Bagian Tiga Belas : Terimakasih, Ali!

3.2K 274 0
                                    

Happy Reading

Lima belas menit yang lalu rambut Prilly masih terlihat basah dan terurai rapi, tapi lima belas menit setelahnya rambut itu berubah menjadi kering dan berantakan, persis seperti rambut singa. Prilly yang sebal melihat rambutnya terbawa angin kesana-kemari, sontak menarik rambutnya lalu di satukan menggunakan karet gelas secara asal.

Selama itu pula Prilly berdiri di depan pintu gerbang SMA Clever sambil menenteng rantang plastik berisi sarapan yang di buatkan Talita untuknya. Ditambah satu porsi untuk Nichol dan satu porsi untuk Ali, yang akan di balik hak kepunyaan oleh Prilly. Dia rasa hanya Nichol yang perlu diberi hadiah sarapan pagi setelah berhasil membantunya mengalahkan Ali di ulangan matematika kemarin. Sedangkan Ali, Prilly rasa uang cowok itu tidak akan habis kalau hanya untuk membeli satu porsi nasi kuning dan satu potong dada ayam bakar pagi ini.

Prilly mengusap perutnya yang mulai keroncongan, ternyata menunggu Nichol memakan banyak kalori walaupun hanya berdiri sambil menghitung siswa yang datang terlambat hari ini.

Pak Maman, sebagai penjaga gerbang sekolah sudah sampai tiga kali bertanya mengapa Prilly tak kunjung masuk ke dalam kelasnya. Dan sebanyak itu pula Prilly menjawab, "Pak Maman diam aja deh, nanti aku kasih jatah makanannya Ali buat bapak."  begitu omelnya yang membuat Pak Maman mengacungkan dua ibu jarinya.

Sampai akhirnya sebuah sinar yang terpantulkan dari kaca mobil menyilaukan penglihatan Prilly, reflek kelopak matanya pun mengatup sempurna, menyatukan antara bulu mata atas dan bawahnya.

Prilly mengerjap-ngerjapkan mata, pandangannya sedikit kabur setelah mendapat serangan sinar ultraviolet secara mendadak tanpa persiapan. Lalu, setelah membuka mata, pemandangan yang pertama kali Prilly lihat adalah sebuah mata bulat dan hitam, juga alis mata setebal arang, berada satu garis lurus dengan posisinya. Karena terkejut diapun beringsut mundur satu langkah dari tempatnya, mencoba menciptakan jarak yang lebih realistis antara dirinya dan Ali.

Ali memiringkan wajahnya sedikit, untuk memastikan mata hazel Prilly tepat terperangkap dalam mata hitam legamnya, "Cewek itu kodratnya ditunggu bukan menunggu."

Lagi, Prilly termangu mendengar ungkapan Ali yang terkesan merendahkan secara tiba-tiba itu. Cowok ini memang sangat suka membuat jantung Prilly berdegup, berdegupan kebencian tentunya.

"Repot-repot lagi sama paman," lalu Ali merebut rantang plastik yang masih di genggam erat oleh Prilly, sampai rantang itu beralih dalam genggamnya.

Prilly pun tersadar dari mode termangunya, "Ini bukan buat lo!" diapun merebut kembali rantang miliknya.

"Terus buat siapa?" Ali tak mau kalah untuk memiliki rantang tersebut. Dengan sedikit hembusan angin saja sudah tercium wangi masakan khas rumahan dari dalam rantang tersebut, apa lagi kalau Ali mencicipi satu persatu masakannya. Setidaknya itu akan sedikit mengobati rasa rindunya pada suasana rumah.

"Buat cowok gue lah," Prilly berhasil merampas kembali rantang miliknya.

Ali diam sesaat, raut wajahnya menggambarkan bahwa dia sedang berpikir. Ternyata yang di pikirkan Ali adalah seberapa hebatnya pacar keponakannya ini.

"Putusin sekarang!"

"Apa hak lo ngatur gue?"

"Gue kasihan sama Nichol," raut wajah Ali sudah berubah prihatin.

"Lah, kok Nichol?" Prilly menyebut nama sahabatnya dengan penuh kebingungan.

"Gue kasihan, pasti Nichol banyak berkorban dan berjuang demi cewek kayak lo, yang menurut gue itu sia-sia. Cewek kayak lo, gak pantes buat di perjuangin. Lo kan lebih biasa berjuang sendiri dari pada di perjuangin," dengan santainya Ali membuat rasa malu di hati Prilly. Malu yang sudah cewek itu anggap sebagi sahabat sejatinya mulai saat ini.

"Omongan lo lebih pedas ya, dari pada mulut-mulut netizen!" hardik Prilly, membuat Ali tertawa samar. "Kalaupun Nichol cowok gue, harusnya dia beruntung punya pasangan cantik dan berkelas kayak gue. Tapi sayangnya, gue sama si cowok sok perfect itu hanya sebatas temanan bukan demenan. Puas?" saat mengatakannya alis mata Prilly reflek terangkat naik.

"Baguslah, lo gak boleh melangkahi gue. Gue ini paman lo, jadi kalau lo mau pacaran, harus nunggu gue sampai punya anak,"

Merasa perbincangan nya dengan Ali tak berujung benar, Prilly menepis tangannya di depan wajah seraya berkata, "Ngelantur lo!"

"Gue kira kita bakalan ada di zona relationship uncle and soon kayak di novel-novel, tapi kelihatannya lo sama sekali gak tertarik sama gue," ucapan Ali terasa hambar dan tidak bernada, tapi Prilly rasa cowok itu sedang membicarakan sikapnya yang berubah di satu hari setelah pertemuan di kedai Mang Hamid. "Malah kelihatannya lo benci sama gue." tuturnya.

"Bagus, deh kalau lo sadar sendiri. Jadi gue gak perlu repot-repot, jelasin kalau gue benci sama lo. Tapi realitanya, you is my uncle, gue gak bisa terima, sih tapi gue anggap aja lo sebagai hama dan sebentar lagi bisa gue musnahkan." ucapan Prilly luar biasa berefeknya pada diri Ali, cowok itu tersenyum miris mendengar penghakiman dari keponakan yang baru di kenalnya itu.

"Oh jadi lo simpanannya mang Hamid?"

Tak!

Prilly menyentil dahi Ali sebelum cowok itu berhasil melontarkan tuduhan lain terhadapnya. Sampai dahi itu memerah dan pemiliknya meringis, Prilly enggan meminta maaf atas kesalahannya. Menurut cewek itu, kesalahan Ali jauh lebih besar di bandingkan kesalahnnya yang dia perbuat. Dengan kata lain, Ali sudah mematikan jalan rezeki mang Hamid di SMA Clever yang membuat Prilly tidak suka terhadapnya.

"Kalau ngomong asal mangap aja. Lo kira gue doyan apa sama om-om kayak gitu!" sentak Prilly, Ali pun tertawa keras. "Gue udah kenal mang Hamid sebelum lo, mang Hamid udah gue anggap sebagai saudara gue sendiri. Jadi dengan cara lo bilang ke bu Fani soal mang Hamid yang bantu lo ngisi perut. Itu sama aja lo ambil rezeki mang Hamid di sekolah ini! Termasuk ngambil jatah makanan favorit gue disini!" lurusnya.

Setelah berhenti tertawa, Ali pun merogoh ponselnya di dalam kantong celana, lalu menekan kursor ponsel tersebut.

Layar ponsel itu di pampangkan sempurna di depan wajah Prilly, terlihat gambar seorang pria dewasa bersanding dengan seorang wanita dewasa pula, di tengah mereka berjejer tiga orang anak manis tengah bergaya kekinian.

Prilly merengut, menyadari bahwa yang Ali tampakkan itu adalah keluarga mang Hamid, tengah berdiri di sebuah rumah mewah dengan istri dan anaknya. Prilly pernah melihat istri dan anak mang Hamid, saat mang Hamid sengaja memberi selembar foto keluarganya pada Prilly. Dari situ Prilly bisa menilai, betapa pentingnya mengidupi keluarga bagi mang Hamid. Karena itu juga Prilly sangat marah dan benci ketika tahu Mang Hamid di keluarkan dari kedai kantin, sebab Ali yang mengadu.

"Ma-Mang Hamid?" ujar Prilly tergugu.

"Ya, simpanan lo aman,"

Tak!

Dan lagi, Ali di hadiahi sentilan maut oleh Prilly. "Mulut lo gak usah mangap, bikin orang dosa aja!" hardiknya.

"Ini cara lo berterima kasih?" Ali bertanya seraya mengelus dahinya yang masih memerah.

"Bukan, itu hukuman karena lo udah mencemari nama baik gue pagi ini," jelas Prilly, "Dan ini, ucapan terima kasih gue." diapun menyodorkan rantang makanan bagian paling atas pada Ali, yang sudah Prilly janjikan pada pak Maman. Namun sepertinya cewek itu lupa akan janjinya pada penjaga pintu gerbang sekolah itu.

Dengan santai Prilly melegang sumringah mendengar mang Hamid beserta keluarganya baik-baik saja, juga tetap mendapat pekerjaan yang lain. Apalagi sekarang, mereka sudah tinggal bersama. Tak bisa Prilly pungkiri, kalau itu berkat kebaikan Ali yang mau memberi merwka pekerjaan dan menampung mereka berlima. Dibalik senyumnya Prilly berucap banyak terimakasih kepada Ali.

25, Sep 2018

Someone In The World Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang