Selamat membaca para readers ku:*
***
Aku punya seorang adik laki laki, umurnya berbeda setahun denganku. Aku sangat menyayanginya, sangat sangat menyayanginya.
Aku menyayanginya lebih dari nyawaku sendiri. Betapa menyesalnya aku karena aku tidak bisa menjaga dia.
Aku mencarinya, tak henti hentinya sampai 11 tahun berlalu dengan cepat. Aku hanya ingin meminta maaf karena tidak bisa menjaganya dengan baik. Dengan harapan dia akan memaafkanku.
Aku pikir, dia telah menjadi bintang dilangit. Tapi ternyata, dia masih ada didunia ini, bersamaku. Aku bertemu dengannya dirental novel.
Dia tampan, sangat sangat tampan. Aku ingin sekali memeluknya, aku sangat merindukannya. Aku yang selalu memanjakannya dan mengalah demi dirinya. Bahkan aku sendiri tidak pernah bahagia, asal dia bahagia aku sendiri pasti akan bahagia. Segalanya....segalanya aku berikan untuknya.
Bahkan aku merubah diriku menjadi bukan diriku hanya untuknya. Penyesalan terbesarku adalah aku yang tidak bisa menjaga adik kesayanganku.
Bolehkah aku jujur, sejak kehilangan adikku, aku kesepian. Walau banyak yang memujaku, aku tetap merasa kesepian, dan jarang tersenyum. Senyuman yang kutampilkan hanya senyuman palsu untuk menutupi luka dihatiku.
Luka yang seakan tidak pernah sembuh dan selalu menetap dan melebar didalam diriku. Pertama kali aku tersenyum tulus adalah saat aku menemani adikku.
Adikku yang curhat padaku tentang kehidupannya. Saat aku bertemu dengannya, lagi lagi aku diselimuti rasa takut, kecewa, dan sedih. Takut bahwa dia akan membenciku, kecewa pada diriku sendiri yang tidak bisa menjaganya, dan sedih jika dia tidak mengakuiku sebagai kakaknya.
Karena kakaknya adalah seorang perempuan feminim, bukan perempuan yang setiap hari selalu berpenampilan layaknya laki laki.
Aku selalu menangis diam diam. Menangisi adikku yang telah lama pergi meninggalkanku. Aku takut seandainya ada orang yang merasakan kesedihanku, aku merasa seakan diriku hanya beban mereka.
Aku mencarinya, dan ketika tidak menemukannya, aku menangis. Cengeng sekali kamu, Milo Realino.
Dokter menangani Milo. Menyuntikkan obat penenang sehingga Milo tertidur. Lalu dokter itu mengoleskan antiseptik dan bermacam macam obat agar lukanya berhenti berdarah dan tidak infeksi lalu kembali memperban luka itu dengan rapih dan hati hati.
Dokter bernama Stevan itu keluar dari ruangan itu dan menemui Visco dan Ranz. "Maaf, yang mana yang keluarga pasien?"
Ranz dan Visco langsung bangkit.
Dokter itu tersenyum ramah. "Pasien tidak apa apa. Lukanya sudah saya berikan beberapa obat agar tidak infeksi. Hanya saja, sejak kapan dia mengalami depresi berat begini? Harusnya dia dibawa untuk konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Antidepresan hanya alat bantu sementara. Dia harus dirawat untuk pencegahan, takutnya dia mencoba bunuh diri dan melukai dirinya lagi."
Ranz menunduk. Visco menatap pintu ruangan Milo yang sedang tertutup. "Jadi, kapan dia bisa bangun?"
"Mungkin beberapa jam lagi. Dan saya minta kalau ada yang mau masuk, tolong satu satu, jangan sampai pasien terganggu." dokter itu tersenyum lalu pergi.
Visco dan Ranz duduk dideretan bangku didepan ruangan itu. Milo memakai pakaian pasien, dan alat bantu pernapasan yang terpasang karena nafasnya tidak beraturan. Ditambah lagi bekas suntikannya.
"Kamu ga mau masuk?" tanya Ranz pada Visco yang masih menunduk.
"Kakak ga mau masuk duluan?" Visco balik bertanya.
"Kamu duluan aja. Aku mau kabarin mama sama papa dulu."
Visco mengangguk lalu dia bangkit dan masuk keruangan itu. Dia duduk dibangku putih disebelah brankar Milo.
Visco menggenggam telapak tangan Milo yang terasa dingin. "Kakak...."
Visco mencium punggung tangan Milo. "Maafin Visco ya? Visco ga sengaja ngomong kayak gitu sama kakak. Ga peduli kakak cewek atau cowok, kakak tetep kakak kesayangannya Visco."
Air matanya menetes lagi, mengalir cepat dan membasahi pipinya. Lalu menetes kepunggung tangan Milo. "Kakak ga perlu merasa bersalah. Kakak ga salah. 'Kakak aku perempuan, bukan laki laki' ucapan itu yang bikin kakak begini, kan? Visco ga sengaja ngomong kayak gitu sama kakak."
"Visco ga tau kalau selama ini kakak yang menderita. Maafin Visco, tadi mama sama papa udah cerita sama Visco. Kakak mau bangun kan? Bangun buat meluk Visco? Visco ga akan marah sama kakak. Visco ga akan maksa kakak buat jadi feminim kalau kakak emang ga suka." Visco menangis, lagi.
Dia mengusap pipi Milo yang lembut. Bibir gadis tomboy itu pucat, mungkin karena dia kehilangan banyak darah ditambah rasa sakit karena depresi yang dia alami.
Depresi yang sudah mencapai tingkat berat dan hanya bisa disembuhkan dengan kebahagiaan, dan bantuan keluarga.
Visco mengusap rambut abu abu Milo. Rambut yang mengubah segalanya. Visco mengecup lembut kening kakaknya sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan itu dengan menunduk dan duduk disamping Ranz.
"Udah?" tanya Ranz dengan nada lembut.
Visco mengangguk pelan, masih menunduk. Visco menatap kalungnya, kalung yang sama dengan milik Milo. Milo selalu memakai kalung itu, bahkan dia hampir mati tenggelam demi mencari kalung itu saat kalung itu terlempar kepantai waktu itu.
Sayangnya, Visco tidak tau akan hal itu. Yang tau hanya Ranz dan Milo.
***
How? Ga seru? Sorry:)
Semoga masih setia nungguin kelanjutannya:)
Masih semangat gak? Aku aja masih semangat buat nulis kelanjutannya demi kalian:)
Bagi bintangnya dong:*Stay tune buat next chapter, ya?
Baca karyaku yang lain juga:)
Salam, Slvnhng

KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] FAKE BOY
Novela Juvenil(COMPLETED) Tentang seorang gadis tomboy yang memulai hidup baru sebagai laki-laki