Out Of Sync

2.6K 138 0
                                    

Entah sudah beberapa menit kepalaku tertumpu di atas meja, terkulai lemas di ruangan staff. Aku melirik jam di dinding yang hanya tinggal 15 menit lagi sebelum kedua jarum jam itu mengarah ke angka 12 dan enam.

Pakaianku masih utuh sejak dari kampus, dan aku bahkan tak bawa baju ganti. Ingin rasanya menghilang dan tidur untuk waktu yang lama, tapi entah kenapa aku malah berakhir di ruangan ini.

Kedua mata yang berat dan sepat, ditambah mood yang semakin terpuruk. Rasanya benar-benar tak ingin melakukan apapun sekarang.

Lalu kenapa aku kemari?
Apa yang kucari di sini?
Benar-benar tidak singkron.

Kepalaku semakin tenggelam di antara kedua tanganku.

Tak lama pintu ruangan itu terbuka. Dapat kudengar seseorang masuk. Tapi aku memilih terdiam, menunduk sambil memejamkan mata. Menyembunyikan wajahku yang kusut.

Hanya selang beberapa menit, sebelum akhirnya aku menyadari sesuatu.

Sebuah tangan besar mendarat di atas kepalaku. Menekan lembut dan mengusap perlahan.

"Kau baik-baik saja?" tanya suara di sampingku, yang tak kusadari sejak kapan.

Tapi aku bergeming. Suasana hatiku masih tak menentu untuk menjawabnya. Walaupun jujur ... aku sangat senang ia menghampiriku.

"Apa kau sakit? kau tak usah memaksakan diri ..."
Ia mendekat dan berbicara dengan suaranya yang lembut.

Entah aliran hangat apa yang mengalir di dadaku, menyebar rata ke tiap-tiap ujung sarafku, membuat perasaan beku itu perlahan-lahan mencair

Aku menoleh. Ia tampak sedikit terkejut, tatapannya bergulir menatap kedua mataku yang sembab.

Aku memang tak bisa menahan air mata itu sejak di cafe tadi. Bahkan baru setengah jam yang lalu tetesannya berhenti.

Tangan Reyno turun menyentuh wajahku, lalu pipiku. Aku membiarkannya. Karena aku dengan tak tahu diri menyukainya. Ibu jarinya bergerak memutar mengelus lembut kelopak mataku yang bengkak dan terpejam.

"Ada apa denganmu?" tampak nada cemas di suaranya. Alisnya hitamnya sedikit berkerut.

Tangannya masih tetap membelai wajahku, mengalirkan kehangatan yang begitu menenangkan.

Sebelah tanganku terangkat dan menekan balik tangan lebarnya di pipiku dan berharap tangan itu tetap berdiam di sana untuk beberapa waktu yang lama.

"Aku benar-benar kacau ..." Akhirnya aku membuka mulutku, dan tersenyum kecut. Reyno tampak memperhatikanku.

"Wajahmu lucu," ucapnya spontan. "Seperti mata panda di komik Ranma 1/2" Ia terkikik geli, dan aku ikut tersenyum kecil.

Alisku berkerut menyatu. "Kau menyebalkan," kataku tersipu, sambil memukulnya lengannya pelan.

Reyno tersenyum sambil menangkap tanganku. Senyum yang selalu membuatku merasa penting. Senyum yang rasanya hanya untuk diriku seorang.

"Tunggu sebentar." Ia melepaskan tanganku yang terlihat enggan, lalu bangkit keluar dari ruangan itu.

Aku masih terdiam, bekas sentuhannya masih berdenyut. Tapi anehnya lambat laun perasaanku berangsur membaik.

Kuusap mataku yang kering. Rasanya begitu berat untuk bangkit berdiri. Aku menghela sambil berjalan lesu menghampiri sebuah washtafel.

Percikan air terasa begitu dingin di pipiku, kukeringkan buru-buru dengan handuk. Pantulan kaca menampakan wajahku yang pucat dan kelopak mataku yang bengkak.

JUST ONE BELIEVE (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang