Part 9. Memang Lemah

716 21 0
                                    

Hari itu, seorang gadis tengah berjalan menuju kelasnya. Seperti biasa, dia hanya memasang wajah dingin nan cueknya kesemua orang. Begitupun ke adik kelas yang sedang berlalu lalang. Sambil berjalan sedikit tertatih-tatih, tanpa perban, dia sampai dikelasnya.

Masuk kelas, kembali dengan wajah cueknya. Dia memandang Syila yang tengah tersenyum sumringah kepadanya, dan Dean yang sedang menatapnya penuh selidik.

Emang dasarnya cuek, dia menghiraukan semua itu, dia beralih ke handphone dan headseatnya, lalu mulai memejamkan mata. Seperti biasa.

Cukup lama dia dalam posisi seperti itu, sampai ada sebuah jari mengetuk-ngetuk lengannya.

Dia membuka matanya dan melepas salah satu headseatnya.

Dia hanya merespon dengan salah satu alis yang terangkat keatas.

"Kemarin elo dipanggil sama pekerja TU, disuruh kesana!" lalu ketua kelas pergi.

Dea berpikir sejenak, lalu beranjak dari kursi tempat duduknya.

              ***

Tok tok tok!

"Dea? Darimana aja kamu? Jam segini baru masuk kelas." Dea berjalan kearah guru yang sedang ada jadwal pelajaran saat ini.

"Maaf Pak, saya habis dari ruang TU." ucapnya tenang. Padahal didepannya ada guru yang lumayan killer.

"Ada urusan apa kamu kesana?"

"Bukan apa-apa, Pak." jawabnya yang bahkan bukan jawaban yang diharapkan guru itu.

"Saya tanya, kenapa kamu disana, ada urusan apa. Bukannya tanya keadaan." guru itu mulai marah. Dan para murid yang lain mulai takut, termasuk Dean. Tapi hal itu tidak berlaku bagi Dea.

"Maaf sekali lagi, Pak. Bapak ga berhak buat saya ngaku apa yang terjadi di TU tadi. Karena itu merupakan urusan saya, bukan urusan Bapak." jawab Dea dingin. Dan guru itu tambah marah. Wajahnya merah padam.

"Kamu? Berani bantah saya?!" guru itu mulai nunjuk-nunjuk Dea.

"Saya bukannya bantah, Pak. Saya cuma butuh privasi disini."

Perdebatan mereka berdua tidak luput dari penglihatan Syila dan Dean.

"KAMU! KELUAR DARI KELAS SAYA SEKARANG!"

              ***

Seorang gadis tengah memantulkan bola basket dengan kerasnya. Dan alhasil, bola itu melambung dengan tingginya. Hal itu merupakan luapan amarahnya. Ya, dia hanya bisa seperti itu.

Berkali-berkali dia berusaha memasukkan bola ke ring, tapi nihil. Keringat mulai membanjiri dirinya, dan kaosnya basah dengan keringatnya. Akhirnya dia menepi, memilih duduk ditempat duduk lapangan basket itu.

Sejenak dia menerawang kedepan dengan air mata jatuh perlahan. Cepat-cepat ia bersihkan dan memegang kepalanya.

Gue lelah ya, Tuhan. Bunda, Dea rindu sama Bunda.

Lagi-lagi air mata jatuh dikedua matanya, dan lagi-lagi diusapnya cepat.

Dea kesepian disini. Dea ga punya siapa-siapa lagi. Semuanya jahat! Semuanya kejam sama Dea! Bibi, guru, teman-teman, 'dia', semuanya jahat! Dea pengen sama Bunda. Kenapa kemarin Tuhan ga ngambil Dea aja? Kenapa Tuhan ga ngijinin Dea buat ketemu sama Bunda?

Air mata kembali turun membasahi kedua pipinya, dengan derasnya. Tapi kali ini dia tidak menghapusnya. Biarkan seperti itu. Toh! Tidak ada yang melihatnya menangis.

Tapi dugaannya salah, ternyata ada seseorang melihat dia tengah menangis, dari kejauhan.

Ternyata elo selemah itu, De.

--------------***------------

DETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang