Is It Too Much To Ask?

1.4K 96 4
                                    

Perkenalan yang singkat. Hanya sebuah nama dari dua kata yang kuucapkan, lalu hening. Om Lionel, atau ayah dari Reyno ini tidak terlalu banyak bertanya. Tapi ia seolah dapat menilai sendiri. Matanya beberapa kali menatap aku saksama. Agak risih sebenarnya. Beberapa kali aku membalasnya dengan senyum.

Tak lama ia mendapat panggilan di ponselnya. Dari perbincangannya yang tak sengaja kusimak, tampaknya sesuatu yang penting. Kupikir ayah Reyno ini pun seseorang dengan jabatan tertentu, business man atau apapun sejenisnya.

"Papa mau ke mana?" Reyno tak sabar untuk bertanya begitu panggilan itu ditutup.

"Pak Alex, ia mengajak papa untuk makan malam di restoran Xx malam ini, sambil katanya akan membicarakan beberapa proyek, apa kalian ingin ikut bergabung?" Reyno tersenyum lalu mengeleng pelan.

"Tidak apa-apa, Pa, pergilah, next time, kita dinner bareng," ujarnya sambil meraih pundakku di sampingnya. Menarik tubuhku mendekat. Aku sedikit terkejut, lalu tersenyum ke arah ayah Reyno yang tengah menatapku.

"Annora kekasihmu ini, manis." Om Lionel tidak ragu mengemukakan kekagumannya terhadapku. Aku sebenarnya sudah menyadari tatapan menilainya sejak awal masuk.

Reyno hanya tersenyum lalu mengecup puncak kepalaku seketika. Jujur membuat aku sedikit salah tingkah. Wajahku pun terasa menghangat.

"Dia lebih dari itu." Tambah Reyno bangga.

"Makasih, om." Aku menjawab malu-malu. Om Lionel kembali tersenyum. Mungkin ini kata-kata keduaku setelah menyebutkan nama sendiri sebelumnya.

"Aku setuju, nak, kita harus makan malam bersama. Carikan waktu dan tanggal yang tepar, lalu kabari Papa." Reyno mengangguk mantap.

"Ok, Pa." Om Lionel masih saja tersenyum. Dan aku baru menyadari sesuatu, bahwa senyumannya itu, ternyata telah ia wariskan kepada anaknya, Reyno.

Akhirnya kami pamit terlebih dahulu  sebelum ayahnya pergi, dan Reyno dengan sigap langsung menarik tanganku cepat.

Baru saja beberapa langkah keluar dari ruangan itu, dan hanya beberapa meter saja dari pintu tadi, ia langsung memutar tubuhnya menghadapku lalu menunduk, dan bibirnya dengan gesit segera menekan bibirku. Mengecupnya singkat.

"Rey?" aku lumayan terkejut, sambil melihat kiri kanan memastikan tak ada siapapun yang melihat di sana.

Pria itu lagi-lagi hanya tersenyum penuh arti. Aku tidak bisa sepenuhnya membaca pikirannya. Tapi aku tahu bahwa ia senang, ia bahagia. Karena aku pun merasakannya.

Menit selanjutnya aku yang gantian memeluk tubuhnya. Melingkarkan tangan mungilku pada tubuhnya yang terasa begitu nyaman. Aku memejamkan mata, tersenyum, dan dadaku semakin terasa sesak, hingga tak sadar beberapa bulir menetes di pipiku, ketika Reyno balik memeluk, dan membenamkan wajahnya di kepalaku.

"I'm so happy, Annora."

"Me too ..."

***

Cabin House.

Di sinilah akhirnya pendaratan kita malam itu.

Berbekal makanan berat, cemilan dan minuman, seperti deja vu, kami pun kembali ke tempat ini, tempat ketika ia memintaku untuk menjadi miliknya.

Would you be mine?

Yah, kalimat pertanyaan itu, yang tak pernah bisa kulupakan. Bahkan bagaimana perasaanku saat itu, semua masih tergambar jelas di ingatan.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyanya membuyarkan lamunan.

"Aku ... mmh ..." Wajahku kembali memanas memikirkan apakah aku perlu menjawab pertanyaannya atau tidak.

JUST ONE BELIEVE (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang