Amanda tak henti-henti mondar-mandir di depan pintu ruang UGD, pikirannya tak tenang jika belum mengetahui kondisi Nichol yang berada di dalam. Bahkan kepalanya terasa pening hanya karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi menimpa Nichol nanti, seseorang yang selalu merenggut pikirannya setiap saat.
Bimo menundukan kepalanya dalam-dalam. Cowok itu hanya tak ingin Amanda tahu bahwa saat ini dia sedang menangisi keadaan Nichol, sama seperti cewek itu yang tak kunjung diam menyurutkan air matanya.
Bimo mendelik ketika mendengar suara langkah kaki cepat bersahut-sahutan mendekat kearahnya, ternyata Lydia dan Dimas sedang berlari menuju kemari, dan Nando sebagai penunjuk jalannya.
Bimo berusaha untuk berpura-pura tidak melihat kekhawatiran Lydia dan Dimas, namun sekuat apapun dia berusaha wajah kedua orang tua yang nampak cemas itu terus saja mengelilingi benaknya, berputar-putar disana hingga lagi-lagi menimbulkan sesuatu rasa yang menyesakan dada. Bimo mencoba tertunduk lebih dalam lagi.
"Amanda." seru Lydia.
Seseorang yang merasa namanya terpanggil pun segera menoleh, mendapati seorang ibu tengah berlari mendekat kearahnya.
Belum sampai satu menit berada di sana, mata Lydia sudah di basahi oleh air yang terjun halus dari pangkal kelopak mata keriputnya. Raut wajahnya pilu saat Amanda menarik tubuhnya kedalam pelukan.
Begitu juga Amanda, Lydia yang terisak kencang dalam dekapannya tersebut membuatnya harus berusaha tegar dan memberi kekuatan dengan sebuah sentuhan. Sementara Dimas hanya mampu menghela napas berkali-kali sambil menengadah keatas langit-langit rumah sakit. Pikiran lelah, diam-diam menyelusup kedalam benaknya.
Beberapa bulan lalu kondisi Lydia yang selalu mengganggu pikirannya, dan sekarang Nichol, anak yang paling dia sayangi berada di dalam ruangan bercat putih sedang meregang nyawa.
Seolah tak pernah berhenti cobaan selalu mengiringi langkah Dimas saat ini. Seakan tuhan tak pernah memberi celah yang panjang untuknya menata kehidupan agar lebih bahagia.
Menyadari ada sebuah suara menyelinap menusuk indra pendengarannya, Bimo melihat Dimas yang tertunduk sangat dalam. Kemudian dia menarik tangannya dari sisi-sisi bangku yang sedang dia duduki untuk bergerak lembut merangkul bahu Dimas yang mulai menurun rapuh.
Tangan pria itu mulai melemas, perlahan melepaskan cengkeramannya pada bibir bangku yang sedang dia duduki.
"Nichol anak yang jenius, om. Luka gak akan bisa bikin dia mati gitu aja." ucap Bimo seolah ingin membangkitkan semangat Dimas yang sedang memburuk. Padahal jauh dari dalam lubuk hatinya, sesuatu disana pun ikut terkoyak karena ucapannya sendiri.
Dimas menumpangkan tangannya diatas punggung tangan Bimo yang sudah menempel di bahunya. Sebuah keinginan membawanya untuk menggenggam tangan tersebut lebih erat, sangat erat, dan semakin erat.
Maka dari itu tak banyak ekspresi yang bisa Bimo jabarkan selain wajah tegas yang kelelahan. Dimas justru membuatnya terheran akibat genggaman tangannya yang makin erat bukan meringis.
"Tapi kuasa tuhan lebih kuat dari pada kejeniusan anak, om." sahut Dimas, remasan tangannya yang semakin erat membuat Bimo terlihat meringis sesaat di kemudian. "Ini gak seberapa di banding takdir yang tuhan berikan di keluarga, om." ucapnya sewaktu mendapati wajah Bimo yang meringis.
Saat Dimas berucap demikian, Bimo tahu pria yang berstatus sebagai ayah sahabatnya itu tidak sedang memarahinya atau menyakitinya. Melainkan mengajarkannya sekaligus memberitahu bagaimana kejamnya dunia nyata juga kuasa Tuhan tentang takdir yang tak bisa di ubah.
Seusai Dimas melepaskan genggamannya Bimo segera menarik tangannya dari bahu pria itu.
Mengikuti arah pandang Amanda dan Lydia, Bimo juga Dimas ikut memandang pintu terbuka itu dengan perasaan cemas. Tubuh Nichol yang sudah dipasangi beberapa macam alat di kerek keluar dari UGD sambil berlarian para tim medis itu mengoceh dan berkompromi tentang kondisi Nichol saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone In The World
Fanfiction[Complited] #183 in fanfaction (1-11-2018) #171 in fanfaction (2-11-2018) #79 in fanfaction (3-11-2018) Sebuah perjalanan tentang kisah klasik, tentang mereka yang terluka. Namun, memiliki tujuan untuk bahagia.