"Kok, sepi banget, De?"
"Gue juga ga tau, Syil."
Dean dan juga Syila sudah sampai alamat yang dituju. Ya, rumahnya Dea. Dan mereka menemukannnya. Tapi yang membuat mereka heran, nampaknya rumahnya sepi. Seperti tidak berpenghuni.
"Kayaknya alamatnya salah deh, De. Coba kamu liat lagi!" Dean kembali membuka secarik kertas yang dia simpan dikantong depan celana jeansnya. Sebentar dia liat isinya dan dia lipat kembali dan dimasukkan ketempatnya semula.
"Bener ini kok, Syil."
"Tapi kok sepi amat ya, De? Ga ada tanda-tanda keberadaan orang."
Dean diam sejenak.
"Mungkin Dea sedang pergi."
"Iya kalo Dea pergi, terus orang tuanya mana? Ga ada sama sekali."
Sebentar Syila melihat jam tangannya.
"Pukul 4 sore nanti aku udah harus pulang." ucapnya.
"Sekarang pukul berapa?"
"Pukul 3 sore. Kurang 1 jam lagi."
Dean hanya angguk-angguk.
"Terus kita ngapain setelah ini?" tanya Syila.
"Ga tau."
"Gimana kalo kita pulang aja?"
"Ah males ah, gue males sama yang dirumah." Dean sedikit mencebik.
"Emang dirumah ada siapa? Tetangga?"
"Ck bukan! Ibu tiri aku. Sama anaknya."
Seketika Syila membulatkan matanya. Tidak disangka kalo Dean ternyata punya Ibu tiri.
"Kamu punya Ibu tiri?"
"Iya, dan parahnya lagi gue ga suka sama dia, anaknya, ataupun papa gue."
"Lho kok bisa?" ternyata tingkat ke kepoan Syila sudah tinggi.
Sejenak Dean menghembuskan napasnya.
"Papa gue, dia selingkuh sama Ibu tiri gue itu. Padahal dia udah punya Mama. Dan parahnya lagi, papa gue itu lebih milih wanita itu ketimbang Ibu gue."
"Lalu?"
"Mama gue pergi karena kelakuan papa gue itu. Dan sekarang Mama gue udah punya suami baru. Oh iya, papa gue itu bawa pulang wanita itu sama anaknya yang masih kecil. Ya... Kira-kira kelas 5 SD an."
Syila hanya diam mendengarkan.
"Maka dari itu, gue jarang dirumah. Karena gue males sama mereka semua." lanjut Dean.
"Jadi kamu sering menghabiskan waktu dimana?"
"Ya kadang dirumah temen, kadang dicafe. Pokoknya gue selalu ditemenin sama motor gue ini. Dia setia banget." kekehnya sambil menepuk motornya.
Sebentar Syila kembali melihat jam tangannya.
"Udah sore, De. Aku mau pulang dulu."
"Yaudah, gue anterin."
***
Sepulang dari mengantarkan Syila tadi kerumahnya, Dean langsung pulang. Sebenarnya dia malas pulang, tapi entah mengapa rasa-rasanya kakinya mengarahkannya untuk pulang. Tidak seperti biasa.
Cklek
Sepi, itulah suasana yang tergambar di rumah yang cukup besar itu. Pasti Papanya sedang pergi kerja seperti biasanya. Dan Dean juga ga tau ibu tirinya sedang kemana.
Tetapi dia bersyukur akan hal itu, setidaknya tidak ada suara ribut anak kecil itu. Yang menurutnya cukup mengganggu ketentramannya.
Baru beberapa detik dia bersyukur, tiba-tiba terdengar suara teriakan nyaring anak kecil dari arah dapur.
"Ye!! Kakak udah pulang!" dia lari sangat kencang kearah Dean dan seketika memeluknya erat.
"Ck! Lepas! Gue mau kekamar." Dean berusaha melepasakan tangan yang sedang melingkar diperutnya itu. Tapi pelukannya masih terasa kencang.
"Kak kak! Tadi aku belajar bareng kakak cantik. Dia baik banget. Nino suka deh." dia masih setia memeluk. Sambil sesekali menatap wajah Kakaknya yang jauh lebih tinggi darinya itu.
"Eh! Dean nya udah pulang. Makan dulu sana!" ucap seorang perempuan paruh baya, tetapi masih tetap terlihat cantik, dari arah dapur, sambil sesekali menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
"Gue ga laper."
"Dan jangan sok baik kalo ga ada Papa. Kita gini-gini aja, kayak orang asing."
Seketika ucapan Dean itu membuat senyuman diwajah wanita itu luntur.
"Mama-mama! Tadi Nino belajar bareng Kakak cantik kan? Dia baik. Dia suka senyum kayak Mama. Iya kan Ma?" sekarang Nino beralih memeluk Mamanya yang masih sedikit termenung.
Tapi akibat goyangan dari anaknya, Nino, dengan gagap di menjawab.
"I-iya! Tadi Nino belajar sama kakak cantik." dia berusaha mungkin untuk tersenyum kepada putra kecilnya itu.
Dan dibalas juga dengan senyuman dari Nino.
"Namanya siapa tadi, Ma? Siapa ya? Oh iya, Kak Fila. Iya, Kak Fila. Pokoknya Kakak harus ketemu sama dia, ya? Dia seumuran Kakak."
"Gue ga peduli." Dean meninggalkan mereka berdua dengan dinginnya.
--------------***------------
KAMU SEDANG MEMBACA
DE
Fiksi Remaja"Cinta? Huh! Rasanya mustahil sekali bagiku. Sesuatu yang ga berguna, yang membunuhku perlahan. Memikirkannya saja aku tidak pernah, bahkan aku tidak ingin memikirkannya." Dea, siswi cantik yang duduk di bangku SMA itu sudah merasakan pukulan dunia...