Bagian Dua Puluh Satu : Meet Amanda

3.1K 235 0
                                    

Happy Reading
.
.
.
.

Ali dan Prilly sedang berada dalam perjalanan menuju rumah sakit sekarang. Setelah membuka notifikasi grup chatnya, Prilly baru tahu kalau ibu Nichol sudah di pindahkan keruang rawat setelah beberapa hari berada di ruang ICU paska operasi paru-paru.

"Lo kok gak bilang kalau nyokapnya Nichol di rawat dirumah sakit," penghardikan adalah kunci dari nada suara yang Ali buat.

Di jarak sepuluh meter Prilly sudah di todong sebuah hardikan oleh Ali, itu sebabnya dia enggan menjawab dan lebih memilih menutup mulutnya rapat-rapat. Sampai Ali menambah kecepatan mobilnya pun Prilly sama sekali tidak memprotesnya, cewek itu masih tertegun karena lamunan sudah berhasil menyeret diri nya masuk kedalam dunia angan.

Saat melirik Prilly, melihat cewek itu tetap diam menunduk, Ali merasa gatal di bagian lengannya untuk tidak menyentil dahi cewek itu.

Ali sudah berhasil membuat Prilly meringis dan menaruh perhatian padanya dengan tak lagi menunduk melainkan menata wajahnya langsung. Dia pun bergegas mengambil nada sumbang,  "Mengabaikan dan diabaikan itu sama-sama nyakitin, jadi jangan sampai lo ngelakuin keduanya,"

Kening Prilly yang awalnya rata, kini sudah berganti menjadi berlipat-lipat akibat ucapan Ali yang penuh diksi dan harus Prilly terjemahkan dalam bahasa kesehariannya. Namun, Prilly tak sebodoh itu, diapun bisa mengerti sedikit ucapan Ali. Tentang dia yang mengabaikannya, Prilly paham.

"Bertepatan kematian Tante Sesil, tante Lidya di operasi. Bahkan gue gak tahu apa-apa tentang operasi yang tante Lidya lakukan, Nichol kasih tahu gue pas tante Lidya udah ada di ruang ICU setelah pemakaman tante Sesil selesai."

Ali mengangguk paham seraya memutar stirnya menuju pelataran rumah sakit, rumah sakit tempat Rudy bekerja keras menyelamatkan nyawa ibunya yang ternyata tak bisa dia selamatkan. Ali sempat termangu sesaat sebelum Prilly menepuk bahunya sebanyak tiga kali, hal yang sering Prilly lakukan padanya ketika dia sedang beraut wajah sendu.

"Kalau lo gak mau masuk, biar gue sendiri," Prilly berujar tepat di telinga Ali.

Cowok itu lantas menggeleng cepat kemudian melepas sabuk pengamannya, dan turun mengitari mobil untuk sampai di samping Prilly. "Yuk, masuk,"

Prilly sempat ragu dengan ajakan Ali untuk cepat masuk kedalam. Sebab, pada dasarnya dalam kurun waktu satu hari seseorang tak dapat menghilangkan memori menyedihkan dalam hidupnya.

Ditinggalkan.

Kepedihan.

Kesendirian.

Hampir saja Prilly berpikir Ali akan tenggelam dalam tiga kata tersebut kalau cowok itu tidak langsung mengapit tangannya kemudian menarik dia untuk cepat masuk kedalam.

"Ruangannya dimana?" sambil ceringukan Ali bertanya pada Prilly, dan akibat Ali yang tak kunjung melepaskan genggamannya, Prilly seketika menjadi bisu. Ada sesuatu yang tak bisa dia jelaskan ketika Ali menautkan jemarinya yang terlihat pas di jari kecil Prilly. Hawa yang awalnya dingin seketika berubah menjadi hangat, menjalar kesetiap tubuh Prilly setelah Ali benar-benar mengenggam erat tangannya.

Perut Prilly tiba-tiba saja merasa mulas, seperti lebah sedang beterbangan didalam wahana yang sudah tersedia. Seperti bianglalai, mereka berputar-putar, membuat Prilly berkeringat dingin dan sedikit grogi saat Ali tak kunjung melepaskan tautan tangannya.

"Ruangannya dimana?" ulang Ali, geram.

"Uh.. Itu di lantai tiga," jawab Prilly terdengar jelas bahwa dia sedang bersembunyi dalam kegugupan.

Someone In The World Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang