[Tiga Puluh Dua]
"Gue ga menderita rasa bersalah atau penyesalan, malah gue menikmati penderitaan orang lain."
-Rena."Jangan pernah nganggep seolah orang itu ga ada! Ketika orang yang lo enggak anggep itu udah ga ada, lo bakal nyesel seumur hidup lu!"
-Gara.🙈🙈
Chica sudah menjelaskan semuanya kepada Gara. Gara sendiri kaget karena Rena sudah mulai kelewatan kepada Chica. Dia fikir, dengan Rafa di dekatnya, dia tidak akan macam-macam.
Gara semakin bisa menahan emosinya. Tapi dia tahu, Chica tidak boleh mengetahui jika Renalah yang berbuat demikian. Jika Chica tahu, keadaan Chica bisa lebih bahaya dari ini.
"Udah, kamu tenang aja ya, Dek! Abang ada di sini buat jagain kamu. Kalau misalnya ada apa-apa, bilang langsung ke abang. Abang yang bakal urus!"
Chica jarang melihat Gara yang seserius ini. Dia tahu, jika Gara sedang serius berarti dia sedang tidak suka direspon dengan bercanda.
"Iya, Bang. Pasti kalau ada apa-apa Chica langsung kasih tau!" Chica memeluk Gara. Gara juga membalas pelukan Chica sambil memikirkan sesuatu.
Drtt.. Drtt..
Handphone Gara bergetar. Sebuah panggilan masuk ke dalam handphone-nya.
Gara menyerit keheranan melihat telepon yang ternyata berasal dari ayahnya.Oh, masih inget gue? Tumben-tumbennya ayah telepon. Kalau enggak ada yang penting, ga bakal telepon. Buat nanya kabar apapun aja enggak telepon. Udahlah biarin aja! batin Gara.
Chica mengkerutkan dahinya. "Siapa yang telepon, Bang? Angkat aja! Siapa tau penting. Kasian, Bang! Jadi orang tuh harus peduli sesama. Masa abang maunya dipeduliin doang, tapi enggak mau peduliin orang lain? Jangan gitu, Bang!"
Gara tersenyum sambil mengacak-acak rambutnya Chica. "Bukan dari siapa-siapa. Enggak penting juga."
Drtt.. Drrt..
"Tuhkan, Bang! Bunyi lagi! Buruan angkat gih! Orangnya nungguin tau! Nunggu itu enggak enak, Bang! Apalagi kalau tanpa kepastian kayak nunggu doi peka atau nunggu doi nembak buat seriusin gitu!"
Gara masih ragu untuk menjawab telepon dari ayahnya. Firasatnya mengatakan untuk menjawab. Tetapi, egonya menyuruhnya untuk tidak perlu memperdulikannya seakan orang dan panggilan itu tidak ada sama sekali.
Drtt.. Drtt..
"Bang? Bang Gara masih di Bumi? Jangan melamun, Bang! Bahaya tau, bisa-bisa ada apa-apa lagi! Emang kenapa ga mau dijawab sih? Angkat tinggal angkat kok, Bang! Jangan-jangan dari mantan abang, ya? Terus abang lagi siapin diri buat ngajakin balikan. Iya kan, Bang? Pakai malu-malu lagi! Sini, Chica aja yang angkat!" Chica mengambil ponsel Gara.
"Jangan, Dek! Sini balikin handphone abang! Ga boleh nakal!" Gara mencoba merebut handphone-nya.
"Kenapa sih, Bang? Takut banget kayaknya. Emang dari siap--ayah?" Chica sudah melihat nama yang tertera di layar handphone Gara.
Drrt.. Drtt..
Tanpa aba-aba, Chica langsung mengangkat telepon yang datang. Gara hanya bisa diam sekarang.
"Ayah? Kenap--"
"Benar ini dengan anaknya tuan Felish?"
Ucapan Chica diputuskan dengan sederet kalimat tersebut. Dahi Chica berkerut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Chica! [Completed]
Teen FictionDipersatukan dalam permainan dengan pemain yang sudah jelas memiliki sifat saling bertolak belakang. Si dingin yang hampir tak bisa dibedakan dengan dinginnya es di Kutub Utara dan si cerewet yang selalu berpidato. Bukan permainan kecil-kecilan bia...