"De, lo dipanggil guru. Suruh ke ruang kepsek katanya." kata ketua kelas ke Dea.
Dea yang saat itu tengah bercakap-cakap seru bersama sahabat-sahabatnya. Ya, Dean dan Syila, seketika berdiri.
Pasti soal beasiswa itu.
Dea hanya mengangguk dan menoleh ke Dean dan Syila.
"Gue pergi dulu ya!" lalu Dea sedikit berlari keluar kelas.
Dean dan Syila saling tatap.
"Kok akhir-akhir ini Dea sering dipanggil keruang guru sih? Ada urusan apa ya?" selidik Syila.
"Gue juga ga tau. Coba kita tanyakan aja ke dia nanti." jawab Dean. Dan Syila hanya mengangguk paham.
Dean hanya diam menatap kekursi disampingnya itu.
Kayaknya ada yang dirahasiakan disini.
***
"Bagaimana Pak?"
"Hm..." Pak kepsek itu nampak membuka-buka data disana. Dan tersenyum ramah.
"Selamat ya, Dea. Kamu memang diterima kuliah beasiswa di Inggris." Pak Kepsek menjabat tangan siswi nya ini. Dia merasa bangga mempunyai siswi seperti Dea di sekolahnya.
Dea juga ikutan tersenyum. Entah mengapa senyum yang ia tunjukkan adalah senyum yang tidak bisa diartikan oleh siapapun.
"Maaf Pak, kalau boleh tau kapan ya saya bisa berangkat kesana?"
"Kamu bisa berangkat minggu depan. Tepatnya hari sabtu besok kamu udah harus ready di bandara."
Dea terbengong. Tidak menyangka dia akan secepat itu meninggalkan negara ini. Tepatnya semua orang disini.
Dia hampir saja meneteskan air mata, tapi ia tahan.
"Baiklah Pak, saya permisi dulu. Terimakasih ya Pak, Bapak sangat membantu saya." sebelum pergi, Dea mencium tangan kepsek itu.
Tepat saat keluar dari ruangan tersebut, air mata langsung jatuh seketika. Dea menyekanya cepat. Dan berjalan menuju kamar mandi. Dia akan mencuci mukanya. Dia tidak mau terlihat kalau dia baru saja menangis.
***
"De?"
"..."
"Dea?"
"Ah iya, apa?" Dea sedikit kaget. Seketika lamunannya buyar.
"Lo kok akhir-akhir ini sering ngelamun sih? Mikirin apa coba?" tanya Dea sambil menatap penuh intimidasi. Memang, Dean mulai curiga dengan sikap Dea yang terkesan aneh. Tidak seperti biasanya.
Gue harus cepet-cepet fokus. Jangan sampai Dean curiga.
"Ga! Gue ga mikirin apa-apa kok. Perasaan lo aja kali!" Dea terkekeh diakhir kalimat.
Ada yang aneh nih.
"Oh iya, btw, Syila mana? Kok gue ga liat daritadi?" sebentar Dea menyeruput kopinya yang udah agak dingin.
Tiba-tiba saja Dean menyentuh keningnya Dea. Dea tidak berniat untuk menepisnya. Malah menatapnya bingung.
"Kenapa lo nyentuh kening gue?"
Sejenak Dean manggut-manggut.
"Pantesan aja. Tubuh lo panas."
"Pantesan kenapa emang?" Dea masih tidak mengerti arah pembicaraan Dean.
"Lo sakit. Syila ngomong aja tadi lo ga inget. Wahh bahaya lo! Sana tidur gih!" Dean sok-sok an syok. Padahal dia hanya bercanda soal tubuh Dea panas.
Seketika Dea memukul tangan yang menyentuh keningnya itu.
"Wahh jahat lo!"
Dean tertawa keras.
"Lah salah siapa? Lo daritadi bengong mulu. Syila tuh tadi udah ijin ke kita kalo dia ga bisa ikut kita makan dikantin gara-gara dia disuruh pulang cepet sama Mamanya."
Dea hanya manggut-manggut paham.
Sebentar Dea melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya itu.
16.30
"Kenapa De?" Dean bertanya kepada Dea setelah Dea kembalu menatapnya.
"Gue mau pulang."
"Yaudah, gue anter?" tawar Dean. Dan Dea hanya nyengir ga jelas.
"Nah! Itu yang gue harap dari tadi."
Dean mencebik dan terkekeh pelan, sambil mengusap rambut Dea. Otomatis rambut pendek sebahu itu dibuatnya berantakan.
--------------***------------
KAMU SEDANG MEMBACA
DE
Teen Fiction"Cinta? Huh! Rasanya mustahil sekali bagiku. Sesuatu yang ga berguna, yang membunuhku perlahan. Memikirkannya saja aku tidak pernah, bahkan aku tidak ingin memikirkannya." Dea, siswi cantik yang duduk di bangku SMA itu sudah merasakan pukulan dunia...