Part 22 - Dia

1.8K 138 5
                                    

Ica merenggangkan badannya, bel istirahat sudah berbunyi dan kelas sudah sepi. Hari ini terasa lebih panas dari biasanya.

"Kayaknya matahari lagi bahagia hari ini," keluh Ica menopang dagunya diatas meja.

"Baru jadian kali." Timpal Windy sama ngawurnya sambil membaringkan kepalanya di atas meja.

"Panas-panas gini enak yang dingin-dingin." Ucap Ico.

"Contohnya liatin wajah Ica." Celetuk Ken yang langsung mendapat tatapan datar dari yang lain.

"Lha apa salah gue?" Ken memasang wajah polosnya.

"Lo ngga salah Ken, cuma kurang bener aja." Sahut Windy kembali berbaring.

"Udah dari pada males-malesan," Daffa menarik pergelangan tangan Windy, "mending kita ke kantin sekarang."

"Traktir ya Fa." Pinta Windy.

"Emang selama ini gue yang traktir lo kan?"

Windy cengengesan lalu berdiri mengajak Daffa duluan ke kantin.

Tinggalah Ica, Ken dan Ico di kelas. Daffi? Dia sudah ngacir duluan ke kantin sejak beberapa menit lalu, biasalah masih masa kasmaran.

Pulang sekolah, Ica mengajak Rado untuk pergi berdua membeli keperluan di ruang OSIS.

"Jangan cemburu ya ratu cacingku." Goda Rado pada Sandra yang baru saja menulis daftar belanja untuk Ica.

"Udah gue bilang kan Do jangan kebanyakan main panas-panasan? Jadi meleleh tuh otak lo!" Jawab Sandra dengan nada kesal.

"Udah ayo buruan! Keburu makin sore." Ica lebih dulu berjalan diikuti Rado.

Sandra juga pulang bersama Vika dan Ken terpaksa hari ini pulang sendirian.

Mobil Rado berhenti di area parkir sebuah toko alat tulis dan peralatan lainnya. Rado mengambil keranjang kecil lalu mengikuti langkah Ica mengitari setiap rak yang berisi berbagai macam pernak-pernik kantoran.

"Banyak juga ya yang diperluin?" Rado menatap setiap barang yang di masukkan Ica pada keranjang digenggamannya.

"Soalnya kita kan belanja beberapa bulan sekali. Jadi sekali belanja langsung banyak." Sahut Ica tanpa menoleh pada Rado.

Setelah merasa cukup, Rado membawa ke kasir sedangkan Ica masih berkeliling sejenak menunggu Rado yang mengantri.
Usai membayar, barulah Rado mengajak Ica pergi.

"Nanti lo aja yang bawa dulu ya Ca belanjaannya, besok baru bawa ke sekolah. Gue takut lupa soalnya."

Ica mengangguk, "oke, nih," lalu menyerahkan struk belanjaan tadi untuk masuk ke laporan OSIS.

Rado mengambilnya dan memasukan ke saku bajunya.

"Lo udah tau mau masuk ke kampus mana Ca?" Tanya Rado tiba-tiba.

"Belum sih, tapi yah masih di kota ini aja."

"Kalau jurusannya?"

"Gue berencana mau ikutan nyokap, masuk kedokteran."

"Wih keren, calon dokter."

Ica terkekeh, "nah lo sendiri gimana?"

"Gue juga belum memutuskan sih, tapi kemungkinan gue bakal keluar Indonesia."

Ica menatap Rado, "lo yakin?"

Rado mengangguk, "udah jadi keputusan gue, dan keinginan orang tua juga sih."

"Yah apa yang menurut lo baik deh Do."

Rado terkekeh, "kalo lo kangen telepon gue aja ntar Ca."

My Dearest Enemy 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang