32.

5.4K 633 111
                                    

Guanlin menghela napas berat.

"Bagaimana aku menjelaskannya?"

Jinyoung menatapnya, meminta penjelasan.

Jinyoung yang terbangun dari tidurnya, mendapati Guanlin yang tengah mencium Jihoon. Tentu saja membuatnya kaget, dan pertanyaan memenuhi kepalanya. Ia butuh penjelasan.

"Kenapa kau menciumnya?"

Guanlin diam, memikirkan tentang jawaban yang akan ia katakan pada Jinyoung.

"Jangan mencoba untuk membohongiku."

Guanlin menggaruk tengkuknya dan tersenyum kaku. Jinyoung terus menatapnya penasaran.

"Dia kekasihku."

Jinyoung membelalakkan matanya, tak percaya dengan apa yang Guanlin katakan.

"Maksudmu?"

Lagi, Guanlin menghela napas berat.

"Jinyoung, aku mencintainya. Dia juga mengatakan hal yang sama. Lalu, aku harus berbuat apa?"

"Kau gila? Dia keponakanmu, Lin. Apa yang membuatmu berani mengambil keputusan untuk menjadi sepasang kekasih dengannya?"

Guanlin melirik Jihoon yang tertidur lelap di atas sofa, kemudian tersenyum.

"Entahlah. Jihoon membuatku kehabisan akal sepertinya."

Guanlin terkekeh, sedangkan Jinyoung menggeleng tak mengerti.

"Lalu selanjutnya akan bagaimana?"

"Bagaimana apanya? Aku akan mempertahankannya."

"Kalau kakakmu tahu?"

Guanlin bungkam. Ia bahkan tak pernah berpikir sampai kesana.

"Aku tak melarangmu. Tapi lebih baik kau pikirkan apa yang akan terjadi nantinya jika keluargamu tahu tentang hubungan kalian."

"Sejak ia lahir, aku tak pernah bertemu dengannya. Ah, aku bahkan tak tahu jika Jie mengandung. Aku terus belajar, dan itu di luar negara ini. Sesuai perintah Ayahku, tanpa tahu keadaan keluargaku. Lagipula, saat itu Jie bersama suaminya memilih untuk tinggal di China. Saat aku kembali kesini dan meneruskan pendidikan disini, aku hanya sebatas tahu bahwa aku telah memiliki seorang keponakan. Aku tak pernah sekalipun bertemu, bahkan melihat wajahnya."

Jinyoung menyimak dengan mulut menutup, bungkam.

"Lalu aku bertemu Jihoon untuk pertama kalinya, saat aku menjemputnya atas permintaan Jie. Jie akan ke Amerika untuk mengurus perusahaan Ayah Jihoon disana. Jihoon tak mau ikut, Jihoon tak suka berada disana. Jadi Jie memintaku untuk membawanya dari China kesini. Dia menyebalkan. Kau tahu? Dia bilang, dia tak pernah mengenalku dan meragukan aku sebagai pamannya. Dia menarik perhatianku sejak saat itu. Dia manis, dan menggemaskan. Aku mencoba bersikap biasa, namun Jihoon bilang aku menyebalkan. Benarkah begitu?"

Guanlin mendongak, menatap Jinyoung yang kini mengangguk.

"Benar, kau memang menyebalkan."

Guanlin mendengus, disambut dengan kekehan Jinyoung.

"Ah! Entah kenapa aku malah menyukai jika kalian bersama."

Jinyoung mengerang frustasi, mengundang tawa geli dari Guanlin.

"Artinya kau harus mendukungku."

Jinyoung mengangkat kedua ibu jari tangannya, dengan senyuman manis di wajahnya.

"Kalian tidak harus menutupi hubungan lagi jika bertemu aku, Lin."

Guanlin mengangguk mengerti.

"Tunggu dulu. Jihoon sudah menjadi kekasihmu saat kau tidur bersamanya di hotel? Kau bilang, kau menolong Jihoon yang terpeleset lalu kau menginap karena Jihoon tidak bisa berjalan. Bokong Jihoon sakit, jadi Jihoon tidak bisa berja--"

Mata Jinyoung melebar setelah otaknya berhasil memproses semuanya.

"Lin, kau sudah sejauh itu?!"

"Apa?"

Guanlin mengernyit, bingung dengan pertanyaan Jinyoung.

"Kau tahu maksudku. Kau berbohong tentang Jihoon yang terpeleset, kan? Kau melakukan sesuatu dengannya? Aku tidak bodoh, Tuan. Katakan yang sebenarnya."

Guanlin membuka lebar mulutnya, kemudian sebuah cengiran terpampang di wajahnya.

"Benar sudah sejauh itu?!"

"Jangan terlalu berisik! Jihoon bisa terbangun mendengarmu."

Guanlin mengangkat jari telunjuknya tepat di depan bibirnya. Kemudian mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Jinyoung.

"Sepertinya benar, hormon lelaki tua memang berlebihan."

"Maksudmu aku lelaki tua?"

"Kau memang tua, bagi Jihoon."

"Sudahlah, sudah terlalu larut. Kau harus istirahat. Besok kau akan keluar dari sini dan kita semua akan pulang."

"Baiklah, jaga Jihoonmu itu agar tidur nyenyak."

.

"Jihoon, bangun."

Jihoon mengerutkan keningnya, merasa tidurnya terganggu.

"Sudahlah, biar aku sendiri saja yang ke hotel. Aku akan mengemas barang miliknya juga. Kalian tinggal saja disini."

"Tidak, Lin. Aku ingin cepat keluar dari sini. Aku ingin kembali ke hotel dan istirahat disana sebentar."

Jihoon perlahan membuka matanya, suara perdebatan antara Guanlin dan Jinyoung mengganggu tidurnya.

"Jihoonku yang manis, ayo bangun. Kita akan kembali ke hotel."

Jinyoung terkekeh geli melihat tatapan tajam yang Guanlin berikan untuknya.

Jihoon bangun, mendudukkan tubuhnya di sofa.

"Ayo!"

Jinyoung menarik cepat lengan Jihoon untuk segera pergi meninggalkan ruangan itu.

"Jinyoung, dia belum sadar sepenuhnya!"

Guanlin berdecak kesal melihat Jinyoung yang menarik paksa Jihoonnya agar segera pergi dari sana.

.

Guanlin memasuki mobilnya setelah memasukkan barang milik Jihoon, Jinyoung, dan miliknya sendiri. Mereka akan pulang.

"Maafkan aku. Tidak seharusnya aku satu kamar dengan Guanlin selama disini."

Guanlin menolehkan kepalanya ke belakang, tempat Jihoon dan Jinyoung duduk nyaman sebagai penumpang.

"Apa yang kalian bicarakan?"

Guanlin bisa melihat Jihoon yang tengah menunduk dengan wajah hingga telinganya memerah.

"Ji, kenapa?"

Jihoon hanya menggeleng sebagai jawaban. Pandangan Guanlin beralih pada Jinyoung.

"Apa yang kau katakan pada Jihoon?"

"Aku hanya bertanya, tentang kalian."

Guanlin sekarang mengerti, Jihoon pasti malu.

"Jihoon, kau duduk di depan bersamaku."

Jihoon mendongak, menatap sang paman dengan wajah bingung. Sedangkan Jinyoung melayangkan tatapan protes pada Guanlin

. . .

Hai!
Happy weekend!

Semakin gajelas ya jangan-jangan ini cerita.
Kayaknya cerita ini masih panjang gaes:')
Adakah yang akan setia membacanya?

Sorry for typo.

UNCLE GUAN [PANWINK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang