya sebelum kemudian terbuka sempurna menatap keadaan sekitarnya.

Aldrich Ed Stanford (Tersedia di Gramedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang