24.

6.7K 700 63
                                    

Guanlin menghela napas berat.

"Apa harus aku?"

"Tentu saja, teman. Kau lah yang dibutuhkan disana."

Guanlin mengusap kasar wajahnya.

"Berapa lama?

Donghan merentangkan kelima jarinya.

"Tak lama. Hanya lima hari."

Guanlin membelalak kaget.
Lima hari bukanlah waktu yang sebentar baginya jika harus meninggalkan Jihoonnya sendirian. Kakaknya, Ibu Jihoon baru saja pulang tadi pagi. Jika ia tahu akan seperti ini, ia akan meminta kakaknya untuk tinggal lebih lama.

Donghan menatap temannya yang terlihat frustasi itu.

"Kenapa? Kau tak bisa?"

Guanlin mendongak menatap Donghan yang berdiri di depan meja kerjanya. Lalu menjentikkan jarinya dan menunjuk Donghan.

"Kau!"

Donghan menatap bingung pada Guanlin. Ia menunjuk dirinya sendiri.

"Aku? Kau menyuruhku menggantikanmu untuk perjalanan bisnis ini?"

Guanlin memutar matanya malas, berdecak kesal.

"Aku akan pergi. Kau, jaga Jihoon."

Donghan memandang Guanlin dengan tatapan tak terima.

"Aku sibuk! Tak ada waktu mengurus bocah itu."

Guanlin rasanya ingin sekali memukul temannya itu.

"Datang saja sesekali. Aku tak memintamu menjaganya dua puluh empat jam."

Donghan terlihat berpikir sejenak. Kemudian mengangguk setuju.

"Baiklah. Aku akan datang satu kali, dalam lima hari."

Guanlin berdiri. Kepalan tangannya terangkat, bersiap memukul wajah tampan Donghan.

Donghan tersentak, memundurkan langkahnya.

"Kau ini! Tidak bisa bercanda sedikit saja? Baiklah iya aku akan jaga Jihoon."

"Kapan aku berangkat?"

"Besok pagi, dengan Jinyoung."

Guanlin mengangguk mengerti, kemudian mendorong tubuh Donghan agar keluar dari ruangannya.

"Silahkan keluar, Tuan."

"Seharusnya aku dibayar untuk menjaga Jihoon, dan untuk semua pekerjaan melelahkan menjadi temanmu."

"Kau benar-benar ingin mendapat pukulan, Kim Donghan?"

Donghan bergidik ngeri, dan bergegas pergi meninggalkan ruangan Guanlin.

.

"Aku pulang!"

Guanlin menutup pintu apartemen dan melangkah masuk. Tak ada sahutan, namun ia mencium aroma makanan yang menguar ke sekeliling apartemen.

Apa Jihoon memasak? Atau membelinya? Guanlin tak peduli dengan hal itu, ia merindukan Jihoonnya.

Guanlin melangkah semangat menuju dapur. Berniat mencari Jihoon disana, namun yang ia temukan hanya beberapa makanan yang tersaji di atas meja makan. Terlihat menggiurkan, namun Guanlin tak menghiraukannya. Ia ingin Jihoonnya.

Ia berniat berbalik dan menjauh dari meja makan sebelum sebuah tangan melingkar di perutnya. Guanlin tersenyum, ia tahu pasti tentang pelakunya.

"Kejutan!"

Jihoon melepaskan pelukannya, membiarkan Guanlin berbalik dan berhadapan dengannya. Ia tersenyum manis pada Guanlin.

"Kau memasak semua ini?"

Jihoon mengangguk semangat. Ia memasak apa yang telah diajarkan Ibunya, juga dengan bantuan internet.

"Ayo coba!"

Jihoon menarik lengan Guanlin untuk mengikutinya. Namun Guanlin malah menahannya, menariknya kembali mendekat kemudan memeluk pinggangnya.
Jihoon mengerjap bingung, namun mengerti setelah Guanlin mendaratkan bibirnya pada belah bibir Jihoon.

Guanlin tak bisa berbohong, ia merindukan Jihoon. Juga bibir manis pemuda itu. Ia sudah menahannya selama dua hari, saat kakaknya ada disini. Dan besok, ia harus meninggalkan Jihoon. Guanlin rasanya tak ingin pergi, biarlah pekerjaannya terbengkalai atau ia akan dipecat. Yang ada di pikirannya hanya Jihoon, Park Jihoon.

Jihoon memutus ciuman itu lebih dulu, pipinya memerah.

"Makanlah. Jangan sampai makanannya dingin."

Guanlin terkekeh melihat wajah merah Jihoon. Tangannya bergerak mengusak surai Jihoon yang malah merengut tak suka.

"Jadi, apakah ini enak? Atau tidak?"

Guanlin tertawa puas saat Jihoon mendelik ke arahnya, menatapnya tajam.

"Kau membuat ini juga?"

Guanlin bergegas duduk ketika melihat kue kesukaannya ada disana. Mocca Tiramisu.

"Aku membelinya. Aku tak bisa membuatnya sendiri."

Jihoon terkekeh kecil lalu mendudukkan dirinya di hadapan Guanlin. Hanya ada segelas air putih di depan Jihoon.

"Kau tak makan?"

"Aku tidak mau makan malam. Aku takut badanku semakin besar."

Jihoon memberikan tatapan tajamnya saat Guanlin tertawa.

"Kau sedang diet?"

Jihoon mengangguk sebagai jawaban.

"Cepatlah makan! Aku sudah memasaknya untukmu."

Guanlin menurut, ia pun mengangkat sumpitnya dan mencicipi terlebih dahulu masakan Jihoon. Guanlin mendesis, sedangkan Jihoon menggigit bibirnya. Menunggu reaksi dan pendapat Guanlin tentang masakannya.

"Bagaimana rasanya?"

Guanlin tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Namun Jihoon malah tak yakin dengan reaksi itu.

"Aku belum mencicipinya, kemarikan."

Jihoon menarik mangkuk berisikan mie hitam itu, Guanlin menahannya.

"Ini sangat enak, untukku saja."

Jihoon rasanya semakin tak percaya dengan perkataan Guanlin. Ia bersikeras menarik mangkuk itu dari Guanlin. Dan berhasil, sang paman akhirnya melepaskan mangkuk itu. Jihoon dapat melihat Guanlin yang memejamkan matanya.

Wajah Jihoon mengernyit saat mie itu berhasil masuk ke dalam mulutnya.

"Paman, kau gila?"

Guanlin tertawa canggung dan menggaruk tengkuknya.

"Kenapa tak bilang kalau ini terlalu asin?! Kau tak seharusnya memakan ini."

Guanlin hanya diam sembari menatap Jihoon yang kini menghela napas kasar.

"Maafkan aku. Aku tak akan mencoba memasak lagi."

"Mau memesan makanan di luar saja?"

Jihoon menjentikkan jarinya dan tersenyum senang.

"Call!"

. . .

Happy weekend!

Aduh dosa ga sih ada kisseu kisseu nya gitu:')
Takutnya dosa nih gimana dong.
Bener gapapa ini?
Bantu saya yorobun:3 dosanya bagi bagi deh gapapa aku ikhlas.

Sorry for typo.

UNCLE GUAN [PANWINK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang