"Ehm, tunggu dulu di sini." Kedua tanganku langsung sigap menahan Reyno tepat ketika aku membuka kunci pintu. Wajahnya tampak bingung.
"Se-sebentar ya! one minute!" aku menyembulkan kepala dari dalam pintu dengan satu telunjuknya yang mengacung, kemudian kututup kembali, meninggalkan Reyno di luar.
Ais! bagaimana ini? tiba-tiba saja dia ingin mengantarku ...!
Tanganku langsung bergerak mengambil apapun yang tercecer di lantai. Gulungan rambut Vivian, rambut-rambut rontok, serpihan keripik, dan kaleng-kaleng minuman kosong, semua kukumpulkan dan kubuang jadi satu dalam tempat sampah di bawah dapur.
Dari sana aku langsung berlari ke arah kamar mandi, kutekan sekuat tenaga tumpukan baju kotor yang belum sempat kubawa ke laundry,
ke dalam sebuah keranjang besar berwarna pink, lalu kututup rapih. Kepalaku masih bergerak ke kiri dan ke kanan mendeteksi apapun yang tertinggal.Apalagi sekarang? cucian piring! hmm ... sudah bersih, tempat tidur! yup, meja tulis, karpet ...
Ok! semua beres.Aku menghela napas sambil mengusap bulir-bulir keringat jangung yang entah sejak kapan keluar dari keningku.
Fiuh! ini tak sebanding sama sekali dengan apartemen miliknya ... aku menghela lemas sambil membuka pintu.
Wajah Reyno langsung tepat berada di hadapanku ketika pintu itu terbuka. Mimik mukanya tampak penasaran, ia sempat tersenyum menangkap kepanikan yang berusaha kututupi.
"Err ... silahkan masuk." Aku tertawa canggung, menggeser badanku ketika Reyno masuk melewatiku.
Ah!! aku benar-benar tak percaya dia masuk ke kamarku sekarang. Kutekan degup di dadaku yang kini tak bisa diam, sambil menarik napas panjang.
Reyno membuka sepatu pantovel hitam-branded-nya tanpa melepas kaos kaki. Ia berjalan masuk dan langsung duduk di atas karpet yang terentang tepat di depan kasur.
"Kau tidak masuk?" tanyanya menyadari aku yang masih berdiri terpaku di depan pintu.
Sebenarnya bukan terpaku, tapi aku sedikit shock. Baru kali ini seorang pria berkunjung dan berada di dalam kamarku, ini terasa aneh.
Dulu dengan Adrian, aku masih belum tinggal dan menyewa kamar ini, tiap hari aku pulang-pergi menggunakan kereta sore, dengan perjalanan satu jam ke rumahku. Barulah begitu masuk semester ke empat, aku pindah kampus dan mulai merasa kewalahan dengan waktu dan rute. Aku menemukan tempat ini karena tak sengaja lewat, ketika pulang dari mart.
Aku tersenyum kaku, menutupi rasa malu, sambil menggaruk kepalaku, aku lalu menutup pintu.
"Maaf, kamarku sempit dan pengap." Lagi-lagi aku tertawa seolah melihat lelucon yang tidak lucu.
"Kamarmu nyaman ..." Reyno meluruskan kakinya yang panjang dan menggeliat bersandar di pinggir kasur, matanya menelusuri tiap sudut di ruangan itu, dan ekspresi santainya tetap konstan, malah tampak seperti agak tertarik.
Aku mengambil sebuah minuman kaleng-milk soda-kesukaanku di kulkas, lalu kulempar perlahan ke arahnya.
"Thanks." Ia tersenyum dan langsung membukannya.
"Kau suka minuman ini?" tanyanya setelah meneguk beberapa kali. Aku mengangguk cepat.
"Aku juga suka, tapi sudah lama aku tidak membelinya lagi." Ia memutar-mutar kaleng itu, seperti meneliti dengan saksama.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST ONE BELIEVE (complete)
RomantizmHampir setahun lebih Annora terkungkung dengan masa lalu dan mimpi buruk. Dan karena rasa frustasi untuk berusaha lepas dari dilema itu, akhirnya ia memilih untuk pergi menjauh dan hidup seorang diri. Belajar dan bekerja dilakoninya sekaligus. Ia be...