Aldrich Ed Stanford | Chapter 45

103K 6.4K 154
                                    

Ashley mengerjapkan mata, saat sinar matahari menyorot wajahnya. Siluet tubuh seorang pria membuat dirinya menegakkan tubuh, masih dengan keadaan setengah sadar, ia memandangi wajah pria tersebut.

Aldrich..

Penampilan pria itu masih sama kacau dan tak terawat. Ashley tidak tahan melarikan tangannya, meraih wajah Aldrich dengan mengusap lembut rahangnya. Mereka sama kacau namun siapapun tahu siapa yang lebih kacau diantara mereka berdua.

Sejenak Aldrich terbuai oleh belaian lembut itu, tidak ada yang pernah menyentuhnya dan takkah pernah ia biarkan wanita lain melakukannya selain gadis yang berada di depannya ini.

Setelah pembicaraan mereka semalam, Ashley tidak pergi kemana pun, lebih tepatnya tak ingin meninggalkan Aldrich sendirian ditengah kesedihannya. Tidak ada yang tahu seberapa besar rasa bersalahnya terhadap pria itu dan seberapa sakit hatinya melihat kesedihan diwajah rupawannya.

Jika Kevin mengijinkan, Ashley sangat ingin lebih lama tinggal disini dan hidup bersama dengan pria itu. Tapi ruang geraknya berada di bawah tangan Kevin, tidak ada yang membenarkan jika dirinya membantah perintah pria tersebut.

"Apa yang kau dapatkan dari semua ini?" suara parau itu menyentakkan dirinya dari lamunan. "Kau tidak menginginkan uangku, kau pun tidak menginginkan diriku.. "

Ashley menggeleng cepat, Tuhan tahu seberapa besar dirinya menginginkan pria yang kini menatapnya dalam. Dulu, ia pernah mengatakan kalau semua yang Ashley lakukan semata-mata karena hatinya tergerak dengan sendirinya. Sekarang ia meragukan hal itu, ia sendiri kebingungan mengapa dirinya begitu ingin bersama Aldrich.

Ashley merasa ketakutan bila dirinya tidak dapat melihat pria itu lagi. Ia pun merasa tidak yakin meninggalkan mansion ini setelah Aldrich mengatakan bahwa dirinya tak dapat diterima kembali bila ia menginjakkan kakinya keluar. Membayangkannya saja bagai mimpi buruk yang tak boleh menjadi nyata.

"Kau pernah bilang, memilih cinta takkan membuatku kesepian. Tapi mengapa sekarang kau membiarkan aku kesepian dengan cintaku sendiri. Aku selalu menganggap kau milikku sebelum kau berubah menjauh karena perasaanku." Aldrich meremas tangan Ashley yang berada dipipinya, "mengapa ini kau lakukan, Ashley? Lihat ke dalam diriku, siapa aku bagimu?" ia menaikan sedikit nada bicaranya agar gadis itu menjawab semua pertanyaannya selain diam dan menangis.

"Kau harus disadarkan.. " ia menatap kosong sekeliling kamarnya yang berantakan.

Ashley menghapus air matanya yang ia biarkan mengalir, "apa?" mengerutkan dahinya ketika Aldrich bangkit berdiri, mendadak perasaannya tidak enak dan takut.

Mata abu gelap itu mencari, mencari sesuatu yang ia butuhkan lalu pandangannya berhenti setelah ia menemukan benda tersebut. "Kau ingin tahu rasa sakitku, bukan? Setelah ini kau akan mengerti dan sadar kalau aku tidak baik-baik saja."

Sontak Ashley bangkit berdiri, ia tidak percaya dengan apa yang pria itu lakukan. Aldrich meremas pecahan kaca yang ia pungut dari lantai sampai cairan pekat berwarna merah keluar dari sela-seja jemarinya. Ashley menyaksikan sendiri bagaimana darah itu menetes ke lantai, tetes demi tetes sebelum mengucur banyak dan bersimbah di bawah sana.

"Kau boleh menganggapku gila tapi kau harus disadarkan dengan ini.. " ucapnya seraya mengerang kesakitan kala pecahan kaca itu menusuk telapak tangannya semakin dalam.

Gerakan Aldrich terlalu cepat dan Ashley membenci dirinya yang lambat. Ia tidak bisa merebut pecahan itu karena Aldrich lebih dulu menangkisnya. Pandangan Ashley sedikit buram, air matanya menyerbu keluar melihat erangan kesakitan pria itu. Benci. Ia benci tidak bisa melakukan apapun.

Ashley terisak-isak seraya berlutut di bawahnya, "hentikan, Aldrich. Kumohon, kau menyiksaku! Hentikan..." ia menyatukan tangannya di dada, memohon agar pria itu berhenti menyakiti dirinya sendiri.

Aldrich Ed Stanford (Tersedia di Gramedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang