Cerita Tersembunyi

28 2 0
                                    

“Aku baik-baik saja. Kalian jangan khawatir.” ucap Seulgi yang masih terbaring lemah di kasur ruang kesehatan.

“Hei! Kau itu sedang tidak baik-baik saja! Kau sedang terbaring lemah sekarang! Kami sudah bilang padamu kau boleh berlatih setiap saat, tapi jangan sampai melewatkan waktu makanmu. Kau keras kepala sekali!” cerocos Wendy kesal.

“Hei, kenapa kau malah marah-marah padanya?” Irene lagi-lagi menenangkan kecerewetan Wendy.

“Seulgi-ah, kau harus beristirahat dulu disini. Kau tidak boleh banyak bergerak.” perintah Rose.

“Tapi, eonnie, bagaimana dengan lombaku? Aku harus banyak berlatih.”

“Seulgi-ah, dokter sudah bilang kau tidak boleh banyak bergerak dulu. Mag-mu akan bertambah parah jika kau tidak beristirahat.”

“Tapi, eonnie…”

“Seulgi-ah, paling tidak kau beristirahat dulu 2 hari ini. Kesehatanmu yang paling penting. Pak Choi juga tidak akan mengizinkanmu berlatih dengan keadaanmu yang seperti ini.” tambah Irene.

“Irene benar, Seulgi. Beristirahatlah dulu. Jangan pikirkan yang lain. Jika kau benar-benar beristirahat penuh sehari saja, aku yakin kau bisa berlatih lagi. Lagipula masih ada 2 hari lagi sebelum perlombaan itu.” kata Wendy.

Seulgi termenung. Dulu, ia memang bisa bersantai saja jika sudah tinggal beberapa hari lagi menuju perlombaan. Tapi sekarang, bagaimana bisa ia bersantai? Gerakannya belum sempurna, dan sisa waktu hanya 2 hari lagi. Bagaimana bisa ia beristirahat sekarang?

“Kenapa, Seulgi? Apa ada kesulitan tentang perlombaanmu?” tanya Rose memecah lamunan Seulgi.

“Ti..tidak, eonnie. Tidak ada.”

Seulgi tidak mau menambah kekhawatiran teman-temannya ini dengan mengatakan yang sebenarnya. Seulgi bahkan sudah pasrah jika tahun ini ia mengecewakan Sekolah Kepribadian. Ini memang salahnya. Jika dari awal ia sudah merasa tidak percaya diri, seharusnya ia menyerah saja dan membiarkan murid lain menjadi perwakilan. Seulgi sungguh menyesal.

Seketika Seulgi teringat ucapan Jimin yang mengatakan bahwa ia tidak berbakat. Meski perih, kini Seulgi mengakuinya. Dirinya memang tidak berbakat. Orang yang punya bakat tidak akan patah semangat begitu saja oleh apapun. Orang yang memiliki bakat juga tidak akan kehabisan ide dalam mengembangkan bakatnya.

Tanpa sadar, Seulgi tersenyum getir memikirkan ini semua. Bagaimana bisa selama ini ia begitu sombong dan terlalu percaya diri..

“Seulgi-ah, kau benar-benar tidak ada masalah, kan?

Seulgi lupa ia punya sahabat yang sudah lama mengenalnya. Irene.. Dia pasti tahu tentang perasaan Seulgi saat ini walaupun Seulgi tak pernah mengatakannya.

“Tidak, Irene. Tidak ada masalah. Ah, ya! Siapa tadi yang membawaku kemari?” Seulgi mengalihkan pembicaraan sebelum Irene bertanya lagi.

“Jimin yang membawamu kemari.” sahut Jin yang baru tiba setelah memberikan pernyataan kepada petugas asrama.

Sontak Irene, Wendy, dan Seulgi terkejut bukan main.

“Jimin?! Park Jimin si gangster dari kota itu?!” tanya Wendy tak percaya.

Irene menyenggol tangan Wendy pelan, karena lagi-lagi Wendy tak bisa mengontrol ucapannya, apalagi di depan senior yang satu sekolah dengan Jimin.

“Tapi.. bagaimana bisa dia membawamu? Apa dia mengikutimu? Atau kalian berkelahi mulut lagi?” lanjut Wendy yang masih tak percaya.

Seulgi hanya terdiam. Ia juga bingung kenapa Jimin membawanya ke ruang kesehatan. Kenapa Jimin.. menolongnya (lagi)?

“Tapi, dimana dia? Bukankah tadi dia bersamamu?” tanya Rose pada Jin.

“Dia masih bersama petugas asrama.” jawab Jin.

“Tapi, eonnie, kenapa kau bisa langsung ada disini? Kau belum kembali ke asrama? Apa yang kau lakukan sejak tadi?” tanya Wendy lagi.

Mereka bertiga memang tidak melihat Rose mengantar Jin ke ruang kesehatan saat kejadian di depan gedung asrama tadi. Dan pertanyaan Wendy ini, kontan saja membuat Rose dan Jin salah tingkah.

“Ee..aku..pergi dulu. Permisi.” Jin langsung pergi meninggalkan mereka semua.

Sementara Irene, Seulgi, dan Wendy serentak menatap Rose dengan tatapan tak biasa.

“A..apa? Ke..kenapa kalian menatapku?” tanya Rose sambil menahan pipinya yang mulai memanas.

Uhuuuuu~” serentak mereka bertiga bersorak menggoda Rose.

“He..hei! Kalian kenapa? Jangan berpikiran yang aneh-aneh!” Kini, pipi Rose mulai memerah.

Eonnie, walaupun kau tak mau mengaku, kami sudah tahu. Tenang saja, eonnie. Kami akan mendukungmu. Katakan saja pada kami jika Jin sunbae melukaimu. Mengerti?” ucap Wendy penuh keyakinan.

Rose hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Wendy. Yah, tak ada gunanya menyembunyikan hal ini. Rose memang sangat dekat dengan Irene, Seulgi, dan Wendy. Mereka bertiga juga tahu Rose percaya dengan cinta pandangan pertama. Tapi, satu yang mereka tidak tahu. Yakni, akhir cerita cinta yang selalu dirasakan Rose. Rose memang tak pernah menceritakan yang sebenarnya bagaimana akhir dari setiap cintanya itu. Karena ia tahu, itu hanya akan membuat dirinya makin terasa menyedihkan. Takdir dan latar belakang yang ia miliki, benar-benar membuat dirinya merasa begitu menyedihkan. Dan Rose tak mau mengumbar hal yang menyedihkan di hidupnya itu pada orang lain, termasuk pada ketiga sahabatnya ini.

Irene melihat sekeliling ruang kesehatan, dan menyadari persediaan air mineral sudah habis.

“Aku ke kantin dulu untuk mengambil air mineral. Seulgi-ah, apa kau butuh sesuatu?” tanya Irene.

Seulgi menggeleng.

Irene lalu bergegas menuju kantin.


----


Sekedar mengingatkan..
Chingu masih ingat dong kapan Jimin menolong Seulgi (lagi)??

Itu loh, pas pulang dari padang lumpur...

Itu..waktu di bus..

Nah, udah ingat, kan?

Btw, gomawo yang udah baca dan ngevote cerita ini:))

Keep reading ya chingu♡

Masih menerima kritik dan saran:)

Gomawo chingudeul~~

Look HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang