Perahu yang Sama

27 1 0
                                    

“Dia tidak pernah sekasar itu padaku. Bahkan, dia juga tidak pernah sekalipun mengangkat tangannya padaku. Aku..aku sungguh kecewa padanya..” ucap Jisoo seraya menangis sesenggukkan di samping Taehyung.

Taehyung hanya bisa membiarkan Jisoo mengeluarkan semua kesedihannya.

Jisoo juga telah bercerita pada Taehyung tentang kehidupannya. Jisoo bercerita bahwa ia adalah warga asli Gwangju Selatan. Ia tidak pernah ke kota karena ekonomi keluarganya yang begitu rendah. Tetangganya pun mengucilkan keluarganya karena ayah Jisoo sempat mencuri saat Jisoo sakit parah dan tak mampu membeli obat, apalagi membawanya ke rumah sakit. Jisoo juga dikucilkan oleh anak-anak sebayanya karena hal itu. Sampai akhirnya, Jisoo memilih berteman dengan sekumpulan anak-anak nakal di desanya. Meskipun awalnya ia tidak disambut dengan baik, tapi lama kelamaan, jiwa ramah dan pantang menyerah Jisoo membuat anak-anak nakal itu menerimanya dan membiarkan Jisoo bergabung dengan mereka. Namun ajaibnya, bukan Jisoo yang berubah menjadi seperti mereka, melainkan anak-anak nakal itu yang perlahan berubah karena Jisoo. Mereka bahkan suka menolong para warga desa di ladang maupun di kebun.

Dan sifatnya itu terbawa sampai ke Sekolah Kepribadian. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, Jisoo bukanlah mencari teman perempuan, tapi ia mencari anak laki-laki yang nakal dan pemalas. Jisoo merasa dirinya lebih nyaman berteman dengan orang yang seperti itu daripada orang yang terlihat baik diluarnya. Anak-anak yang nakal itu memang awalnya berbahaya untuk didekati, namun akhirnya mereka bisa menerima dan mengerti, bahkan mereka jauh lebih baik dari orang yang normal. Berbeda dengan orang yang terlihat baik, namun akhirnya menusuk dari belakang. Memang tidak semua orang seperti itu, seperti Rose, Irene, Seulgi, dan Wendy, namun tetap saja Jisoo lebih nyaman dengan teman-teman lelakinya yang 'tidak normal’. Jisoo lebih mengandalkan anak laki-laki yang nakal dibandingkan anak perempuan.

“Aku bahkan tidak sanggup jika harus kehilangan dia. Dia adalah sahabatku. Aku tak ingin kehilangan sahabatku. Dia..dia juga pasti membutuhkanku. Dan jika dia tetap seperti ini, siapa yang akan menjaganya? Siapa yang akan mendengarkan ceritanya? Siapa yang akan menemani makan siangnya?” Jisoo menutup wajahnya yang basah dengan kedua tangannya. Ia masih saja terus menangis mengingat perlakuan Namjoon padanya hari ini.

Taehyung benar-benar merasa iba pada Jisoo. Ia tak menyangka anak seceria Jisoo memiliki masa kecil yang memilukan. Di balik keceriaan yang selalu Jisoo pancarkan setiap harinya, ia bahkan tak mampu menahan kesedihan saat ditinggal oleh sahabatnya. Tak ada keceriaan yang selalu ia sebar mengingat sahabatnya yang pergi meninggalkannya. Seakan memang tak pernah ada keceriaan di hidup Jisoo.

Taehyung tersenyum getir. Bukankah dirinya juga seperti itu? Dibalik keceriaannya, kekonyolannya, sikap pecicilannya, siapa sangka dirinya memiliki masa lalu yang begitu tragis.

Taehyung bisa merasakan yang dirasakan Jisoo. Ia berada di perahu yang sama dengan Jisoo. Orang-orang mungkin mengenal mereka sebagai orang yang tak punya masalah di hidup ini. Namun sebenarnya, mereka memiliki kisah hidup yang tak dimiliki oleh orang-orang pada umumnya. Justru sebenarnya, mereka berdualah manusia yang lemah dan mudah rapuh..

Dengan hati-hati, Taehyung mengangkat tangannya, dan mengusap lembut punggung Jisoo.

Dan seketika, Jisoo pun menghamburkan dirinya lagi ke dada Taehyung dan membasahkan lengan kemeja Taehyung dengan tangisannya.

Kini, Taehyung sudah mengerti apa yang harus ia lakukan. Taehyung mengusap lengan Jisoo lembut dan membiarkan Jisoo meluapkan kesedihannya.


---


Irene terpaku melihat pemandangan yang ada di hadapannya ini.

“A..apa yang mereka lakukan?” gumam Irene tak percaya.

Irene tahu kedekatan Jisoo dan Taehyung. Tapi ia tak menyangka mereka sedekat ini. ‘Kenapa Taehyung memeluk Jisoo?’

Seketika ada perasaan sakit yang menonjok ulu hati Irene. Awalnya rasa sakit itu jauh di lubuk hatinya yang paling dalam hingga tak terasa sedikitpun. Namun lama kelamaan, rasa sakit itu terus mencuat ke permukaan hingga berubah menjadi perasaan sedih. Irene tak mampu menafsirkan perasaannya ini.

Dengan segera, Irene berbalik dan mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kantin. Lebih baik ia mengontrol perasaannya yang sudah tak karuan ini mulai sekarang, lalu bersikap normal seperti biasanya.




----

Look HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang