Sebuah kenyataan baru saja di umumkan tepat dibawah pohon rindang, diatas bangku tua, di temani semilir angin sore dan sebuah penomena alam, matahari yang mulai tenggelam menanggalkan langit tak berujung diikuti cahaya jingga yang terpoles sempurna. Siapapun yang melihatnya akan berdevak menuturkan segelintir kalimat pujian setelah terkagum-kagum.
Lain halnya dengan dua orang yang saling menutup rapat mulutnya masing-masing, membungkam keadaan seolah satu patah kata perlu bayaran satu juta dolar sehingga sebuah dehaman pun enggan terdengar.
Sebuah taman bermain berbentuk persegi diisi oleh sebilah papan seluncur, sepasang ayunan dan sebuah jungkat-jungkit. Tiga permainan itu nampak serasi dengan lima anak kecil yang memcoba memainkannya, di temani orang tuanya masing-masing mereka nampak tertawa bahagia tanpa beban.
Prilly menengadahkan kepalanya keatas langit jingga yang sedikit tertutup oleh dahan dan ranting dedaunan yang sedang menaungi keduanya. Namun, fenomena alam yang sangat indah itu masih mampu di nikmati dengan keselarasannya melalui celah dedaunan yang sedikit renggang.
Bokong Prilly berbentur pada batang pohon, sementara kepalanya sedikit menyentuh batang pohon yang sama. Dan matanya dibiarkan terpejam menuntut angin agar menyemburnya lebih kencang lagi.
Setelah bergulat antara batin dan nalurinya sendiri, Prilly memutuskan kehendak bahwa batinnya yang memenangkan pergulatan singkat itu. Sebuah pengharapan besar jika Nichol mau mengerti setelah Prilly menjelaskan maksudnya dengan susah payah.
Di antara mereka berdua, Prilly akui bahwa Nichol lah yang lebih tenggelam dalam belenggu ketidakpercayaan. Sebuah perutukan pantas dia berikan pada dirinya sendiri. Seharusnya dari awal Nichol mencari tahu siapa malaikat baik yang menolong Lidya agar tetap hidup di bumi, bukan hanya diam setelah mengetahui namanya saja.
Berkali-kali Prilly mendengar embusan napas putus asa keluar dari mulut Nichol, tanpa alasan yang jelas naluri Prilly ikut merasakan apa yang tengah dirasakan cowok di sampingnya. Setiap erangan, setiap helaan, setiap ujaran frustasi, umpatan dan berbagai kalimat buruk yang Prilly dengar dari mulut Nichol berhasil menjadikan Prilly seorang pengecut dalam hitungan detik. Ketidak-mampuannya menahan amarah Nichol yang sudah merambat hingga pada titik batas kesadarannya membuat Prilly tergugu sewaktu Nichol bangkit lalu menghantam batang pohon menggunakan kepalanya sendiri.
Sekali, Prilly merasa terkejut bukan main.
Dua kali, napasnya tertahan diapun bangkit untuk mencegah setelah melihat lebam di dahi Nichol mulai nampak jelas.
Tiga kali, Prilly meradang, tangannya dengan sigap menarik tangan Nichol agar menjauh dari batang pohon yang sudah berhasil membuat dahinya mengucurkan darah segar. Nichol hampir saja terpental kalau tidak ada kekuatan kaki yang menahannya.
Ditepi, antara alis kiri dan kananmya mengalir darah yang memiliki golongn O hingga ke pangkal hidung. Prilly mencoba menyusutnya menggunkan tangan kosong, Nichol suskses membuat matanya memanas dan berair lagi setelah tadi air mata itu baru saja surut.
"Semua orang terluka disini, Chol, bukan cuma lo," ucap Prilly bergetar merasakan lengketnya darah Nichol yang perlahan mengering di tangannya namun di dahinya terus saja merembes tak mau berhenti.
"Lo. Ali. Kalian sama-sama terluka, dan itu kenyataannya." benar. Apa yang diucapkan Prilly di benarkan Nichol secara diam-diam.
Darah Nichol sudah berpindah seluruhnya pada tangan Prilly, setelah dia menekan titik yang menjadi sumber darah itu muncul, Nichol terpejam menahan ngilu akibat ulah Prilly tersebut.
"Salah gue, Prill?" nada bertanya jelas Prilly terdengar melalui gendang telinganya, Nichol lantas meraih tangan Prilly yang bersimpuh darah, di genggam kuat-kuat sebelum dia usapkan tangan tersebut kedasar baju seragam putihnya yang masih bersih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone In The World
Fanfiction[Complited] #183 in fanfaction (1-11-2018) #171 in fanfaction (2-11-2018) #79 in fanfaction (3-11-2018) Sebuah perjalanan tentang kisah klasik, tentang mereka yang terluka. Namun, memiliki tujuan untuk bahagia.