Jihoon tak berhenti menatap kedua insan yang tengah sibuk di bawah sana. Sedangkan ia disini tak di hiraukan. Jihoon berada di puncak bukit, duduk diatas bangku kayu yang dinaungi oleh pohon besar rindang.
"Mereka terlihat serasi."
Jihoon menoleh dan mendapati Daniel yang mendudukkan diri di sampingnya. Ia sedikit merengut menyadari penuturan Daniel.
"Kemarikan tanganmu."
"Tidak mau."
Jihoon menyahut tanpa menoleh pada Daniel. Lelaki berbahu lebar itu berdecak kesal.
"Terserah. Aku tak bertanggung jawab jika lukamu nantinya terinfeksi."
Jihoon mendengus, kemudian memilih untuk mengulurkan tangannya pada Daniel.
"Apa? Obati saja sendiri."
Daniel mengedikkan bahunya tak peduli.
"Menyebalkan! Kau ini berniat membantu tidak?"
Daniel terkekeh mendengar nada kesal yang keluar dari bibir Jihoon. Ia meraih tangan yang Jihoon ulurkan, kemudian bergerak membuka plester luka dengan gambar kartun. Menempelkannya perlahan pada telapak tangan Jihoon.
"Apa gunanya ini? Ku kira kau akan mengobatinya dengan obat luka biasanya."
"Aku hanya punya ini, selalu ku bawa kemanapun."
Jihoon tiba-tiba saja tersenyum manis. Membuat Daniel terpaku pada senyum itu.
"Terima kasih."
"A-ah ya. Sama-sama."
. . .
"Lin, sudah mulai terik. Ayo istirahat."
"Ah, benar. Kita terlalu sibuk bermain hingga lupa waktu."
Keduanya tertawa pelan. Guanlin mengedarkan pandangannya, mencari Jihoonnya. Dan ia menemukannya, Jihoon di atas sana duduk dengan seseorang. Ia sedikit mengernyit saat melihat hal itu.
"Jihoon disana. Ayo."
Guanlin tersentak dan sadar dari lamunannya. Mengangguk sebagai jawaban, kemudian tersenyum pada Jinyoung. Ia membiarkan tangannya ditarik oleh Jinyoung, menghampiri Jihoon.
"Jihoon."
Jihoon yang merasa terpanggil pun mengalihkan pandangannya dari Daniel. Ia mendapati Guanlin, dan Jinyoung yang baru saja mengingat dirinya. Jihoon yang tadinya tertawa lebar bersama Daniel, seketika menunjukkan wajah dinginnya. Daniel yang menyadari perubahan ekspresi Jihoon pun menahan tawanya.
"Apa sudah selesai?"
Jinyoung mengangguk semangat menjawab pertanyaan Jihoon, sedangkan Guanlin hanya diam membisu di belakang Jinyoung.
"Aku ingin pulang."
Jihoon menatap Guanlin. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum tipis.
"Kau sudah simpan nomor ponselku, Ji?"
Jihoon menoleh pada Daniel, mengangguk dan tersenyum manis. Sekarang, Guanlin lah yang merasa hatinya tak beres.
"Nanti akan ku hubungi. Sekali lagi, terima kasih."
Daniel memberikan senyumnya untuk Jihoon, tak menghiraukan Guanlin yang menatapnya cukup sengit.
"Ayo pulang."
Guanlin meraih tangan Jihoon, menariknya cukup kasar menjauh dari sana. Jihoon sedikit meringis namun membiarkan tangan besar itu terus menariknya menuju mobil. Tak lupa dengan Jinyoung yang mengekori keduanya.
. . .
Jihoon menghempaskan kasar tangan Guanlin yang sedari tadi terus mencengkeram pergelangan tangannya. Ia kini telah sampai di apartemen Guanlin, setelah mengantar Jinyoung tentu saja. Bahkan keduanya baru saja masuk ke dalam apartemen itu.
"Kau ini kenapa?"
Jihoon menatap Guanlin bertanya sembari memegangi pergelangan tangannya yang baru saja lepas dari genggaman Guanlin.
Guanlin hanya diam menatap Jihoon, namun napasnya memburu.
"Siapa lelaki itu?"
Jihoon mengernyit mendengar pertanyaan dari sang paman. Namun tetap menjawab.
"Temanku."
"Aku tak suka kau berteman dengannya."
Jihoon mengerutkan keningnya, menatap Guanlin bingung.
"Bukan urusanmu. Urus saja Jinyoung mu itu."
Guanlin mengernyit.
"Maksudmu?"
Jihoon mengedikkan bahunya dan berlalu dari hadapan Guanlin, memilih untuk mengurung diri di kamarnya.
.
Guanlin tak mengalihkan tatapannya dari Jihoon yang kini tangah duduk di hadapannya dengan secangkir cokelat hangat di tangannya. Sejak pulang dari ladang bunga tadi siang, Jihoon baru keluar dari kamarnya sekarang. Bahkan sekarang sudah dini hari.
Keduanya saling diam. Tak ada yang berniat membuka percakapan. Hingga Guanlin yang sedari tadi menahan untuk berbicara pun berdehem cukup keras. Berhasil mengalihkan tatapan Jihoon dari cangkirnya pada Guanlin.
"Kenapa bersikap seperti ini, Ji?"
Jihoon tersenyum remeh membalas tatapan sang paman.
"Tanyakan saja, pada dirimu sendiri."
Jihoon bangkit, kemudian melangkah pergi meninggalkan cokelat hangatnya teronggok di atas meja makan.
Guanlin tak tinggal diam. Ia melangkah cepat menyusul Jihoon, menahan pemuda manis itu saat hampir memasuki kamarnya.
Guanlin menggenggam tangan Jihoon, namun merasakan sesuatu menghalangi. Ia pun melihat telapak tangan Jihoon, ada sebuah plester luka yang menempel disana.
"Tanganmu kenapa?"
Jihoon ingin menarik tangannya namun ditahan oleh Guanlin.
"Tak apa."
Guanlin berdecak kesal mendengar jawaban Jihoon yang terdengar dingin. Ia mendorong tubuh Jihoon memasuki kamar, menutup pintu dengan kasar kemudian menghempaskan bahu sempit Jihoon dibalik pintu. Jihoon meringis kecil saat punggungnya membentur pintu. Guanlin memegang kedua pundak Jihoon, kemudian meringsek maju mencium bibir manis itu.
Jihoon membelalak kaget saat bibirnya dibungkam dengan bibir tebal milik Guanlin.
. . .
Selamat pagi!
Happy weekend!Sama-sama cemburu ceritanya kawan kawan:3
Sorry for typo.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNCLE GUAN [PANWINK]
FanfictionHanya kisah percintaan picisan antara Park Jihoon dengan sang paman, Lai Guanlin. Warning! (15+)