Aldrich Ed Stanford | Chapter 22

124K 7K 123
                                    

Ashley masuk ke kamar dengan wajah sedih. Dirinya melangkahkan kaki menuju balkon yang saat itu tengah memperlihatkan langit senja yang indah. Ia menengadahkan kepalanya, melihat gumpalan awan unik yang terlukis disana.

"Maafkan aku, Kevin. Aku berbohong padamu." setetes air mata jatuh melewati pelipisnya, "Mereka masih menyakitiku," bisiknya.

Ashley mengahapusnya cepat, "Astaga! Kau mellow sekali, Ashley." ia tertawa pelan lalu tatapannya jatuh pada taman yang berada dibawah balkon sana.

Taman itu dipenuhi rerumputan hijau yang terlihat lembut dan berbentuk sedemikian rupa untuk memperindah sekitarnya sehingga membuatnya semakin menarik. Ingatkan dirinya untuk menanam benih tanaman dan bunga yang banyak untuk menghias taman itu. Tidak peduli, pria itu akan marah atau tidak. Ia hanya ingin menghabiskan sebagian waktunya selain melukis dan melamun dengan bercocok tanaman.

Pluk!

Perhatiannya teralihkan oleh bunyi benturan tersebut. Ashley membulatkan bola matanya setelah melihat seekor burung menalagi jendela lalu jatuh tak berdaya di bawah lantai.

"Hei.. Kau tidak apa apa?" ia mengangkat tubuh mungil itu, memeriksa luka yang mungkin terdapat disana.

"Kau tidak melihat ada jendela, hm..?"

Ashley membawa burung itu masuk lalu menaruhnya di atas ranjang. Ia meninggalkan burung itu disana untuk mengambil kotak p3k.

Di kamarnya, Aldrich memakai pakaian yang Ashley berikan dengan beribu tanya dalam hatinya. Dua puluh tahun. Sudah selama itu ia berhasil mengendalikan dirinya dan mengontrol segala emosi yang tak ingin ia tunjukkan. Namun, hari ini ia tidak tahu mengapa bisa menguap dan lepas kendali seperti tadi.

Tangannya terangkat, menyentuh tatanan rambut yang sudah rapih sesuai seleranya dan mencium aroma tubuhnya yang telah wangi khas dirinya. Pria itu tersadar. Tidak seharusnya ia lepas kendali membuat gadis itu sampai menangis karena amarahnya, meski Ashley melanggar peraturan yang telah ia tetapkan sebelumnya.

Aldrich berdiri di pintu samping kamarnya. Ia tidak tahu harus masuk atau tidak tapi tangannya sudah lebih dulu membuka pintu itu sehingga mau tidak mau ia harus masuk kedalam sana.

Entah keberanian atau kelancangan darimana. Aldrich memasuki kamar seorang gadis meski ini masih kamar miliknya yang ia sewakan. Sewakan? Ia belum tahu apa kata yang pantas untuk mendeskripsikan hubungan dan keadaan mereka saat ini. Mungkin seorang pengusaha sukses yang menyewakan beberapa ruangan di mansionnya untuk ditempati gadis asing dengan harga yang belum di tentukan. Baiklah, simpan presepsi itu nanti.

Saat berada didalam. Pria itu dapat merasakan suasana feminim dan lembut di setiap sudut yang ada. Tercium aroma khas gadis itu di hidungnya. Anggur dan vanilla. Perpaduan pas yang membuat dirinya terbuai beberapa saat lalu.

Tap.. Tap!

Kakinya terus melangkah menuju ranjang lalu berhenti setelah sampai disana. Aldrich tertegun dengan pemandangan yang tidak pernah terlintas sedikitpun dibenaknya. Pertama, ia melihat seorang gadis tertidur dengan posisi tengkurap di atas ranjang dengan mendapati seekor burung kecil berada dalam genggaman tangannya. Kedua, ia dapat melihat keduanya tertidur dengan damai seolah keadaan mereka baik baik saja sebelumnya. Padahal burung itu mendapatkan luka dibagian kakinya belum lagi dengan si gadis yang juga mendapat luka dibagian hatinya.

Dirinya tidak tahu, sejak kapan tangannya bergerak mengambil burung kecil itu lalu membawanya berjalan menuju balkon dan melepasnya disana. Sontak burung kecil itu terbang dengan sayap mungil yang indah di tengah-tengah langit yang senja. Setelahnya, ia menutup pintu balkon untuk menghalau angin yang masuk dan kembali berdiri di samping ranjang.

Aldrich Ed Stanford (Tersedia di Gramedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang