Selama perjalanan pulang, Windy terus murung. Biasanya dirinya akan bercerita banyak hal dan Daffa dengan setia mendengarkan, sesekali berkomentar jika perlu, namun kali ini tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut Windy membuat Daffa sedikit terusik.
"Lo masih kepikiran soal Ica?" Tanya Daffa memecah keheningan diantara mereka.
Windy menoleh sejenak pada Daffa lalu kembali menatap ke depan, "ya iyalah Fa, Master kan hampir ngga pernah marah sama gue Fa, kalau perlu jangan sampai, gue ngga mau sampe diem-dieman sama Master gini." Mata Windy memanas, ia sedang berusaha menahan air matanya yang bisa lolos kapan saja.
Daffa mengulurkan tangannya, mengusap puncak kepala Windy, "besok lo coba bicara lagi sama Ica baik-baik, mungkin besok Ica jadi seperti biasa lagi."
Windy hanya mengangguk.
"Lo mau jalan dulu ngga? Di rumah lo ngga ada orang kan kayak biasanya?"
Windy kembali mengangguk, "memangnya mau ke mana?"
"Duduk manis dan liat aja." Suruh Daffa lalu mengarahkan mobilnya berlawanan dari arah ke rumah Windy.
Mobil Daffa berhenti di parkiran sebuah kafe. Kafe yang biasa ia datangi bersama Windy.
"Yuk." Daffa turun dari mobil diikuti Windy. "Gue ngga mau lo nanti malam susah tidur gara-gara masalah hari ini," Daffa menggandeng tangan Windy, "jadi hari ini gue izinin lo makan es krim di sini sepuasnya."
Windy tersenyum dengan wajah tersipu mendengar ucapan Daffa yang jelas-jelas untuk menghiburnya.
"Makasih ya Fa."
Daffa tersenyum dan mengangguk lalu mengajak Windy masuk ke dalam Kafe.
Jika biasanya Daffa akan membatasi jatah makan es krim Windy karena gadis itu sangat suka es krim bahkan pernah sampai sakit perut karena terlalu banyak makan. Namun pengecualian untuk saat ini, Daffa tidak mau melihat gadisnya itu murung.
"Yakin cuma mau beli segitu?" Tanya Daffa melihat jumlah pesanan Windy, "biasanya bisa lebih banyak makannya."
"Ngga ah, nanti lo yang bawel kalo gue sakit perut." Windy memanyunkan bibirnya.
"Kan gue bilang khusus hari ini diizinkan."
Windy menggeleng sekilas, "gue juga ngga mau sakit perut, malah susah tidur nanti malam."
Daffa tersenyum lalu menyebutkan pesanannya pada pramusaji yang sudah berdiri di dekat mereka untuk mencatat pesanan Windy dan Daffa.
"Ditunggu ya pesanannya." Ucap pramusaji itu setelah membacakan kembali pesanan dan pergi.
"Fa, kalau besok Master masih marah sama gue gimana?" Tanya Windy kembali membahas soal Ica.
"Windy, untuk hari ini bisa ngga jangan ingat soal itu dulu? Gue bawa lo ke sini biar lo tenang, ngga murung terus. Soal itu lo hanya boleh pikirin lagi besok setelah kita sampai di sekolah, paham?"
Windy mengangguk lemah, "maaf."
Daffa kembali tersenyum, mengacak rambut Windy, "lo ngga cocok pasang wajah cemberut gitu, lo cocoknya kalau tersenyum."
Windy mengembungkan pipinya yang memerah sambil menatap Daffa, "kalau gue senyum terus yang ada kayak orang gila nanti!"
Daffa terkekeh, "senyumnya kalau ada lawan bicara lah, terutama kalau sama gue."
"Bisa aja Mas kalau gombal." Sindir Windy.
"Yang penting lo senyum dan ketawa."
Windy tersenyum hingga menampakan deretan giginya, "makasih ya Fa."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest Enemy 2
Romance[Season 2 My Dearest Enemy] Kisah Ica dan tim Delta masih terus berlanjut. Semakin banyak masalah, baik dalam kehidupan pribadi serta pekerjaan mereka sebagai agen rahasia yang akan mereka hadapi kedepannya. ---------------------- Action - Romance