"Lin, kau sudah siap?"
Guanlin menoleh pada Jinyoung yang telah rapi dengan setelan formalnya.
"Ah sebentar."
Guanlin merapikan kemejanya dan berniat memakai jasnya sebelum Jinyoung mengambil alih jas itu. Jinyoung tersenyum manis dan memasangkan jas itu tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya. Guanlin hanya diam terpaku, membiarkan Jinyoung melakukan hal itu.
"Ayo."
Jinyoung melangkah lebih dulu meninggalkan kamar mereka. Guanlin menyusul dengan langkah santai, sampai ia berada di luar kamarnya. Guanlin terdiam. Matanya tertuju pada pintu kamar bertuliskan angka 223. Pikirannya memusat pada Jihoon.
"Lin, ayo."
Jinyoung membuyarkan lamunannya.
"A-ada sesuatu yang harus ku urus sebentar. Kau bisa pergi lebih dulu."
Jinyoung mengangguk mengerti.
"Baiklah. Tapi, jangan sampai terlambat."
Jinyoung menepuk pelan pundak Guanlin sebelum melangkah pergi.
Kini fokus Guanlin kembali pada pintu kamar itu. Ia melangkah perlahan, tangannya terangkat menyentuh pintu itu. Guanlin rasa, ia merindukan manisnya. Ia penasaran, tentang apa yang dilakukan Jihoon di dalam sana.
Guanlin menggeleng cepat dengan telapak tangannya yang menampar halus pipinya sendiri, mencoba menyadarkan dirinya.
"Kau bisa terlambat, Lai Guanlin."
Guanlin berniat pergi dari pintu itu. Namun ia diam mematung, saat Jihoon ternyata membuka pintu itu. Jihoon menatapnya bingung.
Belum sempat Jihoon membuka suara, Guanlin lebih dulu membekap mulutnya dan mendorongnya masuk ke dalam kamar.
"Aku tidak ingin mendengarmu bicara."
Jihoon semakin menatap Guanlin kebingungan.
"Aku--"
Guanlin menggantung kalimatnya, namun kemudian dengan cepat menyingkirkan tangannya yang menutup rapat bibir Jihoon.
Lalu mendaratkan bibirnya pada bibir manis itu.
Jihoon membelalak kaget, tangannya meremat jas yang Guanlin kenakan. Guanlin pun melepas tautan bibirnya dengan Jihoon yang hanya menempel biasa. Jihoon menunduk, mencoba menutupi semburat merah yang kini memenuhi pipinya.
"A-aku hanya--"
Guanlin menggaruk tengkuknya, bingung ingin mengatakan apa.
"Kau aneh hari ini."
Jihoon bergumam pelan, namun Guanlin mendengarnya.
"Aku rasa juga begitu."
Jihoon mengernyit lalu mendongak menatap wajah tampan sang paman.
Kedua tangan Guanlin tiba-tiba saja melingkari pinggang Jihoon. Guanlin mendekatkan bibirnya pada telinga lelaki manis di pelukannya.
"Kau tahu? Aku seperti akan gila. Aku selalu teringat saat perayaan kenaikan jabatanku. Hormonku tidak stabil saat mengingat hal itu."
Guanlin memejamkan matanya frustasi. Sedangkan Jihoon kini terdiam mematung. Sedikit merinding merasakan hembusan napas dan bisikan suara berat Guanlin di telinganya.
"M-maksud mu?"
Guanlin tersenyum, ia mengecup telinga manisnya itu.
"Kau tidak lupa kenangan dengan mobilku, bukan?"
Jihoon membeku. Maksud Guanlin? Kenangan dengan mobilnya?
"Kau pasti tahu maksudku."
Guanlin sedikit mengeratkan rengkuhannya pada pinggang Jihoon sebelum melepasnya.
"Aku pergi dulu. Ada rapat perusahaan, kau bisa menikmati tempat ini."
Guanlin mengusak rambut Jihoon dan berlalu pergi setelahnya. Meninggalkan Jihoon yang masih diam membeku.
"A-pa maksudnya?"
. . .
Guanlin bergerak tak nyaman. Ia memikirkan tentang apa yang ia lakukan pada Jihoon beberapa waktu yang lalu.
"Lin, ada apa?"
Guanlin menoleh pada Jinyoung dan menggeleng. Saat ini semua orang sedang menikmati makan malam setelah sibuk dengan rapat.
"Kenapa kau tak menyentuh makananmu? Kau tak suka?"
Guanlin kembali menggeleng.
"Kalau begitu, makanlah. Kita akan kembali ke kamar setelah makan malam. Lagipula, bukankah kau sangat suka makanan laut?"
Jinnyoung pun kembali melanjutkan kegiatan makannya. Sedangkan Guanlin di sampingnya kini hampir gila.
Guanlin mengumpat pada dirinya sendiri. Merasa bodoh mengatakan hal yang tidak seharusnya ia katakan pada Jihoon. Mengingatkan tentang kegiatan panas mereka? Yang benar saja. Guanlin berjanji akan meminta maaf setelah ini.
'Tapi apa Jihoon sudah makan malam?'
Pertanyaan itu tiba-tiba saja melintas di kepala Guanlin.
"Jinyoung."
Jinyoung menoleh pada Guanlin.
"Apa aku boleh pergi lebih dulu?"
Jinyoung mengernyit heran.
"Kenapa?"
"Kurasa aku... lelah."
"Ah, baiklah. Kau boleh pergi lebih dulu."
Guanlin pun mengangguk. Ia menyempatkan diri untuk pamit pada rekan-rekan kerjanya sebelum bergegas pergi meninggalkan tempat itu.
. . .
Guanlin menghembuskan napas kasar sebelum mengetuk pintu kamar Jihoon.
"Jihoon, apa kau tidur?"
Tak ada sahutan dari dalam sana.
"Ji?"
Guanlin kembali mengetuk pintu kamar itu, namun hasilnya tetap sama. Tak ada sahutan.
"Park Ji-"
Guanlin tak bisa melanjutkan perkataannya karena Jihoon yang menarik cepat dirinya untuk masuk. Jihoon menutup pintu kamar itu dengan Guanlin yang berada di balik pintu.
Jihoon menatap sang paman yang bersandar pada pintu kamarnya.
Guanlin menelan ludahnya kasar sebelum membuka suara.
"Aku kesini untuk--"
Guanlin dibuat mematung. Ia sama sekali tak sempat melanjutkan perkataannya.
Jihoon, menciumnya.
Dengan kedua tangan yang melingkar pada leher Guanlin, dan bibir merekahnya yang bergerak melumat lembut bibir Guanlin.. . .
Selamat pagi!
Lebaran hari ke-dua nih.
Mohon maaf lahir batin ya semuanyaaa. Maaf kalo author ada salah sama kalian semua, maaf lama up, maaf suka gantung gantungin cerita:3
Selamat hari raya idul fitri ya semuaaa.Salam dari Om Guanlin sama Jihoon.
Salam Juga dari Aa Guanlin sama Dek Jihoon.Selamat hari raya idul fitri! Mohon maaf lahir batin!
Sorry for typo.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNCLE GUAN [PANWINK]
FanfictionHanya kisah percintaan picisan antara Park Jihoon dengan sang paman, Lai Guanlin. Warning! (15+)