“Selamat pagi!” seru Joy dengan semangat setelah ia duduk di samping Jungkook.
Jungkook membalasnya dengan senyuman kecil. Sepertinya, ia sudah mulai terbiasa dengan keceriaan Joy yang tak ada habisnya.
“Aku punya kabar baik untukmu.” ucap Joy seraya memberikan selembar kertas pada Jungkook.
Jungkook menerima dan membacanya.
“Itu adalah perlombaan seni yang diadakan setiap tahun. Dan sekolah ini selalu mendapat juara pertama di perlombaan melukis.” jelas Joy.
“Lalu?”
“Lalu…aku ingin kau juga pergi mewakili sekolah kita tahun ini!”
Jungkook berpikir sejenak. Mengikuti lomba melukis? Ini memang keinginannya sejak dulu, tapi tidak pernah terlaksana. Dan kini, kesempatan itu ada di depan matanya.
“Bagaimana? Kau mau, kan?” tanya Joy lagi.
Jungkook terdiam cukup lama.
“Bukankah kau sangat cinta melukis? Dan kulihat lukisanmu juga sangat bagus.”
Jungkook tak merespon ucapan Joy.
“Jungkook-ah..”
“Tidak.”
“Eo?”
Jungkook menarik napas dalam dalam, “Aku tidak akan ikut.”
Joy mengernyit. Ia melihat ekspresi Jungkook mulai berbeda dari biasanya. Walaupun Jungkook mengatakan bahwa ia tidak akan ikut dengan penuh keyakinan, namun pandangan matanya tak juga pergi dari selebaran yang ada di tangannya itu. Joy merasa seakan perkataan dan hati nurani Jungkook tidak sejalan.
“Aku memang suka melukis, tapi untuk ikut perlombaan.. lebih baik kau cari yang lain saja.” tambah Jungkook.
“Jungkook-ah.. jika kau pikir kau tidak akan menang, itu salah. Kemenangan bukan hal yang penting dari setiap perlombaan. Kau bisa menambah pengalaman dan mencari tahu sampai dimana kemampuanmu. Menang dan kalah, keduanya sama sama akan membuat kita termotivasi untuk lebih baik lagi. Itulah tujuan perlombaan sebenarnya.” jelas Joy.
Entah kenapa, Joy yang terkenal ceria dan ekspresif, kini mendadak bijak.
Namun, Jungkook tetap diam. Sepertinya usaha Joy sia sia. Jungkook benar benar tidak ingin mengikuti perlombaan ini.
“Baiklah, jika kau tetap tidak ingin ikut. Aku tidak akan memaksamu lagi. Tapi aku tetap berharap kau akan berubah pikiran dan menunggumu sampai hari terakhir pendaftaran.”
“Itu takkan pernah terjadi.” Jungkook tersenyum tipis seraya mengembalikan selebaran itu pada Joy.
“Aku harap memang ini yang diinginkan hati nuranimu, Jungkook.” Joy bukannya ingin memaksa Jungkook mengikuti lomba yang akan diadakan di Seoul ini. Tapi ada sesuatu yang membuat Joy yakin bahwa sebenarnya Jungkook ingin mengikuti lomba ini. Joy menganggap ini mungkin firasat seniman. Tapi Joy juga tidak ingin membuat Jungkook tidak nyaman jika Joy tetap terus memaksanya. Joy hanya berharap semoga Jungkook benar benar mengikuti kata hatinya.
--
Jungkook’s pov
Aku bergegas menuju asrama. Bukan. Jam sekolah belum berakhir. Aku ke sana ingin melihat sesuatu yang dikirim oleh ibuku.
*
Anakku tersayang,Bagaimana kabarmu? Kau baik baik saja, kan? Bagaimana di sana? Kau menyukainya?
Jika kau tidak nyaman, tidak usah memaksakan diri. Ibu akan mencari guru sains yang lebih profesional tanpa harus di asrama.
Nilaimu juga stabil, kan?
Jangan lupa sepulang dari sana kau harus mengikuti olimpiade sains nasional.
Belajarlah dengan sungguh sungguh disana.
Ibu juga sudah bertemu dengan sepupu teman ibu yang menjadi dokter disini.
Dia akan membantumu saat lulus sekolah nanti.
Dan kau tahu? Mendengar semua prestasimu, dia mengatakan bahwa kau ada peluang untuk masuk ke universitas yang sama dengannya.
Kau tahu, kan? Universitas di Osaka yang telah melahirkan dokter dokter muda yang sukses?
Ibu yakin kau pasti bisa masuk ke universitas itu.
Ah, iya, ibu hampir lupa.
Kemarin ibu mengirim oleh oleh khas dari Osaka.
Bingkisan itu pasti sudah sampai di asramamu.
Berikan pada guru sains disana.
Katakan padanya kau juga sangat senang belajar disana.
Ibu juga mengirimkan makanan kesukaanmu, anakku.
Baiklah, sampai disini dulu.
Jaga dirimu, anakku.
Selalu fokus dan jaga kesehatanmu.
Ibu menyayangimu.
Aku menghela napas panjang. Lalu mengeluarkan akun emailku, kemudian keluar dari ruang komputer.
Langkahku semakin lama semakin berat. Ingin rasanya aku mengatakan semua yang kurasakan selama ini. Tapi pada siapa? Pada ibu? Aku sudah mencobanya, tapi dia selalu saja mengungkit tentang kematian ayah.
Ayahku adalah seniman profesional yang telah berkecimpung di dunia lukis selama 22 tahun. Bahkan karya ayahku telah sampai ke stasiun kereta bawah tanah di kota Paris berupa mural bersama dengan karya para seniman profesional lainnya di seluruh negara.
Dua tahun setelah aku lulus sekolah dasar, ayahku meninggal karena kecelakaan saat menuju ke pameran sahabatnya. Tapi entah kenapa, sampai sekarang, ibuku selalu menganggap itu adalah bunuh diri karena depresi.
Memang ayahku sempat vakum selama setahun. Perusahaan properti yang memakai karya ayahku selama bertahun tahun memberhentikannya dengan alasan nilai seni ayahku sudah mulai pudar.
Akibatnya, ibuku lah yang menjadi tulang punggung di keluargaku. Ibuku memiliki rumah makan yang saat itu hanya menghasilkan keuntungan pas pasan. Hidup kami menjadi berubah karena ayahku pengangguran.
Sejak saat itu, ibu selalu sinis pada ayah. Mungkin.. sampai sekarang.
*
Aku menatap beberapa bingkisan yang tergeletak di lantai kamar asramaku. Semuanya khas dari Jepang. Aku tidak tahu apa aku harus menuruti perkataan ibu atau tidak. Yang jelas, saat ini kepalaku sangat pusing. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di atas kasur. Padahal kelasku selanjutnya adalah kelas sains. Tapi aku sama sekali tidak memiliki semangat untuk ke sana.
“Aku harap memang ini yang diinginkan hati nuranimu, Jungkook.”
‘Aku juga berharap begitu.’ gumamku.
----
KAMU SEDANG MEMBACA
Look Here
FanfictionLima anak laki-laki dengan kepribadian yang berbeda akan dipindahkan ke sebuah sekolah unik yang akan mengubah hidup mereka. Taehyung, anak yang suka bermain dan selalu menjahili teman temannya. Jimin, tidak punya impian dan hanya ingin bersenang se...