Aldrich Ed Stanford | Chapter 16

127K 7.2K 209
                                    

Aldrich termenung setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Seharusnya ia mengajak William dan Mark pulang saat ini, namun sesuatu mengganjal dihati membuat dirinya masih tertahan disini. Entah mengapa perkataan gadis itu masih terngiang ditelinga, meski pikirannya telah teralihkan oleh ribuan angka yang rumit sekalipun.

"Kau membuat perasaan orang lain tidak enak karena sikapmu.."

"... Kau telah menyinggung perasaaanku.."

"... Apa itu karena keberadaanku dirumahmu? Atau mungkin, memang sudah menjadi kebiasaan untukmu? Orang lain tidak akan tahu itu.."

Aldrich mengusap kasar wajahnya. Ya orang lain tidak akan pernah tahu mengenai dirinya. Ia tetap merasa benar akan sikap selama ini. Tidak terlena dengan kebahagiaan yang bisa saja direnggut dikemudian hari. Mendorong orang lain menjauh sebelum dirinya dicampakan adalah bentuk pertahanan Aldrich untuk tidak tergantung terhadap siapapun, terkecuali William. Pria yang terlalu banyak tahu mengenai dirinya.

William, orang terakhir yang akan ia dorong untuk menjauh dari hidupnya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dirinya membutuhkan pria itu melebihi apapun di dunia ini. Seperti yang di katakan sebelumnya, William terlalu banyak tahu mengenai dirinya dan masalalu yang selalu mengejarnya.

Pria itu mengenal Aldrich melebihi dirinya sendiri. Mengetahui kisah hidupnya bak buku diary yang tercatat jelas disetiap lembarannya. Terlalu jauh mengenal dan terlalu banyak berperan.

Telintas memori kecil kembali menyerangnya. Napas Aldrich terasa sesak dengan jantung seperti tertusuk oleh ribuan jarum tak kasat mata. Ia meremas pinggiran meja guna menyalurkan semua perasaan tertahannya.

"Ed, ayo makan! Kenapa kau tidak mau membuka mulutmu?" Aarich berusaha membujuk adiknya yang lagi lagi menghiraukan ucapannya.

"Kau demam, Ed. Bagaimana jika daddy pulang.. Kau masih seperti ini?" Aarich kembali membujuk adiknya. Ia sangat khawatir melihat kondisi Aldrich yang lemas tak berdaya diatas ranjang.

Aarich menghela napas menyerah, "baiklah. Katakan padaku.. Apa yang kau inginkan supaya kau mau menghabiskan sarapanmu ini? Kau ingin buku dongeng baru?" namun gelengan kepala yang ia dapatkan. "Lalu?" tanyanya dengan sabar seraya mengusap lembut wajah Aldrich yang panas.

Aldrich menatap manik biru yang seindah samudra itu, "aku ingin mommy yang menyuapiku.." lirihnya dengan wajah yang memerah.

Aarich diam. Ia menatap sendu wajah adiknya, namun tak urung membantu Aldrich turun dari ranjang, "ayo.. Kita temui mommy dibawah." ucapnya dengan nada tak yakin.

Kedua kakak beradik itu melihat Maria yang sedang menyantap makanannya. Aarich terlihat ragu membawa Aldrich mendekat ke meja yang sudah tersedia berbagai hidangan. Namun demi Aldrich yang sakit ia berani mencoba.

"Mom.. Ed ingin disuapi. Dia sedang sakit. Aku sudah berusaha menyuapinya tadi tapi dia ingin mom yang menyupinya.. " ucapnya pelan seraya menggenggam erat tangan mungil adiknya seakan menyalurkan kekuatan untuk menghadapi apapun yang akan mereka terima nantinya.

Maria menatap tajam kedua anaknya terutama si kecil Aldrich, "biarkan saja dia, Aarich! Cepat kau berangkat sekolah!" mendapat respon tak mengenakkan, Aarich melirik cemas wajah Aldrich yang tidak dapat menyembunyikan raut sedihnya.

Aarich memejamkan matanya lalu berkata, "tapi mom.. Dia-" ia terkejut dengan bunyi sendok yang dibanting keras. Tidak hanya dirinya, semua pelayan terlihat berkumpul di ambang pintu untuk melihat apa yang terjadi sebelum pandangan mereka jatuh kearah dirinya dan Aldrich lalu memberi tatapan iba kepadanya.

Aldrich Ed Stanford (Tersedia di Gramedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang