Bagian Dua Puluh Tujuh : Perang Dimulai

2.4K 202 2
                                    

Hari-hari berikutnya, Ali dan Nichol sering kali terlibat perang dingin. Ingin saling mendahului, saling memenangkan bahkan bersaing untuk mendapat kepopuleran, itu beberapa fakta yang menyatakan bahwa mereka sedang dalam masa perang dingin.

Mereka yang tidak tahu asal muasal perdebatan itu terjadi mungkin akan memandang keduanya aneh dan kenak-kanakan, termasuk Amanda yang sering kali di landa kebingungan hingga kepalanya berulang kali bergeleng.

Tapi Prilly yang mengetahui kapan bara api itu berkobar, justru memandang keduanya prihatin disusul rasa khawatir yang mendalam. Bagaimana jika mereka melakukan lebih dari ini? Prilly tidak habis pikir jika benar terjadi.

Selayaknya hari ini, Prilly duduk berhadapan dengan mereka berdua--Ali dan Nichol-- atas kehendak bu Sekar yang lima menit lalu telah menggunakan hak kuasanya untuk memilih kelompok tugas hari ini.

Bukan hanya mereka bertiga, keberuntungan itu masih mengitari Prilly, Amanda di tunjuk sebagai bagian dari kelompoknya juga. Sujud syukur Prilly tidak akan mati berdiri akibat hawa panas yang terus berkobar di antara Ali dan juga Nichol.

Bu Sekar membanting lembar kerja pada setiap anak, mulutnya masih enggan berhenti mengoceh, di kontraskan dengan wajah yang dia pasang garang. Meskipun begitu, sebagian anak yang tengah berperang menahan rasa kesalnya pada sang guru yang tiba-tiba masuk, memukul papan tulis dengan penghapus dan sekarang tugas kelompok pula.

"Kalian ibu bagi kelompok untuk mengerjakan bersama," langkahnya mendekat ke arah bangku kelompok Prilly, "Bukan terima beres." penekanan pada kalimat itu terdengar jelas, membuat telinga Prilly memerah akibat dia tahu bahwa bu Sekar bermaksud memperingatinya secara halus, tidak individual.

Namun sebab itulah Prilly merasa tersudut, akibat ucapan bu Sekar barusan Prilly merasa guru matematika itu tengah membicarakannya secara tidak langsung.

Amanda melongok temannya, mendapati buku-buku jari Prilly memutih akibat cewek itu menggengam bolpoinnya amat kuat.

Matanya bergulir seketika, "Yang jadi pokok omongan bu Sekar, masih tetep sama ya," sekuat tenaga Amanda menahan tawanua agar tidak tersembur setelah menemukan wajah Prilly kian memerah.

"Semakin hari gue makin percaya, kalau ngomongin orang pake kode itu lebih menyakitkan dari pada ngomong to the point," dengus Prilly tak terima. Matanya berputar mengikuti langkah bu Sekar yang sudah sampai di barisan belakang

"Bu Sekar emang perhatian sama lo, banget." tambah Nichol yang sejak tadi menyimak.

"Iya perhatian, setiap ulangan doang matanya jelajahi gue dari atas sampe bawah." Prilly mendumal kesal, merasa dirinya di beri perhatian tidak selayaknya perhatian.

"Bu Sekar nge-fans sama lo, kali." kekeh Amanda.

Prilly menggulirkan matanya jengah, "Iris kuping gue kalau lo bisa buktiin bu Sekar termasuk dalam fans waras versi gue."

Rasa kesal yang berselaput menjadi gugu. Minimal itu yang mampu di jabarkan oleh teman sebangkunya. IQ rendah tak menutup kemungkinan seseorang pandai dalam berbicara lebih tepatnya menjawab peringatan secara hakiki.

Amanda menyedikkan bahu acuh, dibanding menanggapi Prilly, cewek itu lebih memilih menggerakan tangannya yang sudah menggenggam sebuah bolpoin. Dua kalimat nama pun berhasil Amanda ukir dengan indah, tidak lebih buruk dari tulisan Prilly, tulisan Amanda terlihat rapi dan tertata.

Sedangkan Ali masih betah dalam posisinya, bersandar di sandaran bangku, memutar-mutar bolpoinnya, tidak mengerjakan apapun. Itu yang berhasil menyita perhatian Nichol yang sibuk membaca satu persatu soal yang di berikan oleh bu Sekar, sesekali Nichol melirik.

Bu Sekar sudah melewati garis finish dalam tugas membagikan lembar kerjanya pada setiap kelompok, lalu mengambil ancang-ancang ditengah keributan para murid yang mendesah akibat tugas yang diberikan sangatlah susah.

"Perhatian, semua," suara bisingpun perlahan mereda, "Apa setiap kelompok sudah memilih ketua dari kelompoknya?"

Serempak menjawab, "Sudah, bu."

Kelompok Prilly diam, bahkan dia belum sempat melihat siapa-siapa saja yang menjadi bagian dari kelompoknya kali ini. Tentu saja Amanda, Nichol dan Ali akan menjadi partner ideal, lalu dua orang lagi?

"Hai," Bimo melambaikan tangan di sewaktu Prilly kelinglungan mengenali satu persatu wajah kelompoknya.

"Harusnya gue udah tau, kalau dua anggota kelompok gue orang sarap," dia menggerakan telinjuknya secara horizontal di depan dahi beberapa kali.

"Sarap-sarap gini, hanya karna dirimu.." senandung itu berasal dari mulut Nando yang entah sejak kapan tertular virus berlebihan dari Bimo.

Prilly menggidig, disambung oleh suara bu Sekar yang semakin membahana, "Kalau sudah, tulis nama ketua kelompok kalian di lembar paling atas. Karena mereka yang akan bertanggung jawab untuk tugas ini,"

Semua menuruti perintah dari ratu kelas.

"Siapa nih ketuanya, gue gak mau nyalonin takut menang," ditengah temen-temannya sibuk menulis nama ketua kelompok mereka, dalam kelompok Prilly justru tengah terlibat percekcokan antar anggota.

Ali melipat tanganya dengan santai, "Menurut lo siapa yang pantes jadi ketua, selain cowok pinter di sebelah lo?" kata yang di tekankan itu membuat empat yang lain menoleh kearah samping Prilly.

Bola mata Nichol naik satu inci, menatap semua orang bingung dalam keadaan tertunduk.

Hening seketika, sebelum Bimo memiliki inisiatif bertepuk tangan sambil berkata, "Daebak! Profesor Nichol jelas paling pinter di kelompok kita. Terakhir nilai lo paling tinggi di antara kita-kita, dan.." Bimo mengetukan jarinya di bibir bawah, "Bisa gue perhitungkan, kalau Ali juga pinter." kepalanya mangut-mangut, seperti seorang couch di salah satu pencarian bakat.

Prilly berdeham, matanya bertumpu pada wajah Ali yang berlagak sekaligus terdengar sebuah decihan keluar dari mulut Ali. Lalu berputar empat puluh lima derajat, mendapati Nichol masih memasang wajah bingung.

Bu Sekar memberi tadahan, "Ibu ada di ruang rapat kalau ada pertanyaan." selanjutnya terdengar suara sepatu pantofel menjauh, disusul sorak semarai dari mulut para siswa.

Mereka yang merasa merdeka, lantas menaiki bangku sementara tangannya dengan lihai mengibarkan selembar kertas berisi lembar kerja kelompoknya. Persis seperti Bimo yang melakukan aksi demikian.

"Turun bego," sebuah tarikan panjang Nando lakukan pada ujung seragam Bimo yang tidak di masukan, "Bikin malu." matanya sigap menyelisik lingkungan sekitar.

"Malu-malu gini, hanya untuk---

"Masih lo lanjutin lagu itu, berdoa aja besok masih lo bisa ngomong." sebuah ancaman baru saja memciptakan ekspresi penderitaan di wajah Bimo, lalu dengan berat hati Bimo menanggalkan cita-citanya bernyanyi lagu yang minggu-minggu ini sedang hits di kalangan remaja.

Nichol menggeleng, "Untung temen," gumamnya, pelan.

Ali memfokuskan pandangannya pada Nichol yang nampak serius menjelaskan beberapa soal pada Amanda, setelah kepergian bu Sekar masing-masing kelompok berusaha keras untuk menyelesaikan tugasnya sebelum guru itu memasang wajah tarik dua belasnya lagi. Sudah cukup merayakan kepergian guru killer itu, sekarang waktunya serius untuk mempersiapkan masa depan. Tak sedikit siswa memasang wajah seakan berargumen demikian.

Amanda nampak menikmati penjelasan Nichol, ralat bukan penjelasannya yang dinikmati oleh gadis keturunan Milan itu, tetapi sebuah rahang kokoh, bibir ramun dan mata teduh yang selalu menjadi prioritas utama pandangan Amanda bertumpu.

Prilly sempat ingin mengojok Amanda agar berkata jujur pada Nichol sebelum terlambat, tapi dia tahu apa yang akan Amanda katakan sebagai jawabannya nanti. Jadi, cewek itu lebih memilih bungkam dari pada harus mencampuri urusan pribadi temannya.

Prilly sangat mengenal baik Nichol, semua kebiasaannya hampir bisa dia absen satu persatu. Sebab Ali, Prilly harus menerima kenyataan bahwa dirinya sudah menyetujui permintaan pertama, dengan menjauh dari Nichol semoga masalah cepat selesai.

Pandangan Prilly beralih ketika bertabrakan dengan pandangan Nichol yang penuh tanda tanya.

***

12, Oktober 2018

Someone In The World Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang