Aku melangkah sekuat tenaga menaiki anak tangga satu demi satu. Mataku kali ini beberapa kali lebih berat dari sebelumnya. Beruntung kamarku terletak di lantai dua, jika di lantai empat, aku pasti memilih untuk tidur di tangga. Tanganku merogoh ransel hitamku, mencari sesuatu yang solid, dingin dan beralur, kunci kamarku.
Mataku yang hanya tinggal satu centi lagi terbuka, mencoba fokus mencari letak pintu kamarku dari deretan pintu, dan ketika fokusku berangsur jelas, aku melihat Vivian berdiri di sana.
"Eh, Vivian." Aku tersenyum salah tingkah sambil menggaruk kepalaku, mendapati Vivian yang menatapku serius. Sebenarnya aku merasa tidak enak karena tak sempat menghubunginya kembali dan membalas sms-nya. Kupikir berbicara langsung akan lebih efektif.
"Annora ..." Vivian menatap atas bawah. Seolah menatap sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Aku hanya mengerutkan alis melihat tingkah lakunya. Sambil memutar kunci pintu yang ternyata tak terkunci, aku langsung mendorong pintu itu dan masuk tanpa menunggu Vivian. Mata dan tubuhku sudah tak mau kompromi lagi.
"Aku akan menceritakan semuanya, ok." Jawabku lemas, sambil mulai membuka sepatuku dengan menginjaknya, dan mengaitkan jaketku di belakang pintu.
"Siapa pria yang tadi mengantarmu, Annora?" pertanyaan to-the-point Vivian seketika membuatku menahan napas.
"Reyno." Jawabku lugas, lalu menghela. Dan kali ini Vivian menjatuhkan belanjaanya. Aku menoleh menatap Vivian bingung.
"Tak seperti yang kau pikirkan, ok?" kataku lagi sambil menatapnya dan merebahkan diri terlentang ke atas kasur. Lalu menghela panjang dan menggeliat nyaman. Aku mulai menganggap reaksi Vivian agak berlebihan, entah kenapa.
"Annora ..." Vivian berjalan mendekati dan duduk di sampingku.
"Kau harus menceritakan semuanya!" Lagi-lagi ia menatapku serius."I-iya tentu saja ..." Aku masih tak mengerti maksudnya. "Tapi berikan aku waktu sebentar." Aku menguap. "Aku benar-benar ngantuk sekali." Lanjutku sambil memeluk guling, dan mulai memejamkan mata. Meninggalkan Vivian yang masih tampak terkejut.
"Ah! lagi-lagi begini ..." Vivian mengerutkan alisnya sambil membuat gerakan akan mengetuk kepalaku.
Ia lalu menghela menatap kebawah lalu menatapku lagi.
Bagaimana bisa, kau dan orang itu ...?
Vivian menggigit bibirnya, sambil mengerenyit.
Kau benar-benar tak tahu apa yang kau lakukan, Annora ...!***
Aku terbangun ketika aroma masakan Vivian mendadak memenuhi seluruh ruangan. Aku sempat megap-megap mencari oksigen.
"Haiss!! kau masak apa Vivian?!" aku menutup hidungku sambil sebelah tanganku mengibas-ngibaskan kepulan asap. Kantukku pun seketika hilang.
"Loh, kau sudah bangun? sini bantuin aku!" Vivian berteriak dari sudut kanan dapur. Ketika aku akhirnya beranjak bangun dan mulai membuka jendela kamar, membiarkan sirkulasi udara berganti.
Aku sempat mengambil napas dalam lalu melepasnya lagi. Aroma cabai yang disangrai memang sangat menyengat. Aku sempat terbatuk beberapa kali.
Walau kuakui, ada harum yang menggiurkan di baliknya."Selamat makan ..." Vivian memutar-mutar kedua sumpitnya di tengah kedua telapak tangannya.
"Hmm, aromanya menggoda." Kataku sambil menghirup dan menatap kagum pada semangkuk curry ramen buatan Vivian.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST ONE BELIEVE (complete)
RomansaHampir setahun lebih Annora terkungkung dengan masa lalu dan mimpi buruk. Dan karena rasa frustasi untuk berusaha lepas dari dilema itu, akhirnya ia memilih untuk pergi menjauh dan hidup seorang diri. Belajar dan bekerja dilakoninya sekaligus. Ia be...