Bagian Dua Puluh Lima : Uluran Tangan

2.3K 200 1
                                    

Prilly masih berkutat dengan pikirannya, bahkan setelah taksi online yang di pesankan Amanda untuknya berjalan menjauh dari gerbang sekolah.

Ucapan Amanda seakan menohok hati Prilly, tentang beberapa opini yang mungkin akan terjadi jika Ali tahu hal yang sebenarnya.

Prilly baru teringat kalau sejak masuk sekolah tadi ponselnya masih dalam mode silent, pantas saja beberapa pesan tidak terdengar dan bagaimana bisa dia melupakan teknologi paling canggih untuk mengetahui keberadaan seseorang.

Dalam satu gerakan Prilly merogoh ponselnya yang sengaja dia simpan rapih di dalam tas toskanya. Beberapa notifikasi mulai bermunculan setelah Prilly mengaktifkan data seluler dalam ponselnya.

Salah satu notifikasi itu adalah sebuah line dari Ali, sesegera mungkin Prilly menekan tombol readmore pada layar LED di ponselnya.

'Gue absen hari ini, kalau guru-guru tercinta banyak pertanyaan, lo tinggal jawab paman gue syuting nyari duit buat menyambung hidup'

Itu isi line pertama, Prilly hampir tergelak kalau saja supir taksi didepannya tidak mengamati melalui kaca spion, karena masih penasaran Prilly pun men-scrol line selanjutnya.

'Sebenernya gue langsung otw ke Indomedika, buat pastiin sesuatu. Prill, sebelum nyokap gue meninggal, dia bikin kesepakatan buat kasih paru-parunya buat seseorang yang gue gak tau siapa. Tapi gue pengen buat perhitungan sama mereka yang gak minta persetujuan gue tentang ini'

Itu isi line kedua yang membuat Prilly reflek memegangi dadanya, erat.

'Itu kenapa gue butuh bantuan lo. Siapa tau jawaban yang gue cari lebih buruk dari apa yang gue bayangin semaleman tadi. Jadi gue masih butuh pundak lo buat nitip kepala gue disana'

Isi line ketiga membuat tangan Prilly bergetar, hatinya goyah, air matanya terjun bebas. Setelahnya Prilly hanya bisa bersandar pada kaca mobil yang sedang dia tumpangi.

Memandangi jalanan yang bisa dikatakan lancar teratur, dan beberapa suara pengamen di setiap angkutan umum ikut meramaikan suara deru kendaraan bermotor di jalanan.

"Ada satu titik di mana lo harus memutuskan hal besar, mengatakan atau diam seolah-olah tidak terjadi apapun. Sampai saatnya dunia yang memberitahunya dengan cara yang berbeda dan lo dianggap gak berguna,"

***

'Gue lihat Ali keluar dari lift, keadaannya kacau banget gue gak bisa mendeskripsikan penampilannya saat itu.'

Mata Prilly terpejam sesaat setelah membayar ongkos taksinya. Prilly menghirup aroma pelataran rumah sakit yang megah, bukan terhirup indah melainkan mencuatkan luka yang beberapa saat lagi akan membelasah.

'Sampe-sampe, bahunya kena bahu gue pun dia sama sekali gak minta maaf. Lihat muka gue aja, nggak'

Prilly menelan ludahnya, kasar. Lantas memantapkan hatinya untuk terus melangkah. Tangannya masih menggenggam sebuah ponsel dengan erat, sebelum ponsel itu berdering kemudian ditempelkan kedaun telinganya.

"Hallo," sapa Prilly.

"Lo masih dimana?" tanya seseorang di ujung sana, Ali.

"Udah di depan, bentar lagi sampe di tempat." jawab Prilly setelah berdiam beberapa saat cewek itu berlanjut membungkus jalanan menggunakan langkahnya yang bertahap, masih dengan ponsel di posisi yang sama.

"Oh oke, gue di lantai tiga. Ruangan dokter Rudy."

"Oke, gue on the way kesana," lalu Prilly menutup sambungannya secara sepihak.

Setelah itu Prilly mengeluarkan napasnya yang terasa berat, berat untuk memberitahu Ali tentang kebenaran yang baru saja diketahuinya beberapa jam yang lalu.

Seketika Prilly hilang akal, entah jalan mana yang harus dia pilih untuk saat ini keraguan lah yang mengisi posisi teratas dalam benaknya.

Suara pintu lift berdenting, menarik Prilly kembali kebumi. Diapun keluar dari lift yang telah mengantarkannya ke lantai tiga.

Matanya masih berjelajah, mencari ruangan dokter Rudy tempat Ali berada, seperti yang di katakan cowok tersebut. Sebelum menemukan ruangan dokter Rudy, Prilly terlebih dulu menemukan Ali. Tak perlu tunggu lama untuk Prilly mendekat dan duduk di samping cowok yang tengah menekuk wajahnya itu.

"Cepet kan?" seru Prilly, nampaknya Ali enggan untuk menjawab padahal dia sudah menyadari kehadiran Prilly di sampingnya, tapi Ali masih setia melipat wajahnya.

"Lo kenapa, lagi, telat datang bulan ya?" ini benar-benar senyum lancungan, Prilly tak bisa menutupi kegelisahannya di depan Ali yang dia dapati sedang bersemayam dalam kesedihan.

"Gue harus gimana, Prill?" suara Ali terdengar seperti seseorang yang sudah tidak memiliki harapan, "Apa yang harus gue lakukan?"

"Li," lirih Prilly, berselaput cemas. Rasa penasaran masih melintas dalam benaknya, tapi dia tahu bahwa kebenaran telah menempati posisinya.

"Dia Prill, gue gak bisa tapi gue harus." desisnya.

Prilly melihat jelas saat Ali mencengkeram bangku yang sedang mereka duduki, sampai buku-buku jarinya memutih sekalipun Ali tidak melonggarkan cengkeramannya, membuat Prilly merasa ngilu sendiri.

"Gue gak percaya kalau Mamah korbanin paru-parunya buat tante Lidya," ucap Ali. "Mamah dimakamkan tanpa organ yang lengkap." penekananlah yang mewarnai suara Ali.

Prilly paham betul apa yang sedang di rasakan Ali saat ini, walaupun Prilly belum pernah merasakan apa yang pamannya itu rasakan, tapi setidaknya Prilly pintar dalam memahami perasaan seseorang, termasuk Ali.

"Bukan mengorbankan, Li, tapi mendonorkan, keputusan itu pasti udah di pikirin mateng-mateng sama tante Sesil," Prilly mencoba menenangkan Ali menggunakan uluran tangannya, mengusap punggung Ali yang terlihat membungkuk.

"Dan balasannya Mamah gue sendiri yang harus mati?!" ucapan Ali yang satu itu sudah termasuk kata yang kasar, Prilly sampai terpejam sesaat ketika mulut Ali bergerak mengucapkan kata 'Mati' yang memekakkan telinganya.

"Li, lo gak boleh ngomong gitu!" cegah Prilly.

Ali menengok Prilly di sampingnya, Prilly pun terperangah melihat sisa air mata di pelupuk mata cowok itu. Selama kebersamaannya, Prilly baru sekali melihat Ali menitihkan air mata dan ini kali keduanya, dari sana Prilly bisa menarik kesimpulan kalau Ali akan sangat rapuh jika mengatakan apapun menyangkut soal ibunya.

"Lo gak pernah," ujar Ali terbata, tenggorokannya masih tersedak sesuatu yang menghambat proses bicaranya dan hanya menyisakan kepahitan sepanjang masa. "Gak pernah ngerasain kehilangan."

"Gue paham--

"Nggak! Lo sama sekali gak paham," bentak Ali, membuat Prilly terpejam kuat, "Seseorang baru akan bener-bener paham kalau dia pernah merasakan apa yang orang itu rasakan." papasnya.

"Li," bahkan lirihan Prilly tak kunjung di indahkan oleh cowok itu.

"Apa perlu gue ambil paru-paru nyokap lo supaya lo bener-bener bisa ngerasain apa yang gue rasain sekarang?"

Ucapan Ali membuat mata Prilly terbelalak seketika. Lagi, Prilly meneguk salivanya secara kasar, berharap mampu memahami apa yang sedang dialami Ali.

"Maksud gue bukan gitu--

"Lo gak ngerti, Prill." patah Ali.

"Apa yang harus gue lakuin buat lo?" tawar Prilly, datar.

"Sesuatu yang bisa bikin gue tenang."

***

10, Oktober 2018

Someone In The World Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang