Pulang dari bandara Joey tidak langsung ke rumah. Dia melajukan mobilnya ke panti asuhan. Dia tahu Egi pasti di sana hari ini. Dan benar saja. Egi memang disana. Dari luar panti Joey melihat Egi bercanda dengan anak-anak. Dia duduk di rumput mengepang rambut seorang gadis kecil. Anak-anak lainnya menemani Egi disana. Ada yang bermain boneka dan ada yang berbaring di atas rumput.
Egi mendengar suara mobil masuk ke pekarangan panti. Dia tahu itu mobil Joey. Joey memarkirkan mobilnya dan keluar dari mobil. Melepas kaca mata hitamnya dan berjalan menghampiri Egi. Hal itu kembali mengingatkan Egi saat pertama bertemu Joey. Hingga kini dia masih saja terpesona pada pria itu.
Joey duduk disamping Egi. Dan menghela nafas. "Tidak mengangkat telponku. Tidak menjawab pesanku. Kau sudah berani sekarang padaku?" Joey sudah berkali-kali menelpon Egi dan mengiriminya pesan dari pagi, tapi Egi tidak mengangkatnya.
Egi diam dan mengikat rambut gadis itu dengan pita berwarna pink. Gadis itu mengucapkan terima kasih dan berlari pergi. Teman-temannya mengikuti dan meninggalkan mereka berdua.
"Aku lelah dan itu sambutanmu padaku?"
Egi masih diam. Dan menoleh Joey dengan marah.
"Oke...kau marah padaku. Aku terima, aku salah. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu. Ada masalah di kantor cabang. Aku harus segera kesana. Ada pegawai mengalami kecelakaan saat bekerja di sana. Aku tidak mungkin tak mengecek kondisinya." Joey mencoba menjelaskan.
Wajah Egi yang cemberut berubah jadi senyum. "Sudahlah tidak apa. Lalu bagaimana kondisinya?"
"Masih dirawat tapi dokter bilang dia akan segera membaik. Kau masih marah?"
"Aku marah karena kau tidak mengabariku secara langsung. Kau bisa menelpon atau mengirimkan pesan kemarin malam."
"Gi, aku sudah mengenalmu. Kau tidak mungkin mau mendengarkan penjelasanku. Iya kan?"
Egi mengangguk. "Tapi sudahlah tidak usah dibahas. Lagipula Rendra sudah datang dan menjelaskan semuanya padaku. Dia juga memberikan buket bunga yang kau berikan."
"Buket bunga?" Joey bingung. Sebelum Joey menjawab lagi. Egi melanjutkan.
"Tapi aku tahu dia bohong. Kau tidak mungkin memberikan itu padaku. Dia selalu membelamu"
Joey tersenyum. "Ya, dia saudara terbaikku. Dia selalu tahu harus berbuat apa."
"Dia memberikan bunga, menemaniku makan dan meniup lilin."
"Benarkah? Itu bagus. Apa kau tidak pernah berfikir bahwa dia pria yang baik. Dia juga tampan ya walau masih kalah denganku." Joey tersenyum membanggakan diri.
"Ya, dia memang pria yang baik."
"Kenapa kau tidak dengannya saja. Sepertinya dia tipe pria sayang istri. Dia pasti bisa jadi suami yang baik."
"Aku tidak ingin mendengar itu."
"Gi...." Joey benar-benar berharap Egi mau melupakan dirinya. "Aku sudah sering bilang padamu. Mengharapkanku adalah hal yang sia-sia."
"Jika kau ingin membicarakan itu lebih baik tidak usah." Egi kembali kesal.
"Gi, mengharapkanku bukan hal baik bagimu. Sudah berulang kali kubilang. Aku bukan pria yang tepat untukmu."
"Kau tidak mengerti perasaanku. Aku mencintaimu dan aku tidak bisa menghilangkannya."
"Aku juga punya perasaan, Gi. Aku juga punya." Joey tampak murung. Dia tak tahu harus berbuat apalagi agar Egi mau mengerti.
Suasana seketika menjadi hening saat mereka berdua terdiam.
Joey memulai lagi. "Kenapa sepi. Mana anak-anak?"
"Mereka malu padamu. Paling mereka sembunyi di dalam dan mengintipmu dari jendela."
"Benarkah?" Joey kembali tersenyum. "Ini." Joey memberikan sesuatu pada Egi. "Maaf terlambat. Bukalah." Joey menyerahkan sesuatu pada Egi.
Egi membuka kado kecil berwarna biru. Ada sebuah jam tangan cantik di dalamnya. Egi menoleh Joey. "Kau menyogokku?"
"Kenapa aku harus menyogokmu? Itu hadiah ulang tahun dariku." Joey mengambil jam itu dan memakaikannya di tangan Egi. "Pas kan? Instingku memang tepat."
Egi melihat jam itu dan mengalihkan pandanganmya pada Joey. "Ikhlas?"
"Tentu saja. Dasar bodoh. Kau selalu merepotkanku dan baru sekarang kau menanyakan apa aku ikhlas?" Joey tertawa.
"Jadi kau tak ikhlas?" Egi cemberut.
"Aku bercanda." Joey menyentuh kening Egi dengan jari telunjuknya dan mendorongnya pelan.
Walau sedikit kesal Egi tetap tersenyum dan memukul pelan lengan Joey. Joey tidak mempedulikannya dan tetap tertawa.
Seorang anak laki-laki mendekati mereka berdua. Dia berjalan dengan wajah marah dan memandang tajam pada Joey.
"Siapa anak itu?" Tanya Joey saat melihat anak itu berjalan kearahnya. "Pandangannya menyeramkan."
"Itu Wira. Umurnya 8 tahun. Dia sudah tinggal disini sejak bayi."
Wira berdiri di depan Joey.
"Hai Wira." Joey menyapa dan tersenyum padanya.
"Jangan dekati Kak Egi!" Wira mengancam Joey.
"Siapa kau?" Joey meremehkan anak itu.
"Kak Egi adalah kakak kami. Jangan dekati dia! Kalau kakak berani membuat dia sedih, kau akan menerima hukuman dari kami!" Bentak anak itu. Dia kembali mengancam Joey.
Joey yang mendengar itu tertawa. "Kau dengar, dia mengancamku." Jelas Joey pada Egi. "Apa yang akan kau lakukan jika aku menolak?" Dia menantang anak itu. Joey lalu berdiri di depan Wira. Dia hanya bermaksud sedikit bercanda dengan anak ini.
Wira tidak menjawab. Dia masih memandang Joey yang tertawa melihat kelakuannya. "Aku akan memberimu pelajaran!" ancam Wira lagi. Dia lalu menendang betis Joey dengan sangat keras. Joey kaget dan sontak terjatuh merasakan sakit merambat di kakinya. Melihat Joey kesakitan anak itu pun kabur.
Egi ikut panik, dia menghampiri Joey yang terjatuh. "Astaga, Kau tak apa?" Egi panik dan melihat kaki Joey memerah.
"Bocah kurang ajar. Akan kubalas dia." Joey hendak bangun untuk mengejar Wira. Tetapi, Egi melarangnya. Sudahlah Joey, dia hanya anak-anak. Biar aku yang bicara padanya."
"Apa seperti itu kelakuan anak-anak?" Joey memegangi kakinya yang sakit dan ingin mengejar Wira.
"Sudahlah, Joey. Aku yang akan menyelesaikannya. Lebih baik kita pulang. Ini sudah sore. Apa kau tidak malu melawan anak-anak."
Joey masih kesal tapi Egi tetap memaksanya pulang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karma Rasa Cinta
RomanceEgi, seorang gadis cantik yang egois bertahan mencintai Joey yang jelas tidak mencintainya. Benarkah dia tidak mencintainya? Ataukah dia hanya tidak menyadari cinta itu karena masih terikat akan masa lalunya? Ketika satu persatu kebenaran terungka...