Hembusan angin semakin kencang, meniup helai demi helai rambutku yang terurai hitam dan bergelombang, menari-nari lembut menyembunyikan sedikit demi sedikit wajahku yang terpaku. Terkunci. Mata itu masih menangkapku, mengawasiku, walau mulutnya bergerak terbuka dan tertutup sesuai dengan bahasa tubuhnya. Tapi matanya, tetap tak melepasku sedetik pun.
"Kau lihat kan ..." Vivian membuatku kembali sadar dengan kehadirannya.
Akhirnya aku bisa mengalihkan mataku dan menatap Vivian lekat.
"Kenapa Reyno ... apa yang dia ... apa yang sebenarnya ..." Mulutku bergerak terbata-bata. Semua pertanyaan di kepalaku seketika bergerak berhamburan ingin keluar.
"Dia itu sebenarnya adalah seo ..." Vivian baru saja hendak menyelesaikan kalimatnya, ketika seseorang memanggilnya.
"Vivian, bisa ikut aku sebentar." Mata Vivian tampak membulat, mulutnya membeku, melihat jauh ke belakangku. Dengan sigap ia bangkit dari kursinya. Aku pun otomatis memutar sedikit kepalaku, mencari tahu.
"Siang Ibu Anya." Ia tampak sedikit menunduk.
"Siang, Vivian. Aku perlu denganmu sebentar." Lanjut suara sopran wanita itu sambil tersenyum elegan.
Satu kata, cantik. Wajah indo, rambut kecoklatan yang digelung rapih, make up flawless, serta tubuh rampingnya yang terbalut sempurna oleh jas dan rok merah marun berbahan velvet. Aku lagi-lagi hanya bisa tertegun.
"Baik, bu." Vivian bergegas mengambil tasnya dan sebelum ia mengejar wanita tadi, ia menepuk pundakku.
"Kutinggal sebentar ya, kau bisa menungguku atau berkeliling, atau ..." Vivian melirik Reyno lalu menatapku.
"Tampaknya seseorang sudah memperhatikanmu dari tadi ..." Vivian tersenyum kecil, sebelum meninggalkanku.
"Eh, tunggu dul ..." Aku menghela, percuma saja, langkah Vivian semakin cepat menjauhiku. Meninggalkan ke ambiguan. Aku menghela menatap pasrah segelas orange juice yang hanya tersisa beberapa mili lagi, dan sedikit tak bernyali untuk kembali menoleh ke kanan.
Beberapa kali kuputar-putar dan kulipat sedotan minumanku. Lututku bergerak naik turun. Aku benci serangan panik, salah satu dari kelemahanku. Gerakan tubuhku juga menjadi tak jelas. Jantungku berdetak cepat, namun indra pendengaranku semakin lama malah semakin jeli menangkap pembicaraan di seberang sana.
Suara berat Reyno, samar-samar menjelaskan detail-detail mengenai sebuah promosi, media, pemasaran, progres, future planning, dan lainnya. Beberapa nada antusias terdengar, dari orang sekitarnya. Setiap kali ia menyelesaikan penjelasannya.
Siapa sebenarnya dia ...?
Dan apa yang dia lakukan di sana ...?Pertanyaan yang hampir ratusan kali sejak beberapa menit yang lalu terus berulang dalam benakku.
Kali ini diam-diam aku memberanikan diriku kembali melirik kearahnya.
Pria itu sudah melepas pandangannya, pria setengah baya di sebelah kirinya kini menjadi perhatiannya. Keduanya terlihat berbincang serius. Beberapa argumen sempat terlontar, lalu selingan candaan ringan yang memecah keangkuhan. Saling menepuk punggung, sama-sama melempar pujian, lalu akhirnya bersalaman. Tampaknya kesepakatan tercapai, pikirku menyimpulkan.
Beberapa detik kemudian pertemuan itu pun berakhir. Mereka saling mengucap salam perpisahan sebelum pergi. Reyno tersenyum kecil, ada sisi image yang ia jaga di sana. Tampak berkelas.
Bukan senyuman yang selama ini kuingat, bukan tertawa renyahnya yang lantang, bukan juga sunggingan jahilnya. Bukan semua ekspresi itu. Aku melihat sisi lain dirinya saat ini. Kewibawaan dan karismatik.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST ONE BELIEVE (complete)
RomanceHampir setahun lebih Annora terkungkung dengan masa lalu dan mimpi buruk. Dan karena rasa frustasi untuk berusaha lepas dari dilema itu, akhirnya ia memilih untuk pergi menjauh dan hidup seorang diri. Belajar dan bekerja dilakoninya sekaligus. Ia be...