[Empat Puluh Tiga]
"Tau ga kenapa habis A itu B, C, terus D? Karena habis akrab, terus bercanda, timbul rasa cinta, akhirnya ditolak."
-Qio."Kita perlu berterima kasih sama PHO. Kenapa? Karena dari PHO, kita tau mana yang beneran sayang, mana yang pura-pura sayang. Masa berlian mau disamain sama kerikil?"
-Chica.🙈🙉
Chica menghentakkan kakinya ke meja makan. Dia kesal dengan pemandangan yang berada di depan matanya. Lebih tepat, Chica cemburu.
"Raf, pelan-pelan suapinnya!" Rena memasang wajah yang cemberut. Dia cenberut karena Rafa menyuapi makanannya dengan cepat. Seperti tidak memberi kesempatan kepadanya, untuk menelan makanannya terlebih dahulu.
Gemesan Chica, batin Rafa. Rafa menyuapi Rena kembali. Rena dengan senang hati, menerima suapan dari Rafa.
Chica yang sedang makan, tiba-tiba tersedak. Rena seperti iblis yang memancing amarahnya terus-menerus. Padahal, awal Chica kira, dia dan Rena bisa bersahabatan baik.
"Uhuk ... uhuk ...." Chica terbatuk-batuk. Dia membutuhkan minum saat ini.
Qio dengan sigap, memberikan Chica minuman yang tadi dia beli dan belum dia minum sama sekali. Padahal, tadi Gara sudah berdiri. Gara ingin membelikan minum untuk adik kesayangannya.
"Thanks, ya!" Qio mengangguk tanda mengiyakan. Sementara dengan Juan, Steva, dan Gara, mereka merasa dunia telah terbalik.
Bahkan, gue kesedak aja, lo enggak ngeliat gue sama sekali. Lo tetep fokus sama Rena. Apa gue bener-bener dilupain? batin Chica.
Chica mengambil saus cabai yang berada di mejanya. Chica memencet saus itu dengan kencang. Chica benar-benar kesal.
Qio menoleh ke arah Chica. "Ca, lo mau pakai sausnya sebanyak apa? Nanti lo sakit perut gara-gara kepedesan!"
Chica menoleh ke arah bakso yang dia tuangkan saus cabai. Dia tidak sadar sudah menuangkan dengan jumlah banyak.
"Eh? Ga apa-apa, kok! Gue sengaja naruh banyak, udah biasa juga!" Chica gelagapan untuk membalas ucapan Qio.
Chica mencoba fokus makan kembali. Tapi sayang, baru sekali dia makan baksonya, dia sudah kepedasan. Chica mencoba menahan pedasnya. Dia tidak mau ketahuan kesal di depan Rafa sendiri.
"Udah, Ca! Lo kalau enggak kuat, jangan sok kuat! Gue tahu lo kepedesan." Qio mengambil bakso milik Chica.
"Eh? Qio! Itu kan ... bakso ... gue! Gue ... ga kepedesan ... kok!" ucapan Chica terputus-putus karena dia mengambil nafasnya dahulu. Dia benar-benar kepedasan.
"Sstt! Jangan banyak protes! Mending, lo minum aja dulu!" Qio menaruh bakso milik Chica ke meja. Dia pergi ke tukang bakso kembali untuk membelikan bakso yang baru. Tentu saja, untuk Chica.
Chica meminum minuman pemberian Qio tadi. Dia juga mengelap keringat, yang timbul akibat kepedasan dan panas karena Rafa dan Rena masih bermesra-mesraan di depan mata Chica.
"Nih! Lo makan bakso ini aja!" Qio menyodorkan bakso yang baru dia beli.
"Bakso yang tadi gimana? Sayang kalau dibuang! Belinya kan pakai uang, bu--"
"Gue yang makan. Lo tenang aja." Qio memotong ucapan Chica. Qio yang sudah habis memakan baksonya, mengambil bakso pedas milik Chica.
"Makan yang bener!" Rafa membersihkan sisa bakso yang berada di ujung mulut Rena. Rena menyengir setelah menerima perlakuan manis dari Rafa.
"Sorry, Raf! Gue kan laper. Apalagi, disuapin sama lo, jadi baper," ucap Rena.
Steva dan Gara yang kebetulan duduk bersampingan, saling berpandangan satu sama lain. Mereka mencium bau-bau sesuatu. Aroma yang tidak mengenakan.
"Cium, deh!" perintah Steva disalah artikan oleh Juan.
Juan menggelengkan kepalanya. "Efek ditinggal sama Jafar? Jangan gitu, Stev! Masa gara-gara ditinggal sama Jafar, lo jadi mesum gini! Minta dicium lagi!"
Steva menginjak kaki Juan. "Lo yang mesum, geblek! Maksud gue tuh cium ada aroma bau-bau gitu, ga? Bukan cium-cium yang lo maksud gitu!"
Juan menyengir. "Ya, mana gue tau. Lagian, lo sendiri ngomong ga jelas! By the way, kaos kaki gue belum dicuci sebulan. Maybe, aroma yang lo maksud itu!"
Chica yang mendengar itu, langsung pergi meninggalkan Juan. Yang lain, juga melakukan yang seperti Chica lakukan.
Juan menggaruk kepalanya. "Loh, apa yang salah? Gue kan ga nyuci kaos kaki selama sebulan biar hemat air!"
🙈🙉
"Chica!" Chica yang merasa terpanggil, menoleh ke sumber suara. Chica dapat melihat Qio yang sedang berjalan menghampirinya.
"Kenapa, Qi? Kangen sama gue? Gue tau kok kalau gue nganenin!" Chica mengibaskan rambutnya seperti biasa.
"Iya, Ca. Gue kangen sama lo." Chica terdiam. Dia terjebak dalam ucapannya sendiri. Chica teringat dengan satu kalimat. Mulutmu adalah harimaumu.
"By the way, ada urusan apa lo nyamperin gue? Ga biasanya lo nyamperin gue," ujar Chica yang berusaha jujur.
Qio tersenyum. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah amplop biru yang Chica dapatkan di lacinya.
"Loh, kok amplopnya bisa sama lo? Lo nemuin dimana? Astaga! Gue nyari-nyari di rumah gue waktu itu sama Bang Gara, tau ga? Gue sampai berantakin sana-sini, sampai geser-geser lemari gue yang berat banget! Eh, bentar, lo kok tau amplopnya punya gue?" tanya Chica.
Qio mengacak-acak rambut Chica karena gemas. "Coba jawab pertanyaan gue dulu. Menurut lo, kalau cowok yang nembak satu cewek, terus belum dikasih jawabannya, bakal diem aja ga?"
Chica memikirkan pertanyaan Qio sejenak. Chica langsung menggelengkan kepalanya.
"Sejauh dari novel-novel yang gue baca, rata-rata cowok yang nembak cewek, terus belum dikasih jawaban sama ceweknya, bakal mintain lagi jawabannya. Ga bakal diem aja. Soalnya, kayak digantungin rasanya!"
Qio mengangguk mendengar pendapat Chica. "Lo beneran mau gue jawab pertanyaan-pertanyaan lo tadi?"
Chica mengangguk dengan semangat. "Daripada gue ga dikasih tau, nanti gue kepo setengah mat--"
"Karena surat itu dari gue sendiri. Dan, lo belum ngasih jawaban bakal nerima atau nolak gue."
🙈🙉
-Hey, Chica!-
Hayo! Ceritain dong ke emak gimana perasaan kalian pas selesai baca part 43 ini! Adakah yang kaget?
Maapkeun kalau masih ada typo, kesalahan tanda baca, belum dapet feelnya, dll. Makasih juga buat dukungan kalian semua!❤
Intinya, jangan lupa vote dan komen sebanyaknya! Jangan bosen nunggu Hey, Chica! update ya! :*
Sekian,
Salam hangat dari emak Juan 💋
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Chica! [Completed]
Teen FictionDipersatukan dalam permainan dengan pemain yang sudah jelas memiliki sifat saling bertolak belakang. Si dingin yang hampir tak bisa dibedakan dengan dinginnya es di Kutub Utara dan si cerewet yang selalu berpidato. Bukan permainan kecil-kecilan bia...