Kesempatan

27 1 0
                                    

Jungkook segera bangkit dari kursinya setelah bel istirahat berbunyi.

“Jungkook-ah!

Jungkook menoleh saat Joy memanggil dan menghampirinya.

“Apa kau akan ke kantin? Aku ikut denganmu, ya!” pinta Joy.

“Maaf, hari ini, aku ingin sendiri. Tolong jangan ikuti aku..” ucap Jungkook lesu, lalu pergi meninggalkan Joy.

Joy mengangkat kedua alisnya heran. Ia tak pernah melihat Jungkook selesu ini. Jungkook memang anak yang pendiam dan tidak ekspresif. Tapi kali ini, Joy merasa ada sesuatu yang sedang dirasakan Jungkook. Sesuatu yang membuatnya bimbang..




-


“Apa kau akan ikut menonton lomba seni?”

“Aku tidak sabar melihat anak-anak dari sekolah kita masuk tv lagi di lomba seni!”

“Apa sekolah kita akan dapat juara lagi di lomba tahun ini?”

“Aku akan datang dan mendukung sekolah kita di lomba seni hari jumat besok!”

Entah kenapa dari sekian banyak obrolan yang tak sengaja terdengar, hanya kata ‘lomba’ yang menempel di pikiran Jungkook sejak tadi sampai detik ini. Atau mungkin hal ini karena hampir semua murid di sekolah ini sedang membicarakan lomba seni yang akan diadakan dua hari lagi.

Lomba seni tahunan yang selalu diadakan di pusat kota Seoul itu selalu menjadi pembicaraan hangat di Sekolah Kepribadian saat menjelang hari perlombaan itu tiba.

Dan itu semualah yang membuat suasana hati Jungkook menjadi runyam. Pasalnya, ia sudah sangat yakin untuk tidak akan mengikuti lomba lukis di perlombaan itu. Namun, saat ini hatinya malah ragu. Ia pun sebenarnya tak begitu yakin apa keputusannya itu memang berasal dari lubuk hatinya, atau bahkan itu hanya karena ia takut pada ibunya.

Memang tujuan Jungkook sebenarnya datang ke sekolah ini untuk mengasah lebih dalam ilmu seninya bukan ilmu sainsnya. Dan tentu saja ibunya tidak mengetahui tujuannya itu. Hal itu saja sudah membuat Jungkook merasa bersalah pada ibunya karena telah berbohong. Lalu, apa ia harus melangkah lebih jauh lagi untuk mengecewakan ibunya? Apa ia harus mengikuti lomba itu walau di lubuk hatinya...ia benar-benar… ingin mengikutinya.

Ya! Jungkook memang ingin sekali mengikuti lomba itu. Ia tahu ini tidak benar. Ia tahu ini akan mengecewakan ibunya. Namun, ia tak mampu menahan hasratnya ini. Sebenarnya ini adalah hal yang selalu dinantikan Jungkook. Ia sangat ingin setidaknya sekali dalam seumur hidupnya ia mengikuti lomba lukis. Bukan untuk menang. Namun untuk merasakan sensasi dan kebahagiaan bertemu dengan para penikmat lukis, lalu bertarung secara adil di depan kanvas putih dan di sambut dengan warna warni garis demi garis yang akan membentuk menjadi suatu mahakarya luar biasa yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Ia pasti akan menikmati momen itu. Namun, disaat kesempatan itu sudah di depan mata, Jungkook malah menutup mata dan telinga seolah tak pernah membayangkan jika hari itu terwujud di dalam hidupnya. Ini memang bukan suatu hal yang mudah. Khususnya bagi seorang anak yang impiannya terkekang oleh tanggung jawabnya pada orangtua. Manakah yang lebih masuk di akal, meninggalkan impian atau meninggalkan perintah orangtua?

Jungkook masih terus menggoreskan garis-garis yang melengkung di atas buku gambarnya. Suasana taman yang sepi malah membuat pikirannya menjadi kosong di tengah kerunyaman hatinya yang bimbang ini. Tiba-tiba, sebuah tepukan lembut sejenak mendatangkan kedamaian melalui pundak Jungkook.

“Jungkook-ah..”

Jungkook mendongak dan mendapati Joy tanpa raut wajah keceriaan yang seperti biasanya, tengah menatap dirinya dengan tatapan yang bisa diartikan dengan tatapan iba. Jungkook kembali melanjutkan garis-garis lengkungnya walaupun kini lembaran buku gambarnya sudah penuh dengan coretan garis-garis lengkung itu. “Aku masih ingin sendiri.” singkatnya.

“Aku tidak akan memaksamu untuk mengatakan apa yang sedang kau rasakan. Tapi aku hanya ingin bilang, kau tidak sendiri. Kau punya teman, Jungkook. Dan teman adalah tempat kau berbagi disaat kau tak mampu menanggungnya sendiri.”

Suasana benar-benar hening. Hanya ada suara coretan dari pensil Jungkook yang terdengar semakin lama semakin kencang.

Tiba-tiba, Jungkook menghentikan coretannya sesaat setelah Joy berbalik. “Aku...ingin mengikuti lomba itu.”

Joy kontan menoleh dengan mata membesar.

Ada sebuah kutipan yang mengatakan, bahwa kesempatan mungkin saja akan datang dua kali. Namun, rasanya akan berbeda saat kau telah menolak kesempatan pertama sementara hatimu yang sebenarnya tak ingin menolak itu.

‘Ibu, maafkan aku. Ini yang terakhir. Aku tidak akan membohongi ibu lagi. Dan nanti di saat aku sudah menjadi apa yang ibu mau, aku akan mengatakan semua kebohonganku ini. Lalu berjanji tidak akan mengulanginya dan akan selalu menjadi apa yang ibu mau selamanya.’



----

Look HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang