Happy Reading
Ponsel Ali masih menampilkan raut bahagia dari gambar keluarga mang Hamid yang berfoto di pekarangan rumahnya. Kemarin malam, setelah menyelidiki tempat tinggal mang Hamid, Ali menjemput mang Hamid di kontrakannya dan juga menjemput keluarga mang Hamid di kampung.
Dengan senang hati mang Hamid memboyong keluarganya untuk menyetujui penawaran yang Ali berikan, yaitu bekerja di rumahnya dan tinggal disana bersama dirinya.
Beribu terima kasih, Ali sudah simpan dalam pikirinannya. Mengingat mang Hamid pasti dan akan mengucap kata terima kasih lagi setelah mendapat tiga kamar mewah yang keluarga Ali gunakan sebagai kamar tamu.
Mengingat hal itu hatinya menghangat, walau tanpa ikatan persaudaraan pun Ali bisa mempercayai mang Hamid mengelola rumahnya sendiri untuk di tinggalkan ke sekolah Ali menitipkan rumahnya pada mang Hamid. Atas dasar penilaian Prilly pada mang Hamid hari itu, Ali jadi yakin bahwa mang Hamid akan bekerja sesuai kemampuannya dan juga menjunjung tinggi nilai kejujuran.
Setelahnya gambar keluarga mang Hamid menghilang digantikan dengan satuan nomor yang tertera rapi berjajar di depannya. Sontak raut wajah Ali berubah cemas, nomor ponsel itu selalu membuat jarinya gemetar saat hendak menggeser kusor hijau untuk menghubungkan. Dan karena serangan itu pula, saat ini Ali diam tertegun dalam pelukan rasa cemasnya.
Seberapa lama pun Ali memejamkan matanya, cowok itu tetap tak bisa membuat seseorang itu menunggu. Dengan menghembuskan napas berat, ibu jari Ali berhasil menggeser kusor hijau untuk menghubungkan.
Dan di kalimat pertama membuat Ali termangu, tak lantas ada ekspresi lain yang dia gambarkan selain raut wajah gusar dan cemas.
Sejurus kemudian Ali mengangkat kakinya menuju mobil yang sudah terparkir di pelataran sekolah, lalu kemudian menginjak pedal dengan gila-gilaan, keluar dari pelataran dan menghiraukan ocehan pak Maman yang sedang menghardiknya.
Ali bersikap seperti orang tuli, tak mendengarkan suara-suara yang menyahutinya. Padahal saat ini pak Maman sudah berada jauh dari pos tempatnya berjaga, hanya untuk mengejar Ali dan memperingati anak itu untuk segera putar balik, masuk kedalam kelas. Namun Ali sama sekali tidak perduli, urusannya kali ini lebih di atas segalanya.
Terlepas dari semua rutinitas di lalu lintas yang ternyata sangat padat merayap, jauh di dalam lubuk hati Ali terdengar gemuruh sesuatu yang sulit dia artikan. Akhirnya setelah lama menunggu, Sesil bisa Ali rengkuh lagi.
Sampai di depan pintu 403, Ali di sambut hangat oleh seorang dokter dan dua perawat yang turut tersenyum hangat menyapa Ali. Sebuah senyum yang seharusnya terasa janggal, namun tak Ali pedulikan.
Walau gemuruh jantungnya tak menentu, hingga dadanya merasa sesak sekalipun Ali tetap antusias untuk menanyakan kabar Ibunya yang di kabarkan sudah melewati masa komanya. "Mamah saya udah boleh pulang belum, dok?"
Dokter berbadge Rudy pun menepuk pundak Ali, lalu tanpa suara dia menggiring Ali masuk kedalam bangsal dimana Sesil terbaring.
Wajah Sesil yang pucat masih terlihat cantik walau ada sebuah selang yang menghalangi pemandangan Ali di mulut wanita itu. Ali menyusutkan jarak menggunakan langkah kakinya. Ada perasaan yang sulit dia jelaskan saat jarak mereka terpaut dekat.
Tentang bagaimana perasaannya saat ini, melihat Sesil diam kaku, membisu tak berdaya, membuat luka itu tumbuh dengan sendirinya. Sekalipun Ali berusaha tegar dan membendung air matanya agar tidak jatuh di hadapan Sesil, jauh dari apa yang dia usahan, cowok itu nampak rapuh bersama punggungnya yang beringsut membungkuk. Ketika sampai di ranjang tempat Sesil berbaring lemah.
Suara denting dari elektrokardiograf turut membantu suasana hati Ali yang semakin larut dalam kehidupan gelapnya. Membeku pada satu titik dimana dia sadar, bahwa kehidupan bahagia itu telah lama lenyap, digantikan dengan kehampaan dan hening di setiap langkah..
Melihat sorot mata Sesil yang lemah, membuat Ali tak kuasa menahan luka yang selama ini dia pendam seorang diri. Untuk sejenak, Ali bersandar di atas dekapan Sesil yang bahkan tak dapat dia rasakan. Hanya tangannya yang melingkar pada tubuh wanita lemah itu.
Sesil tak juga merasa terganggu dengan pelukan Ali. Walau erat, Sesil sangat beruntung masih bisa merasakan pelukan hangat dari putranya. Sebab, tak banyak yang bisa wanita itu lakukan. Selain terbaring dalam balutan selimut tebal dan berkedip yang beberapa menit lalu baru bisa dia lakukan.
Saat memeluk Sesil, gelayut kenangan masa kecil bersamanya terus berlalu lalang dalam benak Ali. Si kecil Ali yang jatuh saat bermain sepeda dan menangis ketika di tinggal pergi oleh ibunya. Kenangan itu seolah menjadi tameng tersendiri untuk Ali tetap optimis terhadap kesembuhan ibunya. Sampai moment kecelakaan itu mengganti semua hal yang indah menjadi luka yang takkan pernah terpindah.
Seakan dunia mengutuk Ali, setelah ayahnya meninggal dunia dalam kecelakaan nahas itu, kini kehidupannya terasa jungkir balik. Saat Sesil di diagnosa mengalami pendarahan dalam jantungnya, Ali harus menerima kenyataan bahwa ibu kandungnya itu harus mengalami tidur panjang. Dan kecelakaan itu pula yang menyebabkan Sesil koma selama delapan bulan lamanya. Beruntungnya hanya Ali yang tidak memiliki luka serius dalam kecelakaan tersebut.
Tanpa Ali tahu kapan waktu yang indah itu akan datang, setidaknya saat ini, hari ini dia berada di samping Sesil dan memeluk erat perempuan itu. Tanpa ada lagi jarak yang menghalangi.
Suara monitor merenggut alam bawah sadar Ali. Sontak, Ali bangkit lalu menatap monitor Sesil dengan mata membulat sempurna serta air muka yang sulit tergambarkan.
Tiba-tiba saja terdengar Rudy mengerahkan dua perawatnya untuk menyiapkan peralatan, mengecek suhu tubuh dan tekanan darah. Tak banyak yang Ali dapat mengerti, yang dia tahu hanya keadaan mulai panik dan dia ikut cemas saat Sesil kembali menutup matanya.
Barang sedetik Ali tidak bisa mendekati ibunya, ketika para perawat sedang berusaha tidak terlihat panik saat menyentuh tangan sesil yang mulai terasa dingin.
Rudy dengan stetoskopnya mulai memeriksa keadaan Sesil dengan seksama. Melakukan beberapa gerakan yang sama sekali tidak Ali mengerti.
Setelah Rudy memerintahkan Ali untuk menjauh dari ranjang, cowok itupun beringsut mundur teratur dengan tangan mengepal di atas kepala, menutupi kehancuran yang baru saja menghantam. Kini tak ada lagi alasan untuk Ali membendung air matanya lagi. Ali merintih dalam diam. Disamping pilar yang menyembunyikan bokongnya dari dunia luar tentang kerapuhannya ketika tim medis observasi pada Ibunya.
Ali memukul pilar yang tak bersalah setelah kakinya tak sanggup lagi menopang beban yang ada, tubuhnya merosot hingga menyentuh lantai rumah sakit yang dingin. Ali lantas tertunduk rapuh, tenggelam dalam isakan pilu mengiris hati hingga bahunya naik turun secara alamiah.
Alam ikut memberkatinya, di luar sana hujan turun sangat deras. Menjebak Prilly dalam pelajaran bahasa yang justru membuatnya jenuh sekaligus cemas memikirkan tentang keberadaan Nichol dan juga.... Ali dari tempatnya.
25, Sep 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone In The World
Fanfiction[Complited] #183 in fanfaction (1-11-2018) #171 in fanfaction (2-11-2018) #79 in fanfaction (3-11-2018) Sebuah perjalanan tentang kisah klasik, tentang mereka yang terluka. Namun, memiliki tujuan untuk bahagia.