"Temen saya kenapa, Dok?"
"Maaf, kami belum bisa memeriksanya."
Dea sedikit demi sedikit membuka matanya. Kepalanya sedikit berdenyut, jadi dia memegangnya.
Dilihatnya disana tengah ada Syila dan seorang dokter juga suster tengah bercakap-cakap.
Jadi gue dirumah sakit? Siapa yang bawa gue? Syila?
"De! Kamu ga papa? Mana yang sakit?" dengan terburu-buru Syila memegang kepala Dea yang ia pegang. Tetapi ditepis oleh Dea.
"Ga usah peduliin gue." Syila hanya bisa membuang napas berat.
"Yaudah, kami permisi dulu. Nanti kalo hasilnya sudah muncul, akan kami beritahukan." Dokter dan juga suster itu pamit undur diri. Syila membalasnya dengan senyuman terimakasih.
Dea berusah untuk turun dari kasur rumah sakit ini, tapi ditahan oleh Syila.
"Lepas!"
"Mau kemana kamu?"
"Gue ga suka rumah sakit."
"Kenapa?" Syila berusaha memancing Dea.
"Banyak orang menderita disini. Gue ga suka." Syila baru saja mendapatkan fakta bahwa Dea tidak suka penderitaan. Memang apa yang sudah terjadi pada Dea?
Syila sebentar menengok jam tangannya.
"Aku harap kamu mau disini sampai kamu sembuh. Masalah biaya kamu ga usah khawatir. Yang penting kamu sembuh aja itu udah cukup. Yaudah, aku pergi dulu ya! Entar aku balik lagi." Syila pamit undur diri. Dan hanya dibalas tatapan datar oleh Dea.
***
Sudah sekitar 30 menit Dea berjalan terus mengelilingi rumah sakit ini, untuk mencari Dokter yang merawatnya tadi. Dea penasaran, ada apa dengan dirinya? Dia sakit apa? Dan dia harus mendengarnya sendiri.
Dea terus berjalan, mengindahkan tatapan orang-orang yang menatapnya heran. Disana! Ya, ada Dokter dan Suster tadi yang merawatnya. Cepat-cepat Dea berjalan kearah mereka.
"Dok!"
"Eh! Kamu bukannya pasien nomor 12 itu? Kenapa kamu disini? Kan kamu sedang sakit." Dokter itu menggiring Dea untuk masuk kembali keruangannya. Diikuti suster dibelakangnya. Tetapi dihentikan oleh Dea.
"Dok, saya sakit apa?"
"Maaf, kami hanya memberitahukannya pada wali anda."
"Tapi saya ga punya wali."
"Mbak tadi kan--."
"Itu bukan siapa-siapa saya."
Dokter dan suster itu saling pandang.
"Saya cuma mau tau, saya sakit apa." Dokter itu nampak berpikir.
"Tolong Dok, saya udah ga punya siapa-siapa lagi di dunia ini."
Dokter itu menatap Dea dengan pandangan iba.
"Yusudah, mari ke ruangan saya."
***
Dea berjalan dengan gontai. Dia tidak tau arah tujuannya kali ini. Dia mengadahkan wajahnya dan air mata jatuh disana. Dia terisak pelan.
"Kenapa elo kejam sama gue? Gue salah apa coba? Plis Tuhan, gue capek." Dea masih terisak.
"Dulu Bunda ayah gue, sahabat gue, cowok itu, elo jauhin semuanya dari gue!"
"Elo buat gue sendirian di dunia ini. Berkali-kali gue mohon untuk ikut Bunda, elo nolak. Elo ngehalangin semuanya! Apa salah gue? Hah?" Dea menangis. Dan sekarang dia terduduk ditrotoar.
"Lalu penyakit ini. Gue ga kuat Tuhan. Gue capek. Gue nyerah." Dea berjalan menuju tempat tinggalnya. Dilirik sebentar jam tangannya.
17.00
Dea tidak berniat bekerja hari ini, dia cuma ingin tidur dan menemui Bunda tercintanya. Yang sangat sayang padanya.
--------------***------------
KAMU SEDANG MEMBACA
DE
Ficção Adolescente"Cinta? Huh! Rasanya mustahil sekali bagiku. Sesuatu yang ga berguna, yang membunuhku perlahan. Memikirkannya saja aku tidak pernah, bahkan aku tidak ingin memikirkannya." Dea, siswi cantik yang duduk di bangku SMA itu sudah merasakan pukulan dunia...