Sudah dua hari ini Dea tidak masuk sekolah. Dirumahnya pun dia tidak ada. Berkali-kali Dean dan juga Syila datang kerumahnya. Kata tetangganya Dea sudah pergi pagi tadi. Ya, sangat pagi. Pulang? Dea pulang malam. Entah kemana perginya gadis itu.
Tidak ada yang tau kepergiannya Dea. Bagai ditelan bumi. Hilang seketika. Padahal baru kemarin Dea mengajaknya jalan-jalan, pikir Syila.
"Hah! Aku capek, De." Syila memilih duduk dibangku terdekat. Diikuti Dean juga tanpa berniat menjawab.
"Jadi kita harus cari Dea kemana lagi?" tanya Dean pasrah.
"Dea tuh orangnya misterius ya? Dulu dia juga kayak gitu, dan sekarang kita tau alasannya. Dan ini? Masa ada masalah yang menimpanya lagi?" dan hanya dibalas gelengan dari Syila.
Ting ting!
Syila dan Dean saling pandang.
"Udah bel masuk tuh!"
"Yaudah, kita balik ke kelas."
Lalu mereka berdua berjalan menuju kelas mereka dengan pikiran mereka masing-masing.
***
"Dean pulang..." Dean berjalan dengan malasnya masuk rumah. Kenapa? Karena sepulang tadi, Dean dan Syila kembali mencari Dea tapi tidak ketemu.
"Kakak! Kakak udah pulang?" Dean terkejut. Kok Nino sendiri? Mana Tante Sinta?
"Lho? Nino kok sendiri? Mana Mama?" Dean jongkok. Sekedar menyamakan kedudukan. Agar lebih mudah ngobrolnya.
"Mama tadi pergi. Katanya ada urusan. Sore nanti pulangnya." Nino lebih memilih sibuk sendiri dengan urusannya. Entah apa yang ia mainkan itu.
Dean merasa ada yang janggal. Selama Tante Sinta itu tinggal disini, Dean rasa, dia ga punya teman deh. Apalagi teman dekat. Jadi, Mama nya itu pergi dengan siapa?
"Ah iya Nino."
"Hm?" Nino masih sibuk dengan urusannya.
"Mama pergi bareng siapa? Nino tau ga?"
Terlihat Nino tengah berpikir.
"Mama pergi sendiri tadi. Bawa mobil." lalu Nino pergi darisana. Kembali menuju tempat tv berada.
Tapi kok gue rasa Mama pergi untuk ketemuan sama seseorang ya?
***
Hari selasa...
Ya, hari ini Dea tidak masuk sekolah. Dia udah ijin sama kepsek. Dan dia minta hal itu dirahasiakan dari para murid.
Disinilah saat ini Dea berada. Dea tengah berdiri didepan suatu rumah sakit yang agak ternama. Tanpa ragu, Dea berjalan memasuki tempat itu.
Didalam sana Dea banyak memperoleh berbagai sapaan. Mulai dari jabat tangan, panggilan, sampai pelukan. Dea bersyukur akan hal itu.
"Dea? Selamat pagi!" salah satu Dokter disana tiba-tiba datang menjabat Dea, sekaligus memeluknya. Dia tau Dokter ini, tapi dia tidak tau namanya. Dea menyambut pelukan itu.
"Mau apa kamu kesini? Mau pemeriksaan?" Dokter cantik itu tersenyum ramah.
Dea juga ikutan tersenyum.
"Ah iya, Dokter Hafi nya ada?"
Terlihat Dokter cantik itu tengah berpikir. Beberapa detik kemudian terdengar suara jentikkan.
"Tadi aku lihat Dokter Hafi sedang mengadakan pemeriksaan pada pasien lain juga. Mungkin kali ini dia udah selesai. Coba kamu cari dia di ruangan nomor 4."
Dea mengangguk paham.
"Makasih ya, Dok. Yaudah, saya permisi dulu."
Dokter itu tersenyum sebelum pergi dengan melambaikan tangannya.
Dea berjalan menuju ruangan nomor 4. Jangan pikir Dea kebingungan mencari ruangan itu. Kalian salah. Dea sudah hafal letak masing-masing ruangan disana. Ya... Karena Dea juga sering ke rumah sakit itu. Sekedar pemeriksaan. Dan kali ini dia ingin melakukan pemeriksaan lagi, sebelum dia berangkat ke luar negeri.
"Nomor 4? Bukannya yang ini ya?" saat Dea akan membuka pintu ruangan tersebut, Dea merasa ada yang menyentuh bahunya. Otomatis Dea berbalik.
"Dea? Kamu ngapain disini?"
"Ah, Dokter Hafi. Bukannya Dokter ada didalam ya?" Dea menunjuk ruangan dibelakangnya itu menggunakan jarinya.
"Emang iya. Tau darimana?"
"Tadi ada Dokter cantik, aku ga tau namanya siapa. Dia bilang kalo Dokter ada diruangan nomor 4, tengah melakukan pemeriksaan pada pasien."
Dokter Hafi hanya manggut-manggut paham.
"Lha terus, Dokter Hafi kok dari arah sana? Dari mana?" Dea menunjuk arah depan. Belakangnya Dokter Hafi.
"Oh, saya baru saja minum. Dan benar, tadi saya melakukan pemeriksaan pada pasien. Tapi sekarang sudah selesai."
Sekarang Dea yang manggut-manggut.
"Oh iya, kamu kesini mau ngapain? Pemeriksaan juga?"
Dea mengangguk.
"Oh yaudah, ayo langsung saja!" Dokter Hafi masuk kembali kedalam ruangan nomor 4 itu. Diikuti Dea dari belakang.
***
"Gimana Dok?"
Sebentar Dokter Hafi melihat selembar kertas yang ada ditangannya saat ini.
"Syukurlah, kamu lebih baik sekarang. Sepertinya kamu nurut yang saya bilang kemarin-kemarin."
Dea terkekeh pelan.
"Ya pastilah saya nurut sama anda."
"Jadi, saya ga separah yang pertama kali kan?" lanjut Dea.
"Ga, kamu lebih baik sekarang. Tapi belum sembuh total. Jadi, tetap ikuti saran dari saya ya! Tetap minum obat dan makanannya dijaga. Jangan sampai terluka sedikit pun, karena hal itu bisa fatal. Jadi kamu jangan dekat-dekat dengan hal yang berbau kekerasan. Misalnya saja perkelahian."
Gawat. Padahal perkelahian merupakan salah satu kegiatan yang dia suka. Itu dapat menghilangkan rasa lelah, pikirnya. Dan dia harus merubah kebiasaan itu? Ya, mulai sekarang dia akan menghindari itu. Demi kesehatannya.
"Baiklah, terima kasih ya Dok. Saya permisi dulu." Dea beranjak berdiri dari kursinya.
"Oke, kapan-kapan datang lagi ya!" Dea yang mendengar itu seketika menghentikan aktifitas memakai tas nya.
"Sepertinya saya ga bisa kesini lagi. Ini mungkin jadi yang terakhir buat saya."
Terlihat Dokter Hafi sedikit terkejut.
"Lho? Kok? Mau kemana kamu?" Dokter Hafi ikutan berdiri karena rasa terkejutnya.
Dea mengangguk tengkuknya sebentar.
"Saya mau pergi. Tepatnya dari Indonesia. Saya dapat beasiswa disana." Dea menatap Dokter itu sendu.
"Beneran? Wahh... Selamat ya kamu!" Dokter itu menjabat tangannya Dea dengan cepat dan erat. Dia sangat bangga kepada gadis didepannya itu.
"Tapi, kok kayaknya kamu sedih? Kenapa?"
Dengan cepat Dea merubah ekspresi mukanya. Dea sudah terlalu terbawa.
"Ga! Saya ga lagi sedih. Mana ada orang yang sedih ketika mendapat beasiswa kuliah di luar negeri?" Dea pura-pura antusias.
"Bener juga kamu." Dokter itu tersenyum.
"Yaudah, saya permisi dulu. Terimakasih udah menolong saya akhir-akhir ini. Sampaikan salam ku pada semua orang dirumah sakit ini." Dea berjalan menuju pintu. Diikuti Dokter Hafi dibelakangnya.
"Kamu baik-baik ya disana! Ingat pesen-pesen saya tadi."
Dea mengangkat jempolnya dengan semangat.
"Pasti!" Dea pergi meninggalkan senyuman disana.
--------------***------------
KAMU SEDANG MEMBACA
DE
Teen Fiction"Cinta? Huh! Rasanya mustahil sekali bagiku. Sesuatu yang ga berguna, yang membunuhku perlahan. Memikirkannya saja aku tidak pernah, bahkan aku tidak ingin memikirkannya." Dea, siswi cantik yang duduk di bangku SMA itu sudah merasakan pukulan dunia...