Bagian Dua Puluh Tiga : Waktu Di Tengah Malam

2.8K 206 0
                                    

Setelah ucapannya hari itu, Ali benar-benar menjadikan Prilly sebagai pendengar setianya. Setiap malam menjelang tidur, Ali selalu menyempatkan diri untuk bercerita tentang apa tentang apa saja. Di tambah lagi sudah dua hari ini Ali resmi tinggal bersama keluarga Danu dan Talita yang merupakan kedua orang tua Prilly. Jadi tidak ada alasan untuk Prilly mengingkari janjinya masa itu.

Seperti malam ini, tepat pukul dua belas malam Ali masih membolak-balikkan tubuhnya di atas ranjang. Niatnya hanya mencari posisi yang nyaman untuk terlelap dengan tenang, tapi nyatanya sudah ribuan kali Ali mengubah posisi tidurnya kantuk itu tak kunjung datang.

Ali menguap, hanya menguap untuk menghilangkan jengah akibat pikirannya terus saja berputar pada satu titik yang entah kenapa selalu berputar berulang-ulang dalam benaknya sejak dua jam yang lalu.

Ali menyingkapkan selimut berwarna putih gading yang sejak tadi membungkus tubuhnya sebatas dada. Mungkin faktor suhu yang membuat kedatangan kantuk itu menjadi terhambat, pikirnya.

Tapi tetap nihil, sampai diapun mengerang seraya mengacak rambutnya frustasi.

"Argghhh!"

Dua jam yang lalu, Ali sudah mengucapkan selamat tidur untuk Prilly dan begitu pula sebaliknya, Prilly mengucapkan selamat tidur padanya, setelah melakukan rutinitasnya--menjadikan Prilly sebagai pendengar setianya--itu. Tapi karena perpisahan selamat tidur itu terlalu manis untuk di lupakan, hingga membekas sampai detik ini. Benak Ali tak mau menyingkronkan apa yang seharusnya di sinkronkan.

Senyuman Prilly saat itu mungkin saja hanya kamuflase, sebagai sebuah tindakan yang hanya bertujuan untuk membuat orang lain merasa lebih baik. Tapi disisi lain Ali mengingkari hal tersebut. Dia rasa senyuman itu tulus, hingga sukar untuk hilang melainkan sebaliknya terus hadir dan membekas.

Untuk itu, tak salah jika Ali menyatakan dirinya bodoh sekarang. Hanya karena senyuman seorang Prilly dirinya menjadi dungu dan hilang kendali. Yang lebih membuatnya frustasi lagi, ketika bersama Prilly sesuatu yang bersemayam di dalam dadanya ikut berdetak cepat tanpa ritme yang jelas.

"Astaga," Ali memegang kuat dadanya, "Cuma mikirin itu anak aja jantung gue maraton sendiri." rutukmya.

Tak mau memperburuk keadaan jantungnya, Ali segera menepis pikiran tentang Prilly, walaupun hasilnya tetap saja nol besar.

Cowok itu lantas bangkit, bejalan lunglai menuju pintu kamarnya. Memegangi knop pintu kuat-kuat, dan membukanya perlahan. Setelah terdengar bunyi khas engsel terbuka, Ali kemudian menyelipkan tubuhnya di antara pintu kayu setinggi dua meter itu.

Dan terbelalak pada detik yang sama.

Dihadapannya Prilly sama terkejutnya dengan Ali--yang saat ini sedang memasang wajah syok-- melihat kedatangan Prilly secara tiba-tiba.

Prilly yang Ali pikir sedang menimang-nimang sesuatu pun akhirnya buyar seketika setalah mendapati Ali keluar dari kamarnya tanpa memberi aba-aba.

Ali menarik napas tanpa sepengetahuan Prilly untuk menyelaraskan aksi salah tingkahnya, "Sumpah, mirip dia yang tak terlihat." racau Ali secara dramatis.

Prilly langsung menghunus pandangannya seketika setelah mendengar ucapan yang tidak termasuk pujian keluar dari mulut paman seumurannya itu. Keterkejutannya pun lantas ngibrit diganti dengan kekesalan tiada tara, "Gue garuk muka lo pake cangkul, baru nyaho, lo!" balas Prilly, yang terdengar tak bersahabat dalam pendengaran Ali.

"Ya ampun," Ali menyela sambil melingkarkan tangan panjangnya di bahu Prilly, persis seperti sebuah rangkulan, "Dibanding muka gue yang lo cangkul, mending taman belakang lo tanam jagung," lanjutnya, santai.

Someone In The World Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang