Bagian Lima Belas : Don't Let Me Go

3.1K 252 1
                                    

Happy Reading


Sebuah ruangan bercat putih di hiasi beberapa ornamen bunga tulip, turut menyaksikan kehadiran Ali yang sudah terduduk berhadapan dengan Rudy. Beberapa lampu neon pun ikut menerangi wajah keduanya, terlebih lagi menyorot wajah Ali yang nampak kacau hari ini. Lingkaran hitam dan mata berkaca-kaca sisa tangisnya, terlihat jelas bahwa saat ini keadaan Ali sedang tidak baik.

Bagaimana mungkin bisa dikatakan baik seperti anak seusianya, untuk berpikir tenang saja pun batinnya secara lantang menolak, yang ada hanya rasa takut dan cemas bergumul menjadi satu di setiap harinya.

Ali ingin terbang bebas, namun kebebasan itu tak lantas membuatnya bahagia ketika keadaan memaksanya untuk tetap berada di dalam sangkar. Dingin dan gelap. Begitulah perasaan Ali saat ini, setelah mengetahui kondisi jantung Sesil mulai memperburuk sistem syaraf wanita tersebut.

"Apa yang akan kamu lakukan, Li?" Rudy meletakkan tangannya yang sudah saling bertautan antara jari kiri dan kanan di atas meja, "Om sudah membantu sebisa om. Saat ini semua tergantung pada keberuntungan ibu kamu," cowok berkacamata itu nampak menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya, "Om sudah nggak bisa melakukan yang lebih apa yang om lakukan selama ini. Karena itu bisa saja buat ibu kamu lebih sakit dari sebelumnya. Maafkan Om, Om harap kamu bisa mengerti."

Ucapan Rudy membuat Ali nampak lebih tegang dari sebelumnya, seperti tamparan keras bagi cowok itu. Diapun mengusap wajahnya gusar sebelum berkata, "Om kan udah lama jadi dokter, masa ngurusin mamah saya aja om gak bisa? Sedangkan om bisa sembuhin orang-orang yang sama sekali gak om kenal!"

Rudy paham betul apa yang di rasakan oleh anak dari sahabatnya ini. Jadi, pria itu sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Ali barusan, pria dua puluh delapan tahun itu jutru merasa iba atas kondisi Ali yang sudah seperti orang kehilangan akal sehatnya.

Rudy, sebagai teman dari ayahnya, bisa merasakan apa yang keponakannya itu rasakan. Bahkan dia bisa melihat kerapuhan ketika Ali menjatuhkan bokongnya pada sandaran bangku, seakan cowok itu sudah pasrah tentang takdir yang di tuliskan Tuhan untuknya. Sebab, tak semua takdir bisa diubah, termasuk jodoh, rezeki dan matinya seseorang.

Tangan Rudy terulur panjang, menyalurkan kekuatan dalam bentuk sentuhan. Kemudian mulutnya terbuka, "Apapun yang terjadi nanti, kamu harus tetap menjalani kehidupan kamu dengan baik. Tanpa atau adanya ibu di kehidupan kamu di dunia ini, kamu juga harus percaya kalau ibu kamu akan selalu ada di suatu tempat yang mungkin gak kamu ketahui. Nggaak semua orang ketahui." mata Rudy sebinar, sedangkan Ali menatapnya nanar.

Sebab, Rudy berkata seolah Sesil tidak akan hidup kembali bersamanya yang bahkan dalam benak Ali wanita itu akan membuatkan menu saran pagi yang lejat dalam jumlah yang banyak untuk menyambut kehadirannya lagi.

Tapi ucapan Rudy membuat semua angan Ali kabur satu persatu, yang tinggal hanyalah rasa takut dan sendirian. Yang membuatnya menyebalkan, tanpa di sadari hatinya ikut membenakan ucapan Rudy tadi.

Rudy menyodorkan selembar kertas tertutup map merah sebelum dia buka dan menerangkan isinya, Rudy nempak gelisah sesaat melihat wajah Ali yang kian kacau.

"Ini amanat ibu kamu, Li," ragu-ragu Rudy akhirnya membuka mulut juga, "Om, gak berhak menyembunyikan ini dari kamu. Kamu anak Sesil satu-satunya, kamu berhak tahu apa yang akan di lakukan ibumu setelah ini." lanjutnya.

Tangan Ali bergetar setelah setengah jalan membaca isi selembar kertas putih yang di goresi tinta hitam itu. Tanpa di sadari, matanyapun ikut memerah dan berembun, persis seperti kaca yang mau pecah.

"A-apa ini?"

"Om, sudah melarang. Om, tahu kamu pasti enggak setuju. Tapi, itu keputusan ibu kamu, sebelum kamu sampai disini."

Tangan Ali lantas mengepal bersamaan dengan rahangnya yang entak sejak kapan mulai mengeras. Menyesali apa yang sudah terjadi Ali justru beranjak tanpa berucap sepatah katapun.

Pintu di banting dengan kuat, menimbulkan decitan terhebat sepanjang masa satu minggu ini. Lantas melenyapkan Ali yang keluar melaluinya.

Ali membungkus jalanan menggunakan langkahnya yang tergolong cepat. Entah kemana arah ingin membawanya, tapi yang tertuju adalah sebuah ruangan senyi tanpa kehidupan, kamar mandi.

Disana nampak sepi, busa di bilang sangat sepi. Jika biasanya ada barang satu atau dua orang yang melintas untuk membuat hajat atau sekedar bercermin, kali ini dunia ikut setuju tentang apa yang saat ini sedang bergelayut dalam benak Ali. Sebuah kegelapan, kesepian, hening tanpa seorangpun yang bisa di jadikan sebagai sandaran.

Tanpa sadar, buku-buku tangan Ali sudah memutih sempurna. Rupanya sejak tadi cowok itu menyalurkan rasa kesalnya pada wastafel. Ali mencengkeram ujungnya lebih kuat lagi, itu cara dia untuk menyalurkan egonya yang sudah sulit terkendali.

"Arghh!!" Ali mengerang frustasi, yang hanya busa di tenangkan oleh suara air jernih mengalir dari lubang keran air, untuk kemudian Ali tangkup sampai tangannya penuh, lalu membasuh wajahnya yang kusut menggunakan air tersebut.

Rasa dingin langsung menyelusup kedalam tubuh Ali, melalui pori-pori wajahnya uang membesar. Ali memandang pantulan bayangannya di depan cermin besar, nampak bertambah buruk dengan lingkaran hitam yang kontras dengan warna jika matanya.

Hidung, adalah satu-satunya alat indera Ali yang tidak rusak selama satu tahun belakangan ini. Selama itu, selain kantung mata, wajah kusam, dan bibir pucat, hidung lah yang paling sehat saat ini.

"Apa benar, ditinggalkan bukan berarti kehilangan?" seraya berkata demikian, tubuh Ali melorot dengan sendirinya. Terduduk lesuh, terdiam bisu, merasakan dinginnya lantai kamar mandi seakan ikut memberkati kesepian harinya setelah ini.

***

Dari sudut lain, sebuah lampu berkepala empat siap untuk malaksanakan tugasnya. Sebagaimana mestinya, seorang dokter telah tiba menggunakan jubah biru kebanggaannya, juga beberapa suster yang sukarela membantu lengkap dengan masker karet menempel di wajah masing-masing.

Semuanya mengangkat tangan yang sudah terbalut handscoon, terus begitu beberapa saat sampai sang dokter memberi kode untuk segera memulai pekerjaannya.

Dalam hitungan ketiga pintu ruang operasi tertutup sempurna. Dengan hati yang berselaput kecemasan, dua lelaki itu terduduk resah di bangku penunggu. Beberapa doa telah mereka panjatkan, semoga semuanya berjalan dengan lancar, itulah yang di inginkan.

Nichol memandang ayahnya yang sejak tadi menekuk wajahnya dalam balutan kecemasan. Tanpa sadar tangannya terjulur halus sepenuh hati lalu menggenggam tangan rentan milik Ayahnya.

Dimas tersadar ketika sebuah hawa hangat beradu dengan tangannya yang dingin dan memucat, kemudian di tangan yang lainnya menggenggam punggung tangan puteranya itu.

"Semua akan baik-baik, saja," teguh Nichol, seraya berhambur dalam pukulan Dimas.

***

Weekend!!!!
Perjuangan banget ngelanjutin part ini yang sempet eror tiba-tiba hilang sendiri, hiks.
Sempet frustasi juga karena susah buat selesain part ini. Jujur, aku tipe orang yang kalau udah kehapus ceritanya susah buat bayangin lagi moment yang ada di part itu😢

So, maaf nunggu lama. Semoga part ini gak mengecewakan.

30, Sep 2018

Someone In The World Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang