[Lima Puluh Delapan]
RAFA terdiam. Mulutnya seakan terkunci sehingga sulit untuk menjawab pilihan dari Rena. Benar-benar sulit.
"Apa lagi yang lo pikirin, Raf? Lo sendiri yang bilang kalau kita ga boleh egois kan? Sekarang kita lihat, lo bakal lebih pilih ego lo atau nyawa orang yang lo sayang."
Rafa masih diam. Pikirannya memintanya untuk melepaskan Chica demi nyawa Chica. Akan tetapi, hatinya mengatakan kalau dia harus ada di sisi Chica.
"Lo lihat adek tiri gue sekarang, Raf. Begitu banyak luka-luka akibat cambuk sama silet yang gue buat. Walaupun gue yang buat, pemicu awalnya adalah lo sendiri."
Rena tersenyum sinis melihat Rafa yang bertingkah seperti ini. Dia bisa melihat perubahan Rafa sebelum dan sesudah mengenal adik tirinya.
Rafa memang tidak menunjukkan secara langsung bahwa dia menyukai Chica. Dia selalu menyimpannya sendiri. Kalaupun tidak sendiri, paling hanya sahabatnya.
Tapi, bukan Rena namanya jika tidak mengetahui apa yang dilakukan Rafa selama ini. Ya, termasuk dengan amplop biru, air minum, gumpalan kertas, dan lainnya. Itu semua aksi Rafa, bukan Qio.
FLASHBACK ON.
Rena tersenyum sinis melihat Chica yang datang dari arah yang berlawanan. Chica yang melihat Rena, tersenyum ke arahnya.
"Lo udah dateng dari jam berapa? Berani banget dateng pagi-pagi, Ren. Tapi syukur sih, gue ada temennya. Soalnya gue denger-denger, katanya kemarin sempet ada kabar pembunuhan di deket sini."
"Ah, udah biasa kok gue pergi ke sekolah pagi-pagi. Ya ... mungkin namanya suatu kebiasaan. Lagian, kalau kebiasaannya baik, kenapa harus dirubah?"
Tiba-tiba, sebuah ide terlintas dari pikiran Rena. Rena mengeluarkan sebuah korek api besi dari dalam sakunya. Dia memainkan korek api itu dengan ahli di depan Chica.
Chica hanya diam memperhatikan itu. Lalu, Rena menghidupkan korek api itu di depan wajah Chica.
"Ca, coba lo bayangin lo ada di sebuah gedung yang ada 50 lantai. Lo ga bisa kemana-mana sekarang karena kalau lo mundur, lo bakal jatuh ke bawah dengan mengenaskan," ujar Rena menghipnotis.
Chica sontak membalikkan badannya. Dia langsung ketakutan. Apa yang dikatakan oleh Rena, terlihat jelas oleh Chica.
"Lo ga mungkin loncat dari sini buat kabur kan? Jangankan loncat, lo mundur aja udah jatuh," tutur Rena dengan sinis.
Chica menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin mau mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu.
"Sekarang tugas lo biar lo selamat adalah lo ceritain apa yang lo dapetin dari awal sampai akhir. Setelah lo selesai ceritain semuanya, lo bakal lolos."
FLASHBACK OFF.
Rena menghela nafasnya. Dia mencoba sabar untuk menunggu sedikit lebih lama lagi untuk mendapatkan jawaban Rafa.
Sulit banget kayaknya buat ninggalin Chica. Ga bisa ya sekali aja lo lihat gue, Raf? Lagian, kalaupun lo ninggalin Chica, dia masih bernotabe sebagai adik gue. Dan itu artinya, gue bakal gampang buat ngelacak dia terus akhirin hidup dia, batin Rena.
"Pilihan kedua."
Rena tidak terlalu terkejut mendengar jawaban Rafa. Rena bertepuk tangan. Dia mengapresiasikan kenekatan Rafa yang luar biasa. Tapi biarlah, Chica akan bernasib sama seperti kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Chica! [Completed]
Fiksi RemajaDipersatukan dalam permainan dengan pemain yang sudah jelas memiliki sifat saling bertolak belakang. Si dingin yang hampir tak bisa dibedakan dengan dinginnya es di Kutub Utara dan si cerewet yang selalu berpidato. Bukan permainan kecil-kecilan bia...