Bagain Dua Puluh Empat : Kisah Dia Yang Telah Pergi I

2.8K 211 4
                                    

Keesokan harinya, di detik-detik terakhir menjelang bell pulang berkumandang pun Prilly tak dapat menemukan batang hidung Ali. Padahal tadi pagi dia dan Ali berangkat bersama, dan Prilly turun di pelataran sekolah. Bahkan Prilly sudah memastikan bahwa tadi pagi Ali memarkirkan motornya di tempat yang benar, walau mereka tidak sempat berjalan beriringan menuju kelas. Namun, menurut Prilly itu tidak masalah dan dia masih bisa mengawasi Ali.

Tapi nyatanya dia lengah, hingga Ali lepas dari pengawasannya.

Nichol menepuk pundak Prilly, sebelum akhirnya dia mengacak rambut cewek itu sampai siempunya berdecak sebal.

"Satu lagi kebiasaan lo yang harus gue papas habis, suka ngacak rambut orang tanpa permisi," kata Prilly penuh penekanan.

Setelah Bu Sekar keluar dari kelas, Amanda tergelak di bangku depan, diiringi Bimo dan Nando yang selalu menempel bak perangko, ikut nimbrung di detik menjelang bell pulang.

"Nah, kan, gue bilang apa. Nichol, tuh emang bagusnya di papas habis," sahut Bimo seraya menggerakan tangannya di depan dada, menyerupai gerakan hip-hop.

"Sekalian, yang bawah di papas habis," Nando ikut menimpali, dengan melakukan hal yang sama hanya saja gerakan Nando berada di bawah gerakan Bimo.

Amanda memegangi perutnya yang terasa di gelitik, "Amit, gue punya temen gak ada yang waras satupun," ujar Amanda disela tertawanya, yang langsung mendapat raukan tangan tepat di wajah cewek itu.

Wajah yang pas untuk ukuran tangan Nichol, "Sono pergi lagi ke Milan, gak usah balik-balik lagi ke sini," dia berbicara seolah mengusir Amanda agar kembali ke negara kelahiran orang tuanya.

"Lo, sih ngusir gue gegara gak mau kalah saing nilai, kan?" todong Amanda, cewek itu tengah menahan senyum sampai dua lesung pipinya terlihat jelas.

"Anjir, omongan lo seratus persen bener," Bimo mengacungkan kedua jari kelingkingnya.

"Ngapain lo pasang jari kelingking?" tanya Nando heran, dan yang lain memperhatikan.

"Biar beda aja sama yang lain," Bimo pun memainkan alis matanya, membuat Prilly dan tiga teman lainnya berdecak jijik.

"Eh, gue bener kali, dalam hidup ini gak harus sama kayak apa yang orang lain perbuat." kata sok bijak itu keluar dari mulut Bimo.

"Setahu gue ya, lo boleh berinovasi tapi gak harus menyalahi aturan juga. Dimana-mana hal bagus itu di acungi jempol, bukan kelingking. Lo pikir mau janji sehidup semati pake acara jari kelingking segala?!" kali ini Prilly yang menimpali, sontak di beri anggukan setuju dari tiga temannya. "Nih, nih, makan tuh janji." Nando terlihat geram, seraya mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking lain.

"Gue mah apa atuh, daftar jadi generasi micin aja gak di terima," wajah lusuh langsung terpampang jelas di raut wajah Bimo.

Nando yang semakin geram akibat Bimo yang selalu bertingkah sok dramatis, langsung mengaitkan tangannya di leher cowok tersebut. Bimo pun terbatuk, seperti seorang kakek tua.

"Uhuk, anjir, gue di grepe, Nando." sungut Bimo, membuat Nando aral untuk tidak membanting temannya itu hingga membentur tepi meja.

"Sadis lo, Ndo," Nichol tertawa, bukan karena bahagia tapi karena melihat atraksi semacam pemererat tali persahabatan antara Nando dan Bimo yang patut di acungi jempol.

"Emang, kasihan tahu, anak orang." Sahut Amanda.

"Ceburin sumur sekalian," dukung Prilly.

"Anjir, pada jahat sama gue," protes Bimo.

Tak lama setelah perdebatan mereka berakhir, bell waktu pulang berkumandang indah. Memberi peluang bagi anak yang sudah selama berjam-jam memutar otak di dalam kelas menghela napas terlega yang mereka miliki, termasuk, Prilly.

Someone In The World Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang