One Step Closer

1.2K 87 2
                                    

"Ma, Pa, aku pergi dulu ya." Kupeluk mereka berdua pagi itu. Air mata dipelupuk mata tak mampu lagi kubendung. Meninggalkan mereka selalu membuat hatiku pilu.

Papa dan mama tetap tersenyum menenangkan aku. Sedang Reyno tetap berada di sampingku.

Tak berapa lama Papa beranjak ke arah pinggir diikuti Reyno dan mereka berbicara berdua di sana.

"Baik-baik ya, Annora, sebentar lagi kita bertemu di kelulusanmu." Mama mengecup kening lalu mengusap rambutku.

"Ya, Mah, aku juga ingin segera lulus." Aku menghela lemah.

"Jangan terlalu memaksakan dirimu untuk terus bekerja sambil belajar, kau akan sakit jika tidak kuat." Aku mengangguk.

Reyno kembali tak lama. Papa menepuk pundaknya sekali, mereka berdua tersenyum. Entah bicara apa Papa, pasti sesuatu tentang kita.

Mataku mengerling menatap Reyno, ia balik menyapa tatapanku lalu tersenyum penuh arti.

Ada apa sih?

Papa mendekatiku setelahnya. "Baik-baik di sana, Annora, jaga dirimu, dan hubungi Reyno jika ada apa-apa." Aku mengerenyit mendengarnya, sempat diam sejenak sebelum mengangguk. Papa mengecup kening dan memelukku. "Anak Papa sudah dewasa, Papa sudah harus siap," ujar Papa dengan wajah agak sedih. Aku kembali terdiam, entah kenapa hatiku sedikit perih mendengarnya, namun aku balik memeluk Papa erat.

***

Perjalanan pulang kali ini aku lebih memilih melamun. Rasa sedihku meninggalkan mereka membuatku agak murung.

Reyno sepertinya mengerti dengan kondisiku, ia tak banyak bertanya, hanya memeluk, menggenggam tangan dan sesekali mengecup puncak kepalaku.

"Aku tahu aku sudah dewasa, tapi ketika Papa mengatakannya, rasanya seperti akan kehilangan mereka saja." Mataku kembali berlinang, rasa perih tadi mungkin luapan emosiku yang tertahan.

"Kau lebih dari itu Annora, kau dewasa, pintar dan mandiri." Reyno menegaskan. "dan jangan lupa kau juga cantik, dan aku ... mencintaimu karena semua itu." Aku bergeming mendengar ucapannya. "Kehilangan itu bukan kehendak kita, tapi aku pasti akan tetap menggengam tanganmu." Tanpa sadar bibirku melengkung.

Setiap Reyno merangkai kata ia tak pernah berubah, selalu menghangatkan, menyelimuti, juga mengisi kekosongan. Seperti endorfin, menghilangkan segala rasa sakit, membuat semua itu menguap, lalu memberi ketenangan.

"Aku tahu," ujarku perlahan, lalu membenamkan wajahku di lengannya.

"Kau tak tahu, Annora, tapi mulai hari ini, kau akan lebih tahu." Aku mendongak menatapnya bingung, alisku menaut.

"Maksudmu?" Reyno hanya tersenyum tipis.

"Menurutmu apa?" tanyanya balik dengan tatapannya yang dalam.

Jantungku mendadak berpacu. Aku hanya menggigit bibir. Reyno tersenyum. Ia memilih untuk tidak melanjutkan, menggantung penjelasannya, dan sekarang aku menjadi merana karenanya.

***

"Aku rindu kalian!" Elsa memelukku sore itu. Aku menyambutnya lalu tertawa. Elsa si adikku yang ceria.

"Kalian baik-baik saja, kan?" Elsa menggangguk dan Gavin memberikan jempolnya.

"Jangan tanya kami, kalian bagaimana?" sanggah Elsa penuh arti.

JUST ONE BELIEVE (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang