[Dua Puluh Enam]
"Minta maaf itu bukan tentang siapa yang salah dan bener. Tapi, siapa yang bisa berfikif dewasa dan mengalah."
-Jafar.•••
"Lo bukan dia. Dia bukan lo. Ga usah nyama-nyamain!"
-Rafa.🙈🙉
Semua melakukan aktivitasnya masing-masing seperti biasanya. Hanya saja, Steva dan Jafar masih saling diam-diaman. Tidak ada di antara mereka satupun yang mencari dan memulai topik.
Rena masih saja berusaha mendapatkan perhatian Rafa. Itu membuat Chica harus semakin bersabar menahan api cemburu di hatinya. Tapi untungnya, Rafa masih bersikap dingin kepada Rena dan kepadanya juga.
Qio berusaha mendekatkan diri kepada Rena untuk mengorek informasi. Di lain sisi, dia mulai terbiasa dengan sikapnya dulu bersama dengan Rafa. Dia masih menganggap dirinya tidak pantas untuk mendapatkan kesempatan kedua dari Rafa dan lainnya.
Gara memutar bola matanya. "Jadi sekarang main tahan ngomong? Hadiahnya apa? Capek gue!"
Gara bangkit dari duduknya. Mereka memang duduk bersama di luar Villa ayah Rena. Di luar Villa memang ada kursi yang sengaja disediakan untuk mereka duduk bersama.
Awalnya, Gara ingin mengajak mereka untuk bersenang-senang bersama. Anggap saja untuk memperbaiki hubungan mereka. Tapi ternyata, rencananya tidak disambut dengan sikap yang baik.
"Bang, tunggu!" Chica mengikuti Gara. Dia juga pergi meninggalkan yang lain. Yang lain hanya bisa menghela nafas dan sibuk sendiri tanpa berniat membuka topik apapun.
Daripada gue panas jadi nyamuk, mending gue ikut Bang Gara! Gue kan manusia tapi dibuat seolah-olah nyamuk. Bahaya! Kalau gue jadi nyamuk beneran gimana? batinnya.
Rena yang sedang memeluk lengan Rafa, mengangkat bibirnya sedikit. Dia menikmati alur yang sengaja dia buat. Bahkan bisa dibilang, sangat menikmati.
"Gue ke dalem dulu." Jafar juga pergi meninggalkan mereka setelah bertabrakan kontak mata dengan Steva. Steva yang memutuskannya terlebih dahulu.
Steva menatap punggung Jafar yang mulai menjauh. Dia menghela nafas lelah. Apa gue perlu minta maaf? Tapi, yaiya gue yang minta maaf? Kan gue yang ngambek! batinnya.
"Gue ke kamar dulu, deh." Steva juga ikut pergi. Kini, hanya sisa mereka bertiga. Rena, Rafa dan Qio.
"Mumpung kita sisa bertiga. Ada hal yang pengen gue bicarain."
Qio menarik kursinya untuk lebih mendekatkan diri lagi kepada Rena maupun Rafa. Qio yang melihat Rena masih menempel ke Rafa, menghela nafasnya tanda dia lelah.
"Hidup lo kurang banyak drama?" sinis Rafa. Dia melepaskan lengannya dari tarikan tangan Rena dengan kasar. Dia sudah muak.
"Drama apa sih, Rafa? Qio mau ngomong apa?" Rena mengatakannya dengan lembut.
Oke, dulu memang nada itulah yang paling Qio suka. Sekarang, nada itu telah menjadi memuakkan baginya.
"Telinga dipake. Gue bilang ga usah drama," ucap Rafa dengan khas dinginnya.
Rena memutar bola matanya dengan malas. "Ga bisa diajak bercanda banget! Kalian kenapa sih? Kok berubah? Baperan banget!"
"Masa lalu itu dijadiin pelajaran. Bukan diungkit-ungkit gini." Qio masih berusaha tidak emosi dalam mengucapkan kalimat dari bibirnya.
"Kenapa? Rafa ga suka Rena deket-deket sama Rafa karena ada Chica? Emang kenapa sih? Alay banget!"
Qio menggebrakkan meja di hadapannya. "Lo yang alay! Lo yang kekanak-kanakan! Lo pikir gue sama Rafa gampang ditipu sama mainan lo ini? Lo lupa siapa kita? Hah?!"
Rena tersenyum sinis. "Lo lupa siapa kita? Hah?!" Rena mengikuti gaya bicara dan nada Qio tadi dengan dibuat-buat.
"Lo! Lo yang lupa berhadapan dengan siapa, Tuan Machasero!"
Rafa mentap Qio dan Rena satu persatu. Dia tetap memasang wajah datar. Dia lebih memilih diam untuk mengontrol emosinya.
"Sifat lo terlalu kekanak-kanakan, Ren! Lo selalu aja pengen semua apa yang lo pengen itu terwujud! Lo terlalu egois buat dapetin Rafa!"
"Ga usah munafik deh lo! Lo dulu juga rela dukung gue buat nyiksa Adel! Kalau emang lo pakai topeng, ga usah sok mau buka topeng orang!"
Rena pergi meninggalkan Qio yang masih emosi. Qio mengepalkan tangannya. Rena sangat mengetahui Qio. Dia tahu titik lemah Qio.
"Dia udah tenang. Semua udah berlalu." Rafa pergi meninggalkan Qio. Dia tahu bahwa Qio masih tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
Gue terlalu egois, Raf. Gue terlalu ga layak buat dapetin maaf dari semuanya. Ga pantes, batin Qio.
🙈🙉
Rena melempari semua barang-barang di kamarnya. Dia kesal dengan kejadian di luar tadi.
"Argh! Gue harus buat Qio suka lagi sama gue biar gue bisa manfaatin dia kayak dulu! Gue harus pengaruhin Qio!" Rena mengambil salah satu foto di album fotonya yang memang sengaja dia simpan.
Dia memeluk foto itu. Menangis. Itulah yang kini dia lakukan. Dia mengambil album fotonya. Terdapat foto satu keluarga yang sedang bahagia. "Hiks ... hiks ... lo ... lo udah merusak kebahagiaan gue! Gue benci sama lo! Benci!"
Rena mengambil satu foto lain. Sebuah foto keluarga bahagia juga. Namun, yang berbeda adalah anggota keluarganya. "Lihat apa yang bakal gue lakuin nanti!"
Rena mengambil foto seorang perempuan yang sedang tersenyum lebar dan sebuah pisau. Dia menyilet tangannya dan mengambil darahnya sedikit. Rena membuat tanda silang di foto perempuan itu dengan darahnya.
"Hahahaha!" Rena kembali menyilet tangannya. Baginya, merasakan sakitnya silet di tangannya lah membuat dia puas sekarang.
"Kalau misalnya gue bisa habisin satu persatu, kenapa enggak?" Rena menaruh foto keluarga yang membuatnya dia muak di sebuah tempat berbusa. Rena menancapkan pisau itu tepat di orangnya.
"Hahaha! Mungkin sekarang gue cuma bisa nyiksa di foto. Tapi nanti, gue bakal nyiksa kalian sepuas gue!"
🙈🙉
-Hey, Chica!-
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Chica! [Completed]
Teen FictionDipersatukan dalam permainan dengan pemain yang sudah jelas memiliki sifat saling bertolak belakang. Si dingin yang hampir tak bisa dibedakan dengan dinginnya es di Kutub Utara dan si cerewet yang selalu berpidato. Bukan permainan kecil-kecilan bia...