47 • Sakit Fisik dan Batin

11.8K 793 52
                                    

[Empat Puluh Tujuh]

Chica terdiam. Dia memang masih diikat oleh Rena di kursi dengan menggunakan tali. Luka-lukanya juga masih belum diobati satupun.

"Gue udah tau semua tentang keluarga lo. Ayah dan ibu lo cerai waktu lo masih kecil. Dan sialnya, ibu lo dengan murahannya ngerusak rumah tangga di keluarga gue!"

Chica membelakkan matanya tidak percaya. Mamanya tidak mungkin setega itu untuk menghancurkan rumah tangga orang lain.

Chica menggeleng. "Ga ... ga mungkin, Ren. Ini ... ini semua bohong, kan?"

Rena berdecih pelan. "Dan ternyata, sikap merebut kebahagiaan orang lain juga turun ke anaknya. Ibu lo yang buat ayah gue jadi berubah jadi kasar. Saking kasarnya, ayah gue sampai rela ngebunuh mama gue demi ibu lo itu. Apalagi ketika gue ga sengaja ngelakuin kesalahan ke ibu lo tercinta, gue bakal disiksa!"

"Ren, please jangan kay--" Chica memohon kepada Rena dengan nada yang pelan. Dia masih merasa lemas dan sedikit pusing.

Rena mengambil gelas yang berisi air minum di dekatnya, lalu menyiramkannya ke wajah Chica. Otomatis, ucapan Chica terputus karena perlakuan Rena.

"Ga usah banyak ngomong, deh! Perebut kebahagiaan orang lain tuh ga pantes buat diperlakuin kayak tuan putri!" Rena menendang kursi yang diikat bersama Chica. Athasil, Chica juga ikut terjatuh.

"Dasar ga tau diri!" Rena mengambil cambuk yang berada di mejanya, lalu mencambuk Chica.

"ARGH!" Chica mengerang kesakitan. Cambukan tersebut mengenai luka lainnya yang tadi belum sembuh.

"Gu ... gue uhuk ha ... harus lakuin apa?"

Rena membentuk seukir senyuman sinis di wajahnya. Dia menunggu Chica mengatakan sederet kalimat ini. Namun, dia juga masih tidak tahu apa yang dia lakukan akhirnya. Dia masih ingin bermain-main dengan saudara tirinya.

"Oh, ya! Ada yang pengen gue ceritain. Jadi, dulu semasa gue, Rafa sama Qio di London, kita bertiga deket. Gue udah suka sama Rafa dari dulu. Tapi taunya, ada seseorang yang pengen rebut Rafa dari gue. Lo tau siapa?" tanya Rena dengan suara yang lembut namun mematikan.

Chica tidak menjawab pertanyaan Rena. Dia tidak mau salah bicara lagi. Terlalu berbahaya. Rena yang melihat itu, membuat senyum miring.

"Orang yang pengen rebut Rafa dari gue itu kakak kelas gue. Namanya siapa, ya? Bentar gue inget-inget!" kata Rena sambil memasang mimik berpura-pura lupa.

"Ah, iya! Namanya Adelia Adiba. Nama yang indah bukan? Tapi sayang, orangnya busuk karena mau ngerebut apa yang jelas-jelas udah jadi milik orang lain."

Deg.

Adelia Adiba? Kak Dedel? Apa yang udah terjadi sama kak Dedel? batin Chica.

"Hahaha! Lo kepo sama cerita gue selanjutkan, 'kan? Btw, kenapa sifat lo jadi berubah? Biasanya lo suka ceramah sana-sini. Kenapa sekarang jadi diem? Lemes karena belum makan terus gue siksa, ya? Atau butuh minum? Gue ambilin lo minum sebentar, ya!"

Rena keluar dari kamarnya untuk menuju ke dapur. Entahlah. Walaupun perkataan Rena terdengar membantu, namun perasaan Chica tetap tidak enak.

Apa yang mau Rena lakuin lagi? Apa belum cukup gue disiksa gini? Semuanya rasanya jadi satu. Sakit, lemes, haus, laper, dan pusing. Bang Gara ... tolongin Chica! Chica ga mau di sini lama-lama, batin Chica.

"Lagi ngapain, Ca? Diem-diem aja! Lagi berdoa ya supaya lo ditolongin sama abang kesayangan lo? Asal lo tau, kalau pahlawan kesiangan lo dateng ke sini, gue bakal buat kaki dan tangan mereka patah! Jadi ga usah berharap ketinggian bakal dibebasin!" ucap Rena dengan geram.

Hey, Chica! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang