Happy Reading Again!
Setelah menerima sambungan dari Rudy, Ali tak langsung menempelkan benda pipih itu pada daun telinganya. Dalam hatinya masih bergejolak tentang beberapa opini, kecemasan, dan rasa takut akan kesepian yang akan dia hadapi di haru berikutnya. Walaupun Ali sudah terbiasa sendiri selama kurang lebih satu tahun ini, tapi tak bisa Ali pungkuri jika kehilangan Sesil akan menambah kadar kesepiannya lagi.
Tak punya keluarga. Tak punya dinding untuk berlindung. Tak punya bahu untuk bersandar kala dunia menghukumnya menjadi seseorang yang lemah dan penuh beban. Ali ingin memutar waktu, tapi ketika matanya terpejam, kejadian nahas itu yang justru muncul dan membayang-bayanginya samapi saat ini.
Dengan tangan bergetar Ali menempelkan ponselnya pada daun telinga. Masih dalam posisi yang sama, terduduk di lantai kamar mandi, Ali bisa mendengar suara parau milik Rudy. Entah terisak, entah khawatir, entah ketakutan, Ali mendengar ritme itu dalam satu dengungan yang membuat telinganya sakit sampai harus mengeluarkan air mata akibatnya.
"Cepat kesini, ini saat terakhir ibumu akan menutup mata," jerit Rudy dari kutub sana.
Ali bergeming, tangannya yang lain sontak meremas dada hingga menimbulkan kerutan absurd pada baju seragam yang dia kenakan.
Rasanya dua batu itu terlalu ingin berdekatan, sehingga dada Ali lah yang menjadi korban. Terhimpit dan merasa sesak. Hati Ali tiba-tiba mencelus, seakan lumpur penghisap menarik paksa tubuhnya, Ali tak dapat bergerak dan bersuara. Keadaan yang hening membuat air matanya jatuh satu persatu, di ikuti dengan yang lain setelahnya.
"Hallo, Ali? Kamu masih disana?"
Suara Rudy dia abaikan. Tangannya tak kuasa lagi menahan beban walau sekecil debu sekalipun. Hal itu mengakibatkan ponselnya terjatuh mencium lantai, terdengar dentingan nyaring yang di timbulkan oleh case ponsel tersebut.
Ali meringis, memeluk lututnya sendiri, meratapi kesedihannya seorang diri. Lantas, wajahnya yang tertekuk dan sudah memerah padah, dia sembunyikan di balik lipatan lutut. Bahunya naik-turun, tanpa suara tangisan yang jelas itu membuat mereka yang mendengar ikut merasa iba.
Lagi, ponselnya yang berdering di atas lantai membuncah keheningan di dalam kamar mandi tersebut. Ali mengangkat kepalanya, menemukan nama Rudy lagi-lagi berjejer rapih dalam layar ponselnya.
Dengan wajah yang kacau, Ali lantas berlari tanpa memperdulikan sambungan dari Rudy. Seperti orang kesetanan, Ali tak perduli ketika bahunya menabrak bahu orang lain hingga meringis. Cewek itu menoleh menatap Ali bingung sebelum dia melihat tetesan air mata yang jatuh ke atas lantai saat Ali berlari, cewek itu berbalik menatap Ali iba seraya mengusap bahunya yang terasa berdenyut.
Tujuan pertama Ali adalah sebuah pintu lift yang tinggal beberapa langkah lagi akan dia gapai. Dan pintu lift itu masih tertutup sempurna ketika Ali sampai di depannya membuat dia mengerang frustasi, menekan tombol di sampingnya agar lift segera terbuka. Namun nihil, apa yang dia lakukan tak kunjung membuat lift tersebut terbuka dengan cepat.
Tapi tak henti-henti Ali melakukan hal itu, sampai mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya yang tengah berlalu lalang, dan lift pun terbuka lebar menampakkan tiga orang di dalamnya, Ali lantas menerobos masuk.
Dengan melakukan hal yang sama, tubuh Ali yang mulai merapuh terus menekan tombol lift, kali ini agar lift cepat tertutup dan dia segera sampai di ruangan Sesil.
Ali tak mau menyesal karena tidak melihat Sesil untuk yang terakhir kalinya. Sebab Ali tahu, kematian akan memisahkannya dengan Sesil untuk selamanya. Ali ingin melihat wajahnya tersenyum barang hanya satu detik, dia memanjatkan doa agar Sesil di beri kekuatan sampai dia hadir di sisinya.
Pintu lift berdenting tanda akan tertutup dan lift akan segera meluncur. Ali lantas tertunduk rapuh, bahunya naik-turun dalam ritme yang tak beraturan. Menjelaskan pada tiga orang di belakangnya bahwa dia sedang di landa kesedihan, dan kali ini dia sedang menahan bebannya sendiri.
Lewat tangisan, Ali merasa sebagian bebannya pergi. Bahkan dia bisa merasakan sebuah uluran tangan yang berhasil menghangatkan hatinya sendiri.
Cewek berseragam serba putih lengkap dengan cap one made di atas kepalanya itupun menepuk punggung Ali sebanyak tiga kali tanpa berucap sepatah katapun, hanya untuk sekedar mengurangi rasa sedih yang sedang cowok itu rasakan. Begitu beberapa saat, sampai akhirnya pintu lift terbuka dan Ali lantas menerobos keluar dengan kecepatan kilat.
Setelah sampai di depan bangsal Sesil, Ali merasa langkahnya semakin berat. Ada beberapa hal yang membuatnya enggan melanjutkan langkahnya lagi, salah satunya adalah rasa takut. Takut melihat Sesil dalam keadaan sekarat.
Tanganya sudah terulur menggenggam kuat-kuat knop pintu yang terasa sangat dingin. Bersama sisa air matanya, Ali menguatkan diri untuk membuka pintu tinggi menjulang tersebut dengan sisa tenaga yang dia miliki.
Pintu terbuka menampakkan beberapa suster tengah bekerja sesuai tugasnya, tentu saja atas seizin dokter yang berjaga. Disana Ali melihat Rudy sedang tertunduk sama rapuhnya dengan dia, mengamati tiga anak buahnya yang bekerja melepas satu persatu alat yang menempel pada tubuh Sesil.
"Om," lirih Ali. Suaranya sudah parau dan seakan tak percaya mengundang Rudy untuk menoleh lalu mendekat dengan wajah sendu.
Ali hampir saja melangkah mundur berharap bisa sedikit mengurangi rasa sesaknya kali ini, bahkan ajakan Rudy untuk mendekat pun Ali tepis dengan kasar.
"Kenapa? Aku udah bayar tagihan rumah sakit, Om," tegasnya namun tak dapat di sembunyikan kerapuhan itu dari suaranya. "Aku bisa bayar semuanya, PASANG LAGI!" Ali menjerit tak karuan hingga Rudy terpejam perih mendengar dengungannya.
"Ali, kamu harus ikhlas." bujuk Rudy.
"Ikhlas?" dia tersenyum miris, "Ikhlas untuk apa? Mamah saya itu masih hidup, Om, justru kalian yang membunuh dia. KALIAN YANG MEMBUNUH DIA!" derai air mata tak bisa lagi di sembunyikan olehnya, Rudy membiarkan Ali mengumpat sesuka hatinya sebab Rudy bisa mengerti dan Rudy bisa memahami.
Ali membuat langkahnya terlihat cepat mendekati bangsal Sesil, "Mah," lalu memeluknya erat.
Tangisnya pecah, membuat tiga suster itu menghentikan pekerjaannya dan tertarik untuk menengok keluarga pasien yang sedang meratapi kepergian anggota keluarganya.
Rudy mematung di tempatnya, begitu pula dengan tiga suster tersebut. Hari ini, dia rasa profesinya sebagai dokter patut di pertanyakan.
***
Yang bisa dapet feel di bagian ini, komen di bawah yaa:) see you bext, chap!
30, Sep 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone In The World
Fanfiction[Complited] #183 in fanfaction (1-11-2018) #171 in fanfaction (2-11-2018) #79 in fanfaction (3-11-2018) Sebuah perjalanan tentang kisah klasik, tentang mereka yang terluka. Namun, memiliki tujuan untuk bahagia.