TERNYATA DIA ...

1.2K 55 1
                                    


Sore itu pukul 05.00, Joey keluar dari kantornya. Berjalan menuju mobilnya yang terparkir di basementnya. "Astaga, apa dia tidak pernah lelah." Keluh Joey saat melihat Egi berdiri di samping mobilnya.

Egi tersenyum dan melambaikan tangan. Joey pura-pura tidak melihat, membalikkan badan dan hendak pergi. Tapi Egi kembali berjalan lebih cepat. Dalam sekejap dia sudah ada didepan Joey.

"Kau mau kemana?"

"Ada yang ketinggalan diruanganku. Jadi aku harus kembali."

"Aku ikut."

Joey menghela nafas panjang, lalu kembali berbalik dan berjalan menuju mobilnya. Joey pun masuk ke mobil. Egi duduk di kursi penumpang di sampingnya.

"Ayo pergi nonton, ada film baru yang ingin aku tonton. Ayolah!" Pinta Egi pada Joey.

"Aku sudah nonton kemarin dengan Jennie." Joey menjawab dengan nada datar.

"Apa? Kau pergi kencan dengannya?"

"Kami tidak berkencan, hanya pergi nonton."

"Itu sama saja." jawab Egi ketus, dia kesal. "Kalau begitu kita pergi jalan-jalan. Ayolah...please." Egi membujuk penuh harap.

"Kemana?"

"Hmm...oh...ada Karnaval di taman kota. Ayo kesana! Aku sudah lama tidak pergi kesana."

"Berapa umurmu? masih saja tertarik ke tempat seperti itu itu."

"Memangnya kenapa? Tak ada peraturan yang melarang orang dewasa pergi ke Karnaval. Ayolah..."

Joey menghela nafas lagi. "Baiklah, tapi jangan bersifat kekanakan, oke!"

"Oke!" Egi tersenyum puas.

Setelah membeli tiket mereka masuk ke Karnaval. Ada banyak stand-stand yang menjual beragam pernak-pernik dan makanan.

Egi menarik tangan Joey memasuki salah satu stand. Disana dia melihat sebuah gelang yang sangat cantik. Gelang perak berhias manik-manik mungil berwarna biru.

"Cantik." Puji Egi. "Bagaimana menurutmu?" Egi mencoba memakainya di tangannya.

"Terserah kau saja."

"Kau tampak tidak suka."

"Bukan begitu. Aku tidak mengerti selera wanita."

"Hmmm....ya sudah tidak jadi. Ayo pergi." Egi meletakkan kembali gelang tersebut dan hendak keluar stand. Tapi Joey meraih tanggannya dan menariknya.

"Ayo kita ambil saja." Joey mengambil gelang itu dan memakaikannya pada Egi.

"Eh?" Egi bingung.

Joey membayar gelang itu dan keluar stand. Egi tersenyum senang.

"Aku akan bayar." Egi mengeluarkan dompetnya hendak mengembalikan uang Joey.

"Tidak usah.Ayo makan dulu, aku lapar." kata Joey.

"Tapi."

"Kubilang tidak usah, ya tidak. Hanya gelang jangan melebihkan."

"Baiklah. Tapi aku yang traktir makan ya." Egi mengikuti Joey.

Saat itu, mereka melihat seorang gadis kecil menangis sendirian. Kira-kira berumur baru 4 tahun. Anak itu berdiri sendirian di depan foodcourt. Dia memegangi teddy bear kecil berwarna putih.

Egi menghampiri anak itu. "Hai cantik, kenapa menangis?"

Joey memperhatikan Egi dan ikut mendekat.

Anak kecil itu masih menangis. "Mama."

"Kau kehilangan mamamu?"

Anak itu mengangguk.

"Jadi kau kehilangan mamamu? sudah jangan menangis. Biar kakak bantu mencarinya. Nah lihat ini." Egi mengambil lolipop dari tasnya. "Jangan menangis lagi ya." Egi menghapus air matanya.

Dia dan Joey mengantar anak itu kepusat informasi. Ibu anak itupun akhirnya muncul setelah petugas memberikan pengumuman anak hilang. Anak itu sangat senang saat melihat ibunya. Setelah mengucapkan terima kasih, merekapun berlalu.

"Seperti anak kecil saja." Ledek Joey.

"Kenapa?"

"Menyimpan lolipop dalam tas."

"Oh itu, aku tidak sengaja membawanya. Anak-anak dipanti yang memberikannya padaku tadi siang."

"Anak panti?"

"Iya."

"Panti apa?"

"Panti Asuhan."

"Untuk apa kau kesana?"

"Setiap hari jumat atau saat butik tutup aku memang selalu pergi kesana, membantu Ibu Marta menemani anak-anak."

"Aku tidak tahu kau melakukan hal seperti itu."

"Tentu saja kau tidak tahu. Memangnya apa yang kau tahu dari diriku?" Egi tersenyum dan melangkah masuk area foodcourt.

Setelah memilih tempat duduk mereka pun memesan makanan.

"Sejak kapan ikut membantu di panti?" Joey masih penasaran. Tidak menyangka Egi bisa melakukan hal seperti itu. Biasanya dia hanya peduli pada dirinya sendiri.

"Kurang lebih 3 tahun." Egi menjawab dengan santai, matanya melihat-lihat sekitar. "Tempat ini ramai sekali ya."

Joey tidak menanggapi pernyataan Egi, karena masih tertarik tentang panti asuhan itu. "Apa itu menyenangkan? Wanita lain menghabiskan waktunya dengan berbelanja ke mall, ke salon atau jalan-jalan dengan teman-temannya. kau malah menghabiskan waktu liburmu dengan membantu di panti asuhan?"

"Banyak wanita yang melakukan hal seperti itu. Ku rasa bukan hanya aku."

"Benarkah?"

"Iya, itu hal yang sangat menyenangkan. Berkumpul dan bermain bersama mereka sangat menyenangkan. Mereka anak-anak yang baik. Aku seperti memiliki banyak saudara, walaupun tak ada hubungan darah."

Joey memandang Egi yang bercerita dengan antusiasnya. Wajah bahagia memancar dari dirinya. Dia memang nyaman dengan apa yang dia lakukan. Joey memperhatikan setiap kata yang diucapkan Egi. Itu pertama kali baginya memandangi Egi seperti itu.

"Apa yang biasanya kau lakukan disana?"

"Banyak, menemani anak-anak bermain, menyiapkan makanan, masih banyak lagi. Tempat itu seperti rumah kedua bagiku."

"Apa nama panti asuhan itu?"

"Candra Pelita." Egi tampak murung setelah menyebutkan nama itu.

"Ada apa?" Joey bertanya karena Egi tiba-tiba murung.

"Tidak apa-apa."

"Kau tampak murung."

"Ah, tidak apa-apa. Hanya perasaanmu saja."

"Dasar bodoh. Aktingmu benar-benar payah. Kau tidak bisa menipuku. Ada apa?"

"Panti asuhan sedang ada masalah."

"Memang kenapa?"

"Donatur makin berkurang. Semakin sedikit orang yang peduli akan orang lain. Mereka lebih memilih menanamkan uang mereka untuk bisnis agar dapat meraih keuntungan berkali-kali lipat. Daripada membantu orang lain yang lebih membutuhkan. Panti harus secepatnya melunasi hutang tanah tempat bangunan itu berada yang jumlahnya tidaklah sedikit. Jika tidak, maka bangunan panti akan disita. Kami telah mencoba berbagai cara tapi.... dana yang terkumpul belum cukup. Aku tidak bisa berfikir bagaimana nasib anak-anak panti."

"Apa tempat dan anak-anak itu sangat berarti bagimu?" Joey tidak menyangka ternyata Egi yang biasanya hanya peduli pada perasaannya sendiri juga peduli terhadap orang lain.

"Tentu saja." Egi menjawab dengan penuh keyakinan.

"Ayo habiskan makananmu! kita pulang, ini sudah malam." Joey tersenyum dan meminta Egi menyelesaikan makannya. 

Karma Rasa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang